Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Bhagawad Gita 9.26



patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyaḿ
yo me bhaktyā prayacchati
tad ahaḿ bhakty-upahṛtam
aśnāmi prayatātmanaḥ
Siapapun yang dengan sujud bhakti mempersembahkan kepadaKu sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, setetes air, Aku terima persembahan itu dengan penuh kasih dari orang yang berhati suci.
-Bhagawad Gita 9.26

Sloka (ayat suci) ini sangat populer dan seringkali didiskusikan. Di sloka ini kita tahu betapa besar kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, namun begitu sederhana apa yang Beliau minta. Tuhan Yang Maha Esa tak pernah menuntut apapun dari kita secara berlebihan, yang penting persembahan itu dari hati yang suci, bukan hati yang kotor, bukan pula hati dan pikiran yang dipenuhi dengan pamerih.

Kesederhanaan yang Beliau tunjukkan adalah merujuk sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, setetes air, bukan harta benda yang mewah dan berlimpah. Jika kita renungkan lebih dalam, semuanya itu ada di bumi pertiwi ini, maka hormati Ibu Pertiwi yang telah menghasilkan segala hal yang bisa kita persembahkan kepada Tuhan. Di mana kita menjaga Ibu Pertiwi, di tempat mana pun kita menumpang hidup pada Ibu Pertiwi, di sanalah kita memetik hasil Ibu Pertiwi itu untuk kita persembahkan. 


Kalau kita tinggal di Bali, misalnya, persembahkanlah daun, bunga, buah dan air dari Ibu Pertiwi Bali. Janganlah kita sok mewah dengan membeli apel Washington atau peer China atau apel Australia di pasar swalayan untuk persembahan itu. Yang penting adalah persembahan bhakti yang tulus, tanpa ada beban yang memberatkan.

Kesederhanaan persembahan itu juga berarti kita wajib mempersembahkan yang “lebih besar” kepada makhluk ciptaan Tuhan lain yang memerlukan “persembahan” kita. Misalnya, membantu orang miskin, mereka yang sedang kesusahan. Inilah yadnya (pengorbanan suci) yang lebih utama. Dengan perhatian berlebih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan, maka setiap saat kita sudah berbakti untuk Tuhan tanpa pamrih.

Lalu, ada pertanyaan lain. Kalau begitu sederhananya persembahan kita kepada Tuhan, kenapa umat Hindu di Bali repot-repot membuat banten, kenapa umat Hindu di Jawa juga repot membuat sesajen, atau umat Hindu di India atau etnis India di Indonesia, repot mencari wadah yang bagus untuk buah dan bunga yang dipersembahkannya?

Ini terpulang pada rasa, dan rasa ini melahirkan budaya. Budaya setiap etnis tidak sama, dan sudah dalam “skenario” Tuhan menciptakan manusia dengan budayanya yang tidak sama, sehingga terjadi interaksi saling mengenal dan mungkin juga saling berbagi. Dengan munculnya rasa itu, ada semacam “perasaan’ dalam diri kita, betapa sederhana dan gampangnya mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. Kita kemudian butuh waktu untuk melakukan sesuatu agar pikiran kita terkonsentrasi memuja Tuhan. Waktu yang dibutuhkan tidak sama antar kita. Ada proses yang berbeda.

Nah, orang Bali lalu menyiasati daun, bunga, buah dan sejenisnya itu sehingga menjadi “suatu benda” yang membuat “rasa” itu jadi indah, sejuk dan membahagiakan. Dan tentu di dalam proses menyiasati itu terjadi proses konsentrasi secara alami. Maka jadilah “suatu benda” itu bernama banten. 

Maka, sesungguhnya, proses pembuatan banten itu adalah sebuah proses alami menuju konsentrasi persembahan kepada Tuhan. Karena itu leluhur kita di masa lalu sudah memberikan syarat-syarat bagaimana perilaku kita pada saat membuat banten: jangan marah-marah, jangan dalam keadaan cuntaka (bagi perempuan tak boleh saat datang bulan), jangan duduk sembarangan, jangan berkata yang jorok-jorok, dan banyak lagi. Intinya adalah persiapan kea rah konsentrasi pikiran kepada-Nya.

Apakah “suatu benda” yang kemudian disebut banten itu, asal-asalan atau ditata hanya mengikuti keindahan saja? Tidak, ada simbol-simbol yang diambil dari kitab-kitab suci. Misalnya, para Istadewata (dewa-dewi) dikenal memiliki senjata yang berbeda-beda, maka senjata itu dibuatkan “replikanya” melalui daun kelapa muda, jadilah Lis Gede. 

Setiap Istadewata punya warna khas, maka itu disimbolkan dalam bentuk tumpeng (atau nasi segehan) warna-warni. Stana Tuhan dibuatkan simbol-simbol, bumi pertiwi memakai simbol kelapa yang dikelupas, bintang disimbolkan dengan telur, dan berbagai simbol lagi, maka jadilah “suatu benda” yang disebut daksina. Ini hanya contoh kecil dan semua banten yang digunakan oleh umat Hindu etnis Bali itu adalah simbol belaka. Padahal inti utamanya adalah: sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah.

Bagaimana umat Hindu etnis Jawa menyiasati persembahan sederhana itu sehingga menghasilkan rasa yang lebih indah dan ada ruang di mana mereka bisa melakukan proses konsentrasi sebelum sampai pada puncak pemujaan pada Tuhan? Buah ditata dengan baik, daun dicari yang bisa dimasak, bunga yang harum-harum, mereka lantas membuat sesajen, apakah itu bernama tumpeng (atau tumpengan), gunungan dan sebagainya. Selesai persembahan itu, mereka pun ramai-ramai menyantap apa yang telah dipersembahkan, dan santapan inilah yang disebut prasadam (di Bali bisa dikatakan lungsuran). 

Karena ada sloka (ayat suci) lain yang menyebutkan, apapun yang kau makan haruslah dipersembahkan dulu kepada Tuhan.
Jadi, kerepotan dalam menata “persembahan Tuhan yang sederhana itu” karena adanya rasa ingin berbuat yang lebih indah sehingga muncul rasa keindahan dalam diri kita. Selain itu kita juga membutuhkan proses konsentrasi – sepanjang hal itu memungkinkan.

Namun perlu dipahami, dalam keadaan situasi yang memaksa, jangan kita alpa memuja Tuhan dengan alasan tak ada sarana yang bisa kita persembahkan. 

Betapa pun buruknya keadaan, tak mungkin di tempat itu tak sekuntum bunga, dan jika itu memang betul tak ada, apakah tak ada pula sehelai daun? Ya, persembahkan apa adanya, kalau pun masih memerlukan proses konsentrasi, lakukan japa (mengulang-ulang penyebutan nama Tuhan). Yang penting kita tulus melaksanakannya dan hati kita suci.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh

Comments