oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
SEBAGIAN umat Hindu di Bali kini sedang menunggu keputusan Paruman Sulinggih PHDI Bali tentang apakah Tawur Kesanga Nyepi nanti tetap dilaksanakan atau tidak. Paruman Sulinggih itu rencananya digelar pada hari ini (1 Februari 2016) di Kantor Parisada Bali.
Sebelumnya Paruman Sulinggih Parisada Kabupaten Badung mengeluarkan kesepakatan untuk meniadakan Tawur Kesanga saat Nyepi nanti karena masih berlakunya Nguncal Balung. Namun itu akan diteruskan ke Paruman Sulinggih PHDI Bali yang akan memutuskannya, supaya tak ada perbedaan, di kabupaten yang satu ada Tawur Kesanga sementara di kabupaten lainnya tidak ada. Di Kodya Denpasar persiapan Tawur Kesanga masih tetap normal. Bahkan terbetik berita umat Hindu di Lombok juga menunggu keputusan apakah boleh ada Tawur Kesanga atau tidak. Jika demikian halnya, mungkin Sabha Pandita PHDI Pusat perlu dilibatkan agar keputusan yang dihasilkan berlaku untuk seluruh Indonesia. Apalagi Tawur Kesanga tingkat nasional biasanya dipusatkan di Candi Prambanan yang dihadiri presiden, tentu membutuhkan persiapan yang matang.
Kenapa Tawur Kesanga dikaitkan dengan Nguncal Balung? Adalah Lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang menyebutkan keterkaitan itu. Lontar yang berisi hari baik dan buruk (pedewasan) untuk melakukan yadnya ini memuat larangan melakukan yadnya saat Nguncal Balung pada paragraf ke dua. Isinya, jangan melangsungkan Tawur Kesanga sebelum pegat wakan, bila hal itu dilaksanakan yadnya tak akan berhasil. Sebagai gantinya bisa dilaksanakan pada Sasih Kedasa dan untuk itu “mohon ampun” ke Pura Besakih.
Yang dimaksudkan pegat wakan adalah Budha (Rabu) Kliwon Pahang. Memang pada hari itu bisa disebut sebagai “penutup ritual Galungan”, semua ornamen Galungan harus sudah bersih. Penjor Galungan, misalnya, saat itu dicabut dan hiasannya dibakar, abunya dimasukkan kelapa gading kesturi dan ditanam di pekarangan rumah. Hari pegat wakan itu disebut sebagai penutup Nguncal Balung.
Nguncal Balung berlaku sejak Galungan sampai Budha Kliwon Pahang, jadi selama 35 hari, satu bulan wariga. Tetapi ada pula yang memberi batasan seminggu sebelum Galungan, yakni dimulai Budha Pon Sungsang. Alasan yang dipakai, pada Kamis dan Jumat wuku Sungsang sudah ada rahinan Sugihan Bali dan Sugihan Jawa. Kedua rahinan ini berkaitan dengan Galungan. Dengan hitungan ini Nguncal Balung berumur 42 hari, pas dengan sebutan yang umum di Bali: abulan pitung dina.
Rincian Nguncal Balung itu sendiri sangat sedikit. Yang paling umum disebut adalah Dewa Siwa (dalam hal ini Tuhan) sedang me-yoga. Jadi tak boleh diganggu atau diberikan persembahan. Ada istilah anyekung puja mantra lalu setelah pegat wakan baru boleh nibakang pedewasan.
Ada pula yang mengaitkan dengan adanya kata balung yang berarti tulang. Selama rentang waktu itu hari tidak punya tulang, tidak punya kekuatan, sehingga tak baik dijadikan hari untuk beryadnya. Namun ada pula yang menafsirkan bahwa Nguncal Balung sebagai perwujudan melepaskan kekuatan Sang Kala Tiga yang muncul sebelum Galungan. Penafsiran terakhir ini agak aneh karena Sang Kala Tiga Galungan sudah “disembelih” pada saat Penampahan Galungan, sehingga Galungan merupakan hari raya yang besar.
Tulisan ini tak bermaksud untuk mempengaruhi keputusan yang diambil Paruman Sulinggih Parisada Bali yang dihadiri sulinggih senior yang penuh wibawa. Tentu umat akan mematuhi apa pun keputusan itu. Namun baik diingatkan bahwa Tawur Kesanga Nyepi sudah pernah berlangsung pada saat Nguncal Balung, yakni pada 10 Maret 2005 dan 25 Maret 2009. Kalau kita meminjam istilah hukum, umat Hindu dalam melaksanakan Tawur Kesanga sudah punya “yurisprudensi” yakni sesuatu yang sudah dilaksanakan sebelumnya dan berlangsung baik. Kenapa hal ini dipermasalahkan lagi?
Pemahaman umat dalam masalah agama yang mengacu ke sastra Hindu semakin baik. Kalau di saat ini disebutkan Siwa (Tuhan) melakukan yoga dan tak boleh ada persembahan, bagaimana dengan ajaran yang harus selalu mengingat dan memuja Beliau dalam keadaan apa pun? Kalau yoga itu diartikan sebagai “tidak bekerja” tentu saja melempas dari pemahaman bahwa “sedetik pun Tuhan tak bekerja maka binasalah ciptaan-Nya”.
Tawur Kesanga dengan Nyepi tak bisa dipisahkan. Tanpa Tawur Kesanga maka Nyepi tak bisa dilangsungkan dengan ke empat brata penyepian itu, karena bhuta masih gentayangan tak ada yang nyomya. Tawur Kesanga adalah nyomya (mengubah sifat) bhuta untuk dijadikan dewa. Kalau Tawur Kesanga dipindahkan ke Tilem Kedasa, tentu bakal aneh karena Nyepi itu justru tanggal pertama (penanggal apisan) Sasih Kedasa dan Tilem adalah penutup sasih.
Dari uraian ini, kita akhirnya harus pandai-pandai menyikapi sebuah lontar untuk dijadikan pedoman dalam ritual keagamaan. Kita tak bisa berpegangan kepada satu lontar saja untuk melaksanakan ritual.
Lontar adalah sarana untuk menulis di zamannya. Ketika kertas belum ada, sementara menulis di batu terlalu berat, penemuan daun rontal untuk sarana menulis merupakan sebuah teknologi pada zamannya itu. Maka para leluhur kita menggunakan daun rontal untuk berkarya dan daun rontal yang sudah ditulis itu dinamakan lontar.
Dengan demikian tidak semua lontar berisi acuan ritual yang harus dipakai sebagai pedoman. Lontar pun harus dipilah-pilah. Ada lontar yang berisi petunjuk ritual dengan mengacu kepada sastra Weda atau Purana dan sejenisnya. Ada lontar yang berisi penafsiran terhadap berbagai sastra. Ada lontar yang hanya mencatat kejadian pada zamannya untuk dikenang di masa mendatang. Ada lontar yang bersifat hiburan, berisi tembang namun penuh dengan nasehat. Ada pula lontar yang berisi primbon macam-macam, misalnya, gempa bumi hari ini artinya ini. Atau, lelaki yang punya istri hamil dilarang cukur rambut. Mungkin dulu kejadiannya seperti itu, cara orang tua menasehati agar sang suami jangan memikirkan dirinya sendiri padahal istrinya hamil. Karena kejadian itu dicatat di dalam lontar, maka seolah-olah semuanya itu adalah ajaran agama.
Lontar itu di era moderen seperti buku. Ada buku agama, ada buku sastra, ada buku lelucon, ada buku reportase kejadian tertentu. Buku ini pun sekarang sudah berganti flashdisk dibaca lewat komputer. Jadi salah besar kalau semua lontar disebut suci lalu diberi sesajen dan diikuti isinya tanpa memilahnya. Seperti halnya buku, hanya lontar yang mengacu pada sastra agama dan ritual saja yang disucikan. Itu pun harus dilihat kapan lontar itu dibuat, karena dalam perkembangan banyak acuan keagamaan yang sudah tak berlaku lagi, karena ditemukan sumber sastra yang lebih baru.
Comments
Post a Comment