Makna hari suci Soma Ribek. Hari Soma dengan dewanya Sang Hyang Wisnu, perwujudannya sebagai udaka (air) menjadi amertha pawitra. Hari Pon dengan dewanya Sang Hyang Mahadewa, sebagai perwujudan apah (merutha) menjadi amertha kundalini.
Sementara wuku Sinta dengan dewanya Sang Hyang Yama sebagai perwujudan dari agni (api) menjadi amertha kundalini. Ketiga amertha itulah dibutuhkan oleh kehidupan semua makhluk di dunia, khususnya manusia.
Disebutnya hari Soma Ribek sebagai hari penegdegan Batara Sri atau piodalan beras karena pelaksanaan upacaranya menggunakan beras. Beras merupakan simbol amertha.
Berdasarkan Pawukon menjelaskan dalam hari Soma Ribek, umat Hindu akan melaksanakan upacara di lumbung (tempat penyimpanan padi) serta pulu (tempat penyimpanan beras).
Sarana upakara-nya, nyanyah geti-geti, gringsing, raka-raka, pisang emas dan bunga-bunga yang harum. Yang menarik, pada hari suci Soma Ribek ada tradisi berpantang untuk menumbuk padi dan menjual beras. Bahkan, di beberapa tempat, selain menumbuk padi dan menjual beras, juga dipantangkan mengetam padi, menyosoh (nyelip) gabah, memetik buah-buahan atau sayuran, menjual hasil pertanian utamanya bahan pangan. Malah, ada juga yang berpantang memberi atau meminta bahan pangan kepada orang lain.
Pantangan untuk menumbuk padi dan menjual beras ini tersurat dalam lontar Sundarigama.
Yang melanggar pantangan itu dinyatakan akan dikutuk Ida Batara Sri.
“Ikang wang tan wenang anambuk pari, ngadol beras, katemah denira Batara Sri.”
Yang mesti dilakukan oleh umat manusia saat hari suci Soma Ribek adalah memuja Sang Hyang Tripramana (Dewa penguasa tiga situasi dunia) yakni kenyataan, tanda-tanda dan falsafah agama (tatwa).
hari suci Soma Ribek sebetulnya sebagai hari pangan gaya Bali. Pada hari itulah orang Bali disadarkan tentang betapa pentingnya pangan dalam kehidupan ini. Tanpa pangan manusia tidak bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Karenanya, manusia pantas berterima kasih dan mengucap syukur ke hadapan Sang Pencipta atas karunia pangan yang melimpah. Adanya pantangan tidak menumbuk padi serta menjual beras saat Soma Ribek lebih sebagai bentuk sederhana dari penghormatan atas karunia pangan dari Sang Maha Ada. Pantangan semacam ini sama maknanya dengan pantangan menebang pohon saat hari Tumpek Pengatag.
Menurut tradisi Bali, mensyukuri karunia Ibu Perthiwi tiada lain dengan menjaga dan merawatnya melalui menanam segala jenis tanaman sumber kehidupan. Dengan menanam, tidak saja memberi sumber kehidupan pada manusia, tetapi juga menyegarkan tanah karena membuat huma terus terpelihara. Tapi, Bali kini tidak saja enggan menanam, tetapi malah lebih sering menebang. Hutan-hutan di belahan Utara Bali dibabat. Tidak hanya banjir yang kemudian kerap terjadi, keamanan pangan Bali juga semakin terancam. Karena sawah-sawah Bali juga makin terdesak berbarengan dengan makin langkanya anak muda Bali yang mau bertani. Kutukan Dewi Sri pun menjelma nyata, kini.
Sumber: http://www.mantrahindu.com/hari-soma-ribek-dan-kutukan-dewi-sri/
Sementara wuku Sinta dengan dewanya Sang Hyang Yama sebagai perwujudan dari agni (api) menjadi amertha kundalini. Ketiga amertha itulah dibutuhkan oleh kehidupan semua makhluk di dunia, khususnya manusia.
Disebutnya hari Soma Ribek sebagai hari penegdegan Batara Sri atau piodalan beras karena pelaksanaan upacaranya menggunakan beras. Beras merupakan simbol amertha.
Berdasarkan Pawukon menjelaskan dalam hari Soma Ribek, umat Hindu akan melaksanakan upacara di lumbung (tempat penyimpanan padi) serta pulu (tempat penyimpanan beras).
Sarana upakara-nya, nyanyah geti-geti, gringsing, raka-raka, pisang emas dan bunga-bunga yang harum. Yang menarik, pada hari suci Soma Ribek ada tradisi berpantang untuk menumbuk padi dan menjual beras. Bahkan, di beberapa tempat, selain menumbuk padi dan menjual beras, juga dipantangkan mengetam padi, menyosoh (nyelip) gabah, memetik buah-buahan atau sayuran, menjual hasil pertanian utamanya bahan pangan. Malah, ada juga yang berpantang memberi atau meminta bahan pangan kepada orang lain.
Pantangan untuk menumbuk padi dan menjual beras ini tersurat dalam lontar Sundarigama.
Yang melanggar pantangan itu dinyatakan akan dikutuk Ida Batara Sri.
“Ikang wang tan wenang anambuk pari, ngadol beras, katemah denira Batara Sri.”
Yang mesti dilakukan oleh umat manusia saat hari suci Soma Ribek adalah memuja Sang Hyang Tripramana (Dewa penguasa tiga situasi dunia) yakni kenyataan, tanda-tanda dan falsafah agama (tatwa).
hari suci Soma Ribek sebetulnya sebagai hari pangan gaya Bali. Pada hari itulah orang Bali disadarkan tentang betapa pentingnya pangan dalam kehidupan ini. Tanpa pangan manusia tidak bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Karenanya, manusia pantas berterima kasih dan mengucap syukur ke hadapan Sang Pencipta atas karunia pangan yang melimpah. Adanya pantangan tidak menumbuk padi serta menjual beras saat Soma Ribek lebih sebagai bentuk sederhana dari penghormatan atas karunia pangan dari Sang Maha Ada. Pantangan semacam ini sama maknanya dengan pantangan menebang pohon saat hari Tumpek Pengatag.
Menurut tradisi Bali, mensyukuri karunia Ibu Perthiwi tiada lain dengan menjaga dan merawatnya melalui menanam segala jenis tanaman sumber kehidupan. Dengan menanam, tidak saja memberi sumber kehidupan pada manusia, tetapi juga menyegarkan tanah karena membuat huma terus terpelihara. Tapi, Bali kini tidak saja enggan menanam, tetapi malah lebih sering menebang. Hutan-hutan di belahan Utara Bali dibabat. Tidak hanya banjir yang kemudian kerap terjadi, keamanan pangan Bali juga semakin terancam. Karena sawah-sawah Bali juga makin terdesak berbarengan dengan makin langkanya anak muda Bali yang mau bertani. Kutukan Dewi Sri pun menjelma nyata, kini.
Sumber: http://www.mantrahindu.com/hari-soma-ribek-dan-kutukan-dewi-sri/
Comments
Post a Comment