Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Penting & Sucinya Peranan Wanita Menurut Hindu


Wanita berasal dari Bahasa Sanskrit, yaitu Svanittha, di mana kata Sva artinya “sendiri” dan Nittha artinya “suci”. Jadi Svanittha artinya “mensucikan sendiri” kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau “pengamal Dharma”.
Dalam Pandangan Agama Hindu, wanita mempunyai peranan yang penting. Yaitu sebagai “sarana” terwujudnya Punarbhava atau reinkarnasi. Dari sini juga berkembang istilah Sukla Svanittha yang artinya “bibit” atau janin yang dikandung oleh manusia.

Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/ tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi.

Peranan wanita ketika sudah menjadi istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti: mengandung, melahirkan, memelihara bayi, dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hindu di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dll.

Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya.

Kombinasi antara Dharma dan Shakti ini menumbuh kembangkan dinamika kehidupan. Oleh karena itu pula istri disebut sebagai “Pradana” yang artinya pemelihara, dan suami disebut sebagai “Purusha”artinya penerus keturunan.

Wanita yang sudah menjadi seorang istri harus dijaga dengan baik, sebagaimana disebut dalam Manava Dharmasastra yaitu sebagai berikut :

“TU KALABHIGAMISYAT, SWADHARANIRATAH SADA, PARVAVARJAM VRAJEKSAINAM, TAD VRATO RATI KAMYAYA (Manava Dharmasastra III.45)

Artinya : Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik.

“PITRBHIR BHATRBHIS, CAITAH PATIBHIR DEVARAISTATHA, PUJYA BHUSAYITA VYASCA, BAHU KALYANMIPSUBHIH (Manava Dharmasastra III.55)

Artinya : istri harus dihormati dan disayangi oleh mertua, ipar, saudara, suami dan anak-anak bila mereka menghendaki kesejahteraan dirinya.

“YATRA NARYASTU PUJYANTE, RAMANTE TATRA DEVATAH, YATRAITASTU NA PUJYANTE, SARVASTATRAPHALAH KRIYAH (Manava Dharmasastra III.56)

Artinya: Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

“SOCANTI JAMAYO YATRA, VINASYATYACU TATKULAM, NA SOCANTI TU YATRAITA, VARDHATE TADDHI SARVADA (Manava Dharmasastra III.57)

Artinya : Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

“JAMAYO YANI GEHANI, CAPANTYA PATRI PUJITAH, TANI KRTYAHATANEVA, VINASYANTI SAMANTARAH (Manava Dharmasastra III.58)

Artinya : Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Mengingat demikian penting dan sucinya peran wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat, mohon dikoreksi bersama. Sukma …

Sumber :stitidharma.org

Comments