Perkawinan di Bali akrab dengan istilah “Nganten”.Sebagai manusia yang religius, umat Hindu memandang nganten sebagai sebuah prosesi yang sangat sakral.Di samping menyiapkan sarana upacara, hari baik atau padewasan, yang tidak kalah penting adalah asal-usul kedua mempelai.Asal-usul yang dimaksud adalah silsilah keluarga.Asal-usul ini dianggap penting, bukan untuk membanding-bandingkan taraf hidup mempelai, namun lebih dari pada itu, untuk mengetahui boleh atau tidaknya dua orang melaksanakan perkawinan berkaitan dengan hubungan darah atau keluarga.
Mengapa faktor hubungan keluarga menjadi sangat penting? Sebenarnya bukan hanya di dalam agama Hindu saja dilarang, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun tertera secara jelas larangan perkawinan sedarah. Pasal 8 menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
Selanjutnya, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. Dan, yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Pasal 8 tersebut menyatakan pada prinsipnya diatur larangan perkawinan karena mempunyai hubungan darah atau hubungan kekeluargaan yang dekat. Selain itu, pelarangan juga bisa karena kedua calon mempelai mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Larangan-larangan perkawinan karena hubungan keluarga sangat dekat, dalam masyarakat Bali disebut Gamia-gamana. Selain itu, ada pula salah satu perkawinan yang dilarang menurut ajaran Agama Hindu di Bali, yakni disebut dengan istilah ”Makedeng-kedengan Ngad”. Makedeng-kedengan Ngad berasal dari dua kata, yakni “Kedeng” dan “Ngad”.Kedeng berarti tarik, sedangkan makedeng-kedengan berarti saling tarik-menarik.
Selanjutnya,ngad berarti bilah bambu yang sisi kulitnya tajam. Di Bali, ngad biasanya dibentuk seperti pisau dan kerap digunakan untuk menyembelih bebek dan ayam, atau memotong bagian tubuh tertentu dari hewan karena saking tajamnya. Dengan demikian, istilah Makedeng-kedengan Ngad berarti saling tarik menarik bilah bambu yang tajam.Tentunya hal ini hanyalah sebuah istilah yang berkonotasi pada efek berbahaya bagi kedua belah pihak mempelai yang melakukan perkawinan.
Nganten Makedeng-kedengan Ngad adalah adanya pertukaran antar anggota keluarga (umumnya antara dua keluarga) yang ditujukan untuk perkawinan. Ilustrasinya, ada keluarga A dan B. Keluarga A memiliki anak laki-laki dan menikahi anak perempuan dari keluarga B. Nah, keluarga B juga memiliki anak laki-laki dan mengambil istri dari keluarga A, sehingga seolah-olah dalam hal ini ada “pertukaran”.
Menurut Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Merta Yoga, Nganten Makedeng-kedengan Ngad itu dilarang, karena sesuai istilahnya Makedeng-kedengan ngad itu bisa melukai. Melukai yang dimaksud adalah berbahaya bagi mempelai dan keluarganya.“Salah satu biasanya ada yang sering sakit,” ungkapnya.Bahkan, menurut kepercayaan masyarakat, selain mengalami penderitaan, salah satu mempelai atau keluarganya bisa sampai meninggal.
Lebih lanjut Ida Pandita menjelaskan, perkawinan ini berakibat kurang tenteram di keluarga, karena secara niskala (gaib), apabila keturunan dari suatu keluarga dengan keturunan keluarga lainnya melakukan perkawinan, kedua belah pihak keluarga tersebut dianggap telah memiliki ikatan kekeluargaan pula. Dengan demikian, mereka secara niskala sudah dianggap memiliki hubungan darah dan tidak lagi diperkenankan melakukan perkawinan. “Karena mereka dianggap sudah satu darah,” ujarnya.
Menurut Ida Pandita, sebisa mungkin perkawinan satu darah dihindari, termasuk Makedeng-kedengan Ngad. Selain secara agama hal tersebut tidak baik, secara biologis juga bisa mengakibatkan dampak buruk seperti cacat fisik maupun mental.“Kalau tidak yang melakukan perkawinan, keturunan yang terkena dampaknya.Seperti dahulu ada yang dijodohkan dengan misan (sepupu), itu tidak baik,” tegasnya.
Perkawinan yang ideal menurutnya, mengambil pasangan di luar hubungan keluarga.Tentunya hal tersebut juga tidak boleh sembarangan, karena harus memperhatikan kualitas calon pasangan. Bahkan, bagi yang percaya dengan patemuan (perjodohan sesuai hari lahir), tidak akan mudah mencari pasangan yang pas karena harus disesuaikan dengan urip berdasar waktu kelahiran.
Di beberapa kejadian, Ida Pandita mengatakan ada yang akhirnya memilih jalan perceraian karena senantiasa mengalami permasalahan.
“Ada yang nyapih (berpisah).Tapi, kalau sudah tua cerai kan tidak ada gunanya juga,” ujarnya.Oleh karena itu, Nganten Makedeng-kedengan Ngad sangat tinggi risikonya. Istilah Bali-nya menyebutkan “ila-ila dahat”. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan pula ada pasangan yang masih berhubungan darah, meskipun melakukan perkawinan bisa berhasil dan sukses.Tentunya itu semua kembali ke karma phala pasangan tersebut atau atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa.
sumber: dharmavada, baliexpress, inputbali
Gambar: https://ecs4.tokopedia.net/newimg/product-1/2013/5/25/1975805/1975805_fe06d67a-c4d3-11e2-9cfa-2a7e2523fab8.jpg
Comments
Post a Comment