Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Hindu mengajarkan sistem kasta?


🔹 Kata “kasta ” berasal dari bahasa Portugis “caste” yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Sejarah kasta yang dituduhkan pada masyarakat Hindu berawal dari kedatangan Bangsa Portugis yang melakukan pengarungan samudera ke dunia timur yang didasari atas semangat Gold (memperoleh kekayaan), Glory (memperoleh kejayaan), dan Gospel (penyebaran agama). Caste yang dalam sejarah portugis sudah berlangsung lama akibat proses Feodalisme, bahkan feodalisme ini terjadi pada semua sejarah masyarakat dunia. Di Inggris muncul penggolongan masyarakat secara vertikal dengan membedakan namanya seperti Sir, Lord, Duke, dll. Gelar-gelar kebangsawanan Teuku dan Cut masih diterapkan secara kental di Aceh, dan di Jawa sendiri juga diterapkan dalam pemberian nama Raden.

🔹Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ”Catur ” berarti empat dan kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan keterampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya, dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna

🔹Feodalisme di masyarakat Hindu sendiri muncul dengan menyalah artikan konsep Catur Varna yang diungkapkan dalam Veda. Veda sama sekali tidak mengenal sistem kasta dan tidak ada satu kalimatpun dalam Veda yang menulis kata “kasta”. Catur Varna sebagaimana disebutkan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 4.13

🌺 catur-varnyam maya srstam guna-karma-vibhagasah
tasya kartaram api mam viddhy akartaram avyayam

Artinya:
“Catur Varna adalah ciptaan-Ku, menurut
pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku Penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku”

🔹Sloka ini sudah dengan sangat jelas dan
gamblang menyatakan bahwa Catur Varna
diciptakan oleh Tuhan sendiri pada seluruh
tataran kehidupan manusia. Catur Varna hanya didasarkan oleh kerja dan kualitas seseorang, bukan berdasarkan kelahiran sebagaimana produk kasta yang selama ini dilontarkan. Adapun Catur Varna tersebut membagi manusia kedalam 4 bagian, yaitu;

a. Brahmana
Adalah mereka yang memiliki kecerdasan tinggi, mengerti tentang kitab suci, ketuhanan dan ilmu pengetahuan. Para Brahmana memiliki kewajiban mengajarkan ajaran ketuhanan dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Brahmana juga memiliki kewajiban sebagai penasihat pada kaum Ksatria dalam melaksanakan roda pemerintahan. Rsi, Pedanda, Sulinggih, Pinandita, dan pemuka agama lainnya, dokter, ilmuwan, guru, dan profesi yang sejenis dapat digolongkan kedalam Varna Brahmana

b. Ksatria
Adalah mereka yang memiliki sikap pemberani, jujur, tangkas dan memiliki kemampuan managerial dalam dunia pemerintahan. Mereka yang masuk kedalam golongan Varna Ksatria antara lain: raja/pemimpin negara, aparatur negara, prajurit, dan angkatan bersenjata.

c. Vaisya
Adalah mereka yang memiliki keahlian
berbisnis, bertani dan berbagai profesi lainnya yang bergerak dalam bidang ekonomi. Dalam Varna ini termasuk pedagang, petani, nelayan, pengusaha, dan sejenisnya.

d. Sudra
Adalah mereka yang memiliki kecerdasan
terbatas, sehingga mereka lebih cenderung
bekerja dengan kekuatan fisik, bukan dengan otak/pikiran.
Contoh profesi sudra adalah pembantu rumah tangga, buruh angkat barang, tukang becak, dan sejenisnya.

🔹Penggolongan ini akan tetap hidup di
masyarakat manapun karena watak, karakter, kecerdasan yang menentukan profesi seseorang tidaklah sama. Harus ada tuan dan harus ada pembantu. Harus ada raja/pemimpin dan harus ada rakyat yang dipimpin. Keempat golongan masyarakat ini harus bekerjasama untuk menciptakan masyarakat dunia yang harmonis dan bahagia. Jika kaum Vaisya mogok kerja,
maka roda perekonomian tidak akan jalan dan akan terjadi krisis ekonomi. Jika kaum Brahmana tidak menjalankan tugasnya, masyarakat akan kacau karena moral, agama, dan pengetahuan masyarakat menjadi kurang. Jika para Ksatria/administrator negara tidak menjalankan kewajibannya, maka negara bersangkutan menjadi lemah dan mungkin akan terjadi chaos dalam masyarakat. Jika para Sudra / kaum buruh mogok kerja maka perekonomian dan kehidupan 3 golongan yang lain juga menjadi timpang.

🔹Hanya saja akibat proses feodalisme, egosime dan keinginan untut menancapkan kuku kekuasaan, manusia sebagai orang tua berusaha menancapkan dan mengibarkan bendera kekuasaan yang sama kepada anaknya meskipun sang anak tidak memiliki kualifikasi yang sama dengan orang tuanya. Orang tua terpelajar yang berkedudukan sebagai pemuka agama dan masuk kedalam golongan Brahmana ingin agar anaknya dihormati dengan menjadikannya sebagai seorang Brahmana meskipun si anak tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam filsafat ketuhanan maupun pengetahuan lainnya. Demikian juga pemimpin negara berkeinginan agar garis keturunan biologisnyalah yang tetap berkuasa dan dihormati masyarakat sehingga dia memberikan nama gelar kebangsawanan pada anaknya yang meskipun kecerdasan anak tersebut sangat rendah dan tidak layak menjadi pemimpin.

🔹Jadi, konsep pembagian penduduk secara vertikal yang berdasarkan kelahiran / trah / keturunan yang selama ini diterapkan baik di masyarakat Hindu sendiri ataupun di luar masyarakat Hindu sangatlah bertentangan dengan konsep ajaran Veda / Hindu sehingga masalah ini merupakan tantangan kita bersama untuk menghilangkan salah kaprah ini dari sistem sosial masyarakat dunia.

Sumber: narayanasmrti.com, Sanātana Dharma

Comments