Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Mengapa kita sembahyang memakai bunga?


Om Swastiastu,
Kelihatannya sangat sepele sekali, namun masih banyak dikalangan umat Hindu yang belum tahu maknanya, sehingga sering menjadi pertanyaan. Dari seringnya muncul pertanyaan tersebutlah dapat ditarik satu kesimpulan bahwa masih banyak umat kita yang belum tahu walaupun mereka telah dari lama menggunakan bunga sebagai salah satu sarana persembahyangan.
Dengan demikianlah saya tertarik untuk menulisnya disini, semoga saudara mendapatkan sekilas gambaran tentang makna bunga sebagai sarana upacara dan sekaligus sebagai sarana persembahyangan. Saya tahu sudah ada diantara saudara telah tahu dan faham tentang makna bunga, namun tulisan ini hanya bagi saudara yang masih memerlukan.
Berbicara tentang bunga, dapat dimaknai dari berbagai sisi, antara lain: dari sisi baunya, harum merupakan bau yang paling disenangi, dicintai oleh manusia, sehingga bunga disebut sebagai simbol bhakti (cinta) kehadapan Tuhan. Ada yang memaknai dari sudut warnanya, diidentikan dengan warna dari Nawa Dewata, sehingga bungan disebutkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan melalui manifestasinya.
Ada pula yang mengatakan bahwa bunga itu cikal bakal dari buah, buah itu adalah pahala, sehingga bunga disebut sebagai sebuah sarana untuk mempercepat proses kita mendapatkan pahala dari karma kita. Dan lain sebagainya, semuanya itu menurut saya tidak ada yang salah. Kadang-kadang bunga itu digunakan juga oleh saudara kita yang beda agama, sesuai dengan kepentingan mereka.
Dengan demikian saya dapatkan satu makna bunga yang jarang bahkan belum ada yang pernah menyinggungnya, melalui sebuah cerita pendek dari guru pembimbing saya sejak saya belum menjadi seorang Pedanda, ceritanya begini:
Ada sebuah keluarga kecil yang terdiri Ayah, Ibu dan dua anak laki. Anak yang lebih tua bernama Si Hitam, dan yang kecilan namanya Si Putih. Kedua anak kakak beradik ini karakternya sangat berbeda sehingga mereka diberi nama yang kelihatan berlawanan, yaitu Hitam, dan Putih. Singkat cerita, dirumah itu memang ada benda warisan satu batang pohon bunga mawar merah. Entah bagaimana asal mulanya, si Putih sangat sayang pada pohon mawar itu, dipeliharanya, diberi pupuk, diberi air, dibersihkan dari daun-daunnya yang sudah kering, namun si Hitam sama sekali tidak mau tahu, menganggap adiknya kurang pekerjaan.
Bahkan si Hitam kadang kadang entah sengaja atau tidak mematahkan dahan mawar itu, intinya si Hitam memperlakukan pohon mawar itu dengan sembarangan. Lanjut cerita, setelah beberpa bulan, lalu mawar merah itu berbunga dua kuntum, warnanya sangat menarik, kuntum bunganya besar, baunya wangi, lalu si Putih pun memetik bunga mawar itu dengan sopan, sebelum memetik dia berbicara sendiri seolah-olah berbicara kepada pohon mawar, begini dia berbicara: “Mawar, aku minta bungamu satu ya, nanti kau akan berbunga lebih lebat lagi”. Demikian antara lain kata-kata si Putih, itu juga dia lakukan setiap kali dia menyiram sambil berbicara dengan pohon mawar itu, mencurahkan rasa cinta kasih dan bangganya terhadap tumbuh-tumbuhan.
Setelah berbicara begitu baru ia memetik bunga mawar itu, diciumnya bunga itu baunya harum sekali. Kemudian beberapa jam lagi datang si Hitam, melihat bunga mawar yang indah lalu dia memetik tanpa ba, bi, bu, langsung dipetiknya secara kasar, setelah dipetik bunga mawar itu lalu dia cium, dia merasakan bau yang sangat wangi, sama dengan bau yang dicium oleh adiknya tadi.
Demikianlah cerita singkat dari guru saya. Lalu, Beliau menyimpulkan bahwa bunga itu memberi kita contoh pendidikan yang amat dalam, yaitu walaupun mereka ada yang menyayangi dan ada pula yang membencinya, namun pada saatnya si bunga akan memberikan sesuatu yang sama kepada kedua belah pihak, si bunga tidak membeda-bedakan antara yang menyayangi dengan yang membencinya.
Makna seperti inilah yang patut kita tangkap dan kita pelajari untuk merubah sikap kita mengikuti sikap bunga, memang hal ini tidak semudah membalikan telapak tangan, namun kita terus berusaha kearah itu, demikian pesan yang amat dalam disampaikan kepada kita oleh para leluhur kita pesan yang terbungkus rapi, maka kita sekarang perlu membukanya untuk kepentingan kita bersama dijaman seperti ini.
Sebuah teori itu sangat perlu, namun jangan mentok pada teori, teori itu kita harus praktikan sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan kita tidak akan sadar sudah biasa melakoninya. Demikanlah sebagi tambahan makna bunga yang digunakan oleh umat Hindu di saat berupacara.
Perlu saya tekankan disini bila saudara ingin sembahyang ke Pura, bawalah perlengkapan sembahyang dengan lengkap sesuai keperluan sembahyang. Jangan ketika sudah sampai di Pura baru kita mencari bunga, tengok kanan-tengok kiri, kadang-kadang canang di banten teman kita ambil bunganya untuk sembahyang, itu adalah hal yang salah, karena kalau kita mengambil bungan canang dari banten yang belum dihaturkan (masih sukla), berarti kita telah merusak banten yang masih sukla dan hal itu besar dosanya, dan apabila kita mengambil bunga dari canang yang sudah dihaturkan (surudan), berarti kita sembahyang dengan memakai bunga bekas.
Disamping itu sangat kelihatan sekali kalau kita sembahyang penuh dengan ketidak ikhlasan, karena tidak menyiapkan diri ketika akan menghadap Tuhan. Dan satu lagi, kalau saudara sembahyang di Pura mana saja, setelah selesai sembahyang tolong ambil bunga, kwangen, serta dupa bekas dipakai sembahyang, kemudian di tempat sampah yang tersedia, dan kalaupun tidak ada tong sampah yang disediakan di Pura, lebih baik dibawa saja pulang agar nanti ditempatkan pada tempat sampah dirumah, sehingga Pura sebagai tempat suci kita tetap akan terjaga kebersihannya.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Sumber: Ida Pedanda Made Gunung (2013), Sanātana Dharma

Comments