Swastika Hindu ( 卐 )Memahami Simbol dan Arti
Swastika Hindu ( 卐 ) merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.
Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk,Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Siprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, Cina, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.
Dikaji secara Etimology Kata Swastika terdiri dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan akhiran Ka yang membentuk kata sifat menjadi kata benda. Sehingga lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar dari terapan kata Swastyastu (Semoga dalam keadaan baik).
Swastika merupakan bentuk doa geometris kepada kekuatan mahasuci agar diberikan kekayaan, kesenangan, kebahagiaan dan kemakmuran dalam segala hal. Sastra menggaris bawahi bahwa swastika adalah tanda simbol dewi kemakmuran “Ma Laksmi“. karena Dewi Laksmi adalah Sakti Wisnu dimana tanda tersebut juga memohon anugrah beliau.
SWASTIKA erat hubungannya dengan SWASTYASTU, yang merupakan salah satu simbol bagi ajaran dharma, adalah dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.
Dalam Ganesha Purana dikatakan bahwa swastika merupakan lambang Dewa Ganesh (Ganesha). Lambang ini harus dibuat sebelum melakukan kegiatan baik. Itu memiliki kekuatan untuk menghilangkan semua rintangan. Mereka yang tidak menghiraukan akan gagal. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan untuk mengawali dengan lambang swastika, sedangkan dalam Regweda dijelaskan bahwa Swastika adalah lambang dewa surya, merupakan perlambang “jalannya matahari“, yaitu sebagai simbol “gerak nan abadi” yang muncul dari arah “pergerakan semu” matahari dari timur ke barat.Gerak matahari ini terlihat, karena bumi berputar pada sumbunya dari kiri ke kanan (pradaksina), kemudian berevolusi mengelilingi matahari dari barat ke timur, sehingga matahari terlihat bergerak dari timur ke barat.
Kalau kita lihat swastika merupakan cakra teratai alam semesta (bhuana agung) yang berputar sebagaimana pada kehidupan manusia (bhuana alit). Roh alam semesta itu sendiri adalah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan Swastika tersebut. Sedangkan pada mahkluk ciptaannya, rohnya adalah sang Atman, karena sesunggunhnya Brahman dan Atman adalah identik, atman adalah bagian percikan suci/ hanya seberkas sinar dari matahari Brahman.Selain tersebut diatas sebagai symbol perputaran kerja alam semesta, symbol ini dapat dikaitkan dengan waktu perputaran jaman pada alam semesta tersebut. Dalam konsep Hindu kita kenal dengan empat jaman yaitu Catur Yuga. Adapun zaman tersebut secara berturut-turut berputar searah jarum jam adalah zaman Kerta Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga dan Kali Yuga.Dalam perputaran ini, kita mengenal dualisme yang tak bisa kita pungkiri seperti purusa-prakrti, pagi-sore, siang-malam, hidup-mati, masa kini-masa lalu, pria-wanita dan lain sebaginya. Sifat yang berpasangan ini, dalam Hinduisme di Bali disebut sebagi konsep Rwa Bhineda sebagai kekuatan memutar alam semesta ini. Sifat rwa bhineda ini terus berputar dan demikian seterusnya yang biasa disebut drama kosmis atau siklus kosmis, hal mana digambarkan amat sempurna oleh lambang swastika, yang di dalamnya terdapat kwadran-kwadran episode Catur Yuga. Nama pada setiap petak itu menggambarkan perwatakan-perwatakan dari kehidupan, yaitu kwadran I menunjukkan keadaan dimana suasana kebahagiaan dan tidak ada kesedihan dimana dharma sangat dijunjung tinggi pada jaman Kerta yuga.
Swastika sebagai simbol agama Hindu juga memiliki makna perputaran dunia yang dijaga oleh manifestasi Kemahakuasaan Tuhan di delapan penjuru mata angin (asthadala) dan berpusat pada Siwa di titik tengah. Ke-9 manifestasi Kemahakuasaan Tuhan ini kemudian disebut Dewata Nawasanga.Swastika simbol suci Agama Hindu yang sebagai dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung atau macrocosmos dan Bhuana Alit atau Microcosmos. Swastika sebagai lambang keselamat, kebahagia dan kesejahtra seluruh alam semesta.
Swastika simbol suci Agama Hindu yang sebagai dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung atau macrocosmos dan Bhuana Alit atau Microcosmos. Swastika sebagai lambang keselamat, kebahagia dan kesejahtra seluruh alam semesta. Swastikan lebih bermakna sebagai “penyerapan” atau “pelepasan“.
Arah ke kanan lebih pada pelepasan/penebaran energi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahtraan (lebih bersifat makrokosmos dan microkosmos yaitu Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya). Sedangkan kalau di balik (Swastika ke kiri) adalah lambang penyerapan (lebih bersifat microkosmos / Panca Sradha).
Arah ke kanan lebih pada pelepasan/penebaran energi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahtraan (lebih bersifat makrokosmos dan microkosmos yaitu Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya). Sedangkan kalau di balik (Swastika ke kiri) adalah lambang penyerapan (lebih bersifat microkosmos / Panca Sradha).
Makna simbul Swastika adalah Catur Dharma yaitu empat macam tugas yang patut kita Dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum (selamat, bahagia dan sejahtra) yaitu:
1. Dharma Kriya = Melaksanakan swadharma dengan tekun dan penuh rasa tanggung jawab2. Dharma Santosa = Berusaha mencari kedamaian lahir dan bathin pada diri sendiri.3. Dharma Jati=Tugas yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesejahtraan dan ketenangan keluarga dan juga untuk umum
4. Dharma Putus=Melaksanakan kewajiban dengan penuh keikhlasan berkorban serta rasa tanggung jawab demi terwujudnya keadilan social bagi umat manusia.
Makna yang lebih dalam yaitu Empat Tujuan Hidup yaitu Catur Purusartha / Catur Warga: Dharma, Kama, Artha, Moksa.
Dharma = Kewajiban/kebenaran/hukum/Agama/Peraturan/Kodrat
Artha = Harta benda / Materi
Kama = Kesenangan / Hawa Nafsu
Moksa = Kebebasan yang abadi
Swastika juga memiliki dasarLambang saling menyilang ini di Bali dikenal dengan tanda Tapak Dara, tanda tambah (+), di India disebut ‘Satiya’. Gambar tapak dara di Bali biasanya digunakan untuk menolak marabahaya atau memberi ketenangan kepada seseorang setelah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Tapak Dara sebagai dasar Swastika dapat mewakili Tri Hita Karana Yakni :
Garis Ke Atas sebagai Prahyangan yakni hubungan harmonis kepada Sang PenciptaGaris Ke Bawah sebagai Palemahan yakni hubungan harmonis kepada Alam dan Ciptaan-Nya (Selain Manusia)
Garis ke Kanan dan ke Kiri sebagai Pawongan yakni hubungan harmonis kepada sesama Manusia
Bila anda mampu menyeimbangkan Tri Hita Karana maka keseimbangan hidup akan terwujud.Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama seperti misalnya Tetragammadion di Yunani atau Fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Het, Kelt serta Teuton. Simbol ini dapat ditemukan pada kuil-kuil Hindu, Jaina dan Buddha maupun gereja-gereja Kristen (Gereja St. Sophia di Kiev, Ukrainia, Basilika St. Ambrose, Milan, serta Katedral Amiens, Prancis), mesjid-mesjid Islam ( di Ishafan, Iran dan Mesjid Taynal, Lebanon) serta sinagog Yahudi Ein Gedi di Yudea.
Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.
Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry.
Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah partai politik saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang penghianat Yahudi Jerman tewas di tangan para prajurit yang mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”: miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya.
Swastika juga banyak mengandung arti, bila searah dengan arah jarum jam berarti mengandung hal – hal yang bersifat atau mengandung kebaikan. sedangkan bila berlawanan dengan arah jarum jam maka merupakan suatu bentuk kejelekan dan banyak digunakan oleh para penyihir – penyihir dizaman dahulu. Swastika yang searah jarum jam juga berarti mengikuti arus aturan dan kebiasaaan kehidupan yang berlaku di masyarakat pada umumnya (searah jarum jam = searah perputaran waktu kehidupan di bumi), sedangkan bila berlawanan dengan arah jarum jam maka merupakan suatu perbuatan yang berlawanan dari segala arus aturan dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, hal ini bisa berarti baik maupun buruk (berlawanan arah jarum jam = berlawanan arah dengan perputaran waktu bumi / berlawanan dengan segala hal yang biasa dalam kehidupan pada umumnya, melambangkan Batara Kala yang menakutkan).
Contohnya : Jika kita hidup di lingkungan yang buruk dan negatif maka merupakan suatu hal yang baik jika kita tidak mengikutinya, sebaliknya jika kita hidup di dalam lingkungan yang baik dan positif namun kita tidak mengindahkannya, berarti perbuatan kita adalah negatif. Sang Buddha Gautama saat membina diri juga menyadari bahwa pembinaan diri itu harus berlawanan dengan metode pembinaan diri yang berkembang di masanya, yaitu metode pembinaan yang menyiksa diri, sehingga Sang Buddha pun mengubah metode pertapaannya menjadi metode meditasi yang sederhana (tanpa menyiksa diri), dan ternyata justru berhasil mencapai tingkat pencerahan sempurna.
Sumber:
mantrahinduwikimedia
Swastika Hindu ( 卐 ) merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.
Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk,Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Siprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, Cina, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.
Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk,Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Siprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, Cina, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika.
Dikaji secara Etimology Kata Swastika terdiri dari kata Su yang berarti baik, kata Asti yang berarti adalah dan akhiran Ka yang membentuk kata sifat menjadi kata benda. Sehingga lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar dari terapan kata Swastyastu (Semoga dalam keadaan baik).
Swastika merupakan bentuk doa geometris kepada kekuatan mahasuci agar diberikan kekayaan, kesenangan, kebahagiaan dan kemakmuran dalam segala hal. Sastra menggaris bawahi bahwa swastika adalah tanda simbol dewi kemakmuran “Ma Laksmi“. karena Dewi Laksmi adalah Sakti Wisnu dimana tanda tersebut juga memohon anugrah beliau.
SWASTIKA erat hubungannya dengan SWASTYASTU, yang merupakan salah satu simbol bagi ajaran dharma, adalah dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.
Dalam Ganesha Purana dikatakan bahwa swastika merupakan lambang Dewa Ganesh (Ganesha). Lambang ini harus dibuat sebelum melakukan kegiatan baik. Itu memiliki kekuatan untuk menghilangkan semua rintangan. Mereka yang tidak menghiraukan akan gagal. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan untuk mengawali dengan lambang swastika, sedangkan dalam Regweda dijelaskan bahwa Swastika adalah lambang dewa surya, merupakan perlambang “jalannya matahari“, yaitu sebagai simbol “gerak nan abadi” yang muncul dari arah “pergerakan semu” matahari dari timur ke barat.
Gerak matahari ini terlihat, karena bumi berputar pada sumbunya dari kiri ke kanan (pradaksina), kemudian berevolusi mengelilingi matahari dari barat ke timur, sehingga matahari terlihat bergerak dari timur ke barat.
Kalau kita lihat swastika merupakan cakra teratai alam semesta (bhuana agung) yang berputar sebagaimana pada kehidupan manusia (bhuana alit). Roh alam semesta itu sendiri adalah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan Swastika tersebut. Sedangkan pada mahkluk ciptaannya, rohnya adalah sang Atman, karena sesunggunhnya Brahman dan Atman adalah identik, atman adalah bagian percikan suci/ hanya seberkas sinar dari matahari Brahman.
Selain tersebut diatas sebagai symbol perputaran kerja alam semesta, symbol ini dapat dikaitkan dengan waktu perputaran jaman pada alam semesta tersebut. Dalam konsep Hindu kita kenal dengan empat jaman yaitu Catur Yuga. Adapun zaman tersebut secara berturut-turut berputar searah jarum jam adalah zaman Kerta Yuga, Treta Yuga, Dvapara Yuga dan Kali Yuga.
Dalam perputaran ini, kita mengenal dualisme yang tak bisa kita pungkiri seperti purusa-prakrti, pagi-sore, siang-malam, hidup-mati, masa kini-masa lalu, pria-wanita dan lain sebaginya. Sifat yang berpasangan ini, dalam Hinduisme di Bali disebut sebagi konsep Rwa Bhineda sebagai kekuatan memutar alam semesta ini. Sifat rwa bhineda ini terus berputar dan demikian seterusnya yang biasa disebut drama kosmis atau siklus kosmis, hal mana digambarkan amat sempurna oleh lambang swastika, yang di dalamnya terdapat kwadran-kwadran episode Catur Yuga. Nama pada setiap petak itu menggambarkan perwatakan-perwatakan dari kehidupan, yaitu kwadran I menunjukkan keadaan dimana suasana kebahagiaan dan tidak ada kesedihan dimana dharma sangat dijunjung tinggi pada jaman Kerta yuga.
Swastika sebagai simbol agama Hindu juga memiliki makna perputaran dunia yang dijaga oleh manifestasi Kemahakuasaan Tuhan di delapan penjuru mata angin (asthadala) dan berpusat pada Siwa di titik tengah. Ke-9 manifestasi Kemahakuasaan Tuhan ini kemudian disebut Dewata Nawasanga.
Swastika simbol suci Agama Hindu yang sebagai dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung atau macrocosmos dan Bhuana Alit atau Microcosmos. Swastika sebagai lambang keselamat, kebahagia dan kesejahtra seluruh alam semesta.
Swastika simbol suci Agama Hindu yang sebagai dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung atau macrocosmos dan Bhuana Alit atau Microcosmos. Swastika sebagai lambang keselamat, kebahagia dan kesejahtra seluruh alam semesta.
Swastikan lebih bermakna sebagai “penyerapan” atau “pelepasan“.
Arah ke kanan lebih pada pelepasan/penebaran energi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahtraan (lebih bersifat makrokosmos dan microkosmos yaitu Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya). Sedangkan kalau di balik (Swastika ke kiri) adalah lambang penyerapan (lebih bersifat microkosmos / Panca Sradha).
Arah ke kanan lebih pada pelepasan/penebaran energi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahtraan (lebih bersifat makrokosmos dan microkosmos yaitu Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya). Sedangkan kalau di balik (Swastika ke kiri) adalah lambang penyerapan (lebih bersifat microkosmos / Panca Sradha).
Makna simbul Swastika adalah Catur Dharma yaitu empat macam tugas yang patut kita Dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum (selamat, bahagia dan sejahtra) yaitu:
1. Dharma Kriya = Melaksanakan swadharma dengan tekun dan penuh rasa tanggung jawab
2. Dharma Santosa = Berusaha mencari kedamaian lahir dan bathin pada diri sendiri.
3. Dharma Jati=Tugas yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesejahtraan dan ketenangan keluarga dan juga untuk umum
4. Dharma Putus=Melaksanakan kewajiban dengan penuh keikhlasan berkorban serta rasa tanggung jawab demi terwujudnya keadilan social bagi umat manusia.
Makna yang lebih dalam yaitu Empat Tujuan Hidup yaitu Catur Purusartha / Catur Warga: Dharma, Kama, Artha, Moksa.
Dharma = Kewajiban/kebenaran/hukum/Agama/Peraturan/Kodrat
Artha = Harta benda / Materi
Kama = Kesenangan / Hawa Nafsu
Moksa = Kebebasan yang abadi
Swastika juga memiliki dasarLambang saling menyilang ini di Bali dikenal dengan tanda Tapak Dara, tanda tambah (+), di India disebut ‘Satiya’. Gambar tapak dara di Bali biasanya digunakan untuk menolak marabahaya atau memberi ketenangan kepada seseorang setelah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Tapak Dara sebagai dasar Swastika dapat mewakili Tri Hita Karana Yakni :
Garis Ke Atas sebagai Prahyangan yakni hubungan harmonis kepada Sang Pencipta
Garis ke Kanan dan ke Kiri sebagai Pawongan yakni hubungan harmonis kepada sesama Manusia
Bila anda mampu menyeimbangkan Tri Hita Karana maka keseimbangan hidup akan terwujud.
Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut.
Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry.
Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah partai politik saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang penghianat Yahudi Jerman tewas di tangan para prajurit yang mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”: miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya.
Swastika juga banyak mengandung arti, bila searah dengan arah jarum jam berarti mengandung hal – hal yang bersifat atau mengandung kebaikan. sedangkan bila berlawanan dengan arah jarum jam maka merupakan suatu bentuk kejelekan dan banyak digunakan oleh para penyihir – penyihir dizaman dahulu. Swastika yang searah jarum jam juga berarti mengikuti arus aturan dan kebiasaaan kehidupan yang berlaku di masyarakat pada umumnya (searah jarum jam = searah perputaran waktu kehidupan di bumi), sedangkan bila berlawanan dengan arah jarum jam maka merupakan suatu perbuatan yang berlawanan dari segala arus aturan dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat, hal ini bisa berarti baik maupun buruk (berlawanan arah jarum jam = berlawanan arah dengan perputaran waktu bumi / berlawanan dengan segala hal yang biasa dalam kehidupan pada umumnya, melambangkan Batara Kala yang menakutkan).
Contohnya : Jika kita hidup di lingkungan yang buruk dan negatif maka merupakan suatu hal yang baik jika kita tidak mengikutinya, sebaliknya jika kita hidup di dalam lingkungan yang baik dan positif namun kita tidak mengindahkannya, berarti perbuatan kita adalah negatif. Sang Buddha Gautama saat membina diri juga menyadari bahwa pembinaan diri itu harus berlawanan dengan metode pembinaan diri yang berkembang di masanya, yaitu metode pembinaan yang menyiksa diri, sehingga Sang Buddha pun mengubah metode pertapaannya menjadi metode meditasi yang sederhana (tanpa menyiksa diri), dan ternyata justru berhasil mencapai tingkat pencerahan sempurna.
Comments
Post a Comment