Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Satuan Ukur Arstitektur Traditional Bali

Satuan Ukur Arstitektur Traditional Bali


Satuan ukur setiap elemen dalam arsitektur tradisional Bali disebut dengan gegulak. yang diturunkan dari bagian-bagian fisik pemilik atau pemakai bangunan. Satuan ukur ini ditetapkan dalam sebilah bambu sebagai modul dasar. Melalui gegulak ditentukan ukuran setiap dimensi arsitektur mulai dari ukuran pekarangan, tata letak masa bangunan hingga pada elemen bangunan yang kecil, seperti: panjang tiang (sesaka), panjang balok tarik (lambang, pementang, dan tada paksi), panjang usuk (iga-iga), hingga hiasan pada tiang (kekupakan).
Ukuran pekarangan digunakan satuan depa, yakni ukuran panjang tangan terentang dari ujung jari kanan ke ujung jari kiri dengan variasi ‘depa alit’, ‘depa madia’ dan ‘depa agung’. Jumlah kelipatan satuan ukur depa yang ditambah ‘pengurip’ merupakan panjang sisi-sisi pekarangan yang diukur. Untuk ukuran tata letak masing-masing masa bangunan didasarkan pada satuan ukuran ‘tapak’ yakni sepanjang tapak kaki dari ujung tumit sampai ujung jari kaki. Jumlah kelipatan tapak yang ditentukan didasarkan pada kelipatan sloka wawaran dari astawara (sri-indra-guru-yama-rudra-brahma-kala-uma) yang diakhiri pengurip ‘a tapak ngandang’ yakni selebar tapak kaki. Penentuan setiap kelipatan disesuaikan dengan fungsi bangunan yang sejalan dengan makna ungkapan dari setiap wawaran, seperti: kelipatan sri untuk jarak ke bangunan lumbung/tempat padi (padi sebagai simbul Dewi Sri); kelipatan brahma untuk jarak paon/dapur (api sebagai saktinya Dewa Brahma); kelipaatn guru untuk tempat bangunan pemujaan leluhur (Bhatara Hyang Guru) dst .
Dimensi bangunan digunakan satuan rai (ukuran penampang tiang) yang diturunkan dari ruas-ruas jari, yakni: tiga ruas, tiga setengah ruas dan empat ruas. Besaran ini digunakan sebagai dasar ukuran pada penampang tiang untuk tiang kecil sampai pada tiang terbesar. Sebagaimana kelipatan ukuran lainnya, ukuran bagian-bagian bangunan dari kelipatan rai juga ditambah pelebih untuk pengurip.
Ukuran pengurip juga di ambil dari bagian-bagian jari tangan dengan istilahnya masing-masing, seperti:
  • a guli (jarak ujung jari ke ruas pertama jari),
  • a guli madu (jarak ruas pertama ke ruas kedua jari) ,
  • a useran tujuh (satu pusaran telunjuk), a nyari (selebar jari).
Pengurip juga dapat diambil dari lebar masing-masing jari dan pecahan panjang sisi penampang tiang, yakni: seperempat, setengah, tiga perempat panjang sisi penampang (¼, ½, ¾ rai).
Pada prinsipnya ukuran gegulak adalah bagian refleksi dari naluri masyarakat Bali untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam semesta, sesuai dengan pilosofi Tri Hita Karana. Arsitektur sebagai lingkungan buatan (salah satu bentuk dari alam baru) diharapkan dapat mengayomi dan mewadahi aktivitas pelakunya sebagaimana alam semesta.
Oleh karena itu ukuran fisik (sistem proporsi) ‘alam baru’ ini tidak pernah terlepas dari ukuran angota tubuh kepala keluarga atau pemiliknya. Gegulak sebagai sistem proporsi tradisional yang sangat menentukan dalam proses pembuatan arsitektur di Bali mengakibatkan terwujudnya arsitektur rumah tinggal dengan proporsi yang sangat bervariasi, dan secara partikular sangat melekat terhadap penggunanya.

Sumber:
ortibali

Comments