Persembahan Canang Sari dengan Bunga Cinta Kasih
Makna dari sloka Bhagawad Gita di atas adalah kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Tuhan akan menerimanya. Dari pengertian sloka itu, maka dengan akal budhi yang terangkum dalam tradisi, maka terangkailah suatu bentuk persembahan berupa Canang Sari. Yang mana secara umum bentuk canang itu adalah sekumpulan bunga yang beralaskan ceper (alas dari daun janur berbentuk persegi). Di mana di atas semua bunga terdapat recahan daun pandan harum yang dikenal dengan sebutan kembang rampai, artinya kumpulan bunga-bunga sejagat. Kenapa kembang rampai, itu menandakan bahwa keinginan manusia untuk mempersembahkan cinta kasih dan bhakti mereka seluas semesta. Jadi inti sari dari persembahan berupa canang tiada lain adalah ungkapan cinta kasih seorang hamba terhadap sang penciptanya. Adakah rasa kasih itu mekar di saat kita mempersembahkan canang sebelum sembahyang? Itu semua kembali kepada sang penyembahnya.Patram puspam phalam toyamYo me bhaktya prayaccatiTad aham bhakty-upahrtamAasnami prayatatmanah(Bg.9.26)
Selanjutnya mari kita coba telisik dengan cara lain dari pengertian persembahan berupa daun, bunga, buah, air dan api (dupa) yang terangkai menjadi canang itu. Persembahan berupa daun yang dimaksudkan adalah kelembutan daun kesadaran dengan bunga cinta kasih yang menghasilkan buah kebijaksanaan disirami dengan air kesucian cinta kasih dan diterangi api semangat keteguhan jiwa cinta kasih pula. Nah di sini terjadi hubungan intim cinta kasih antara sang penyembah dengan yang disembah.
Bukankah di sini yang disembah dianggap sebagai sember cinta kasih? Jawabnya tentulah “Ya” oleh karena Tuhan sering disebut Sang Maha Kasih (The Univers of Love). Sejatinya hubungan cinta kasih disini bukanlah seperti hubungan cinta kasih anatara dua remaja lain jenis yang diselimuti oleh rasa ego. Akan tetapi jauh lebih mendalam dan lebih sempurna yaitu hubungan cinta kasih yang hanya untuk cinta kasih itu sendiri. Dalam artian cinta kasih yang saling membebaskan. Kesempuranaan cinta kasih Tuhan tidak mungkin kita dapat samakan dengan cinta kasih kasmaran dua remaja yang sedang jatuh cinta, jika kita tidak mau dianggap melecehkan cinta kasih Tuhan yang agung sempurna.
Kemudian persembahan canang biasanya dilengkapai dengan sesari berupa uang kepeng atau uang kertas yang masih berlaku. Bila boleh kita artikan bahwa sesari yang dimaksud adalah sari pati kehidupan. Artinya seluruh kehidupan kita, kita persembahkan dengan cinta kasih kepada Tuhan. Karena kita sadar bahwa inti sari kehidupan ini berasal dari Tuhan sendiri.
Apabila kita umpamakan persembahan tersebut bagaikan sebatang tumbuhan. Kita diharapkan oleh sang pencipta untuk bertumbuh memiliki kesadaran bahwa daun berfungsi sebagai alat berasimilasi artinya terus menerus berkoneksi dengan cahaya Tuhan yang ada dalam diri sebagai sang Atma. Kemudian disirami dengan air kesucian dan kebijaksanaan, seterusnya berkembang dan membuahkan cinta kasih yang menjagat menyerupai cinta kasih yang agung sang pencipta. Nah ketika pertumbuhan dan perkembangan diri telah menjadi matang dengan menghasilkan buah cinta kasih universal, maka akan terjadilah keesaan antara sang penyembah dengan yang disembah (Tat Twam Asi). Tidakkah ini yang disebut dengan persembahan iklas penuh cinta kasih dan kesucian yang kita sebut yadnya?
Jadi ketika sebuah persembahan dilakukan dengan tiada lagi mengedepankan rasa keterikatan atas nilai persembahan tersebut itulah yadnya. Ketika kita melakukan sebuah yadnya, jangan hendaknya mengharap sedikitpun hasil dari yadnya tersebut. Demikian halnya melakukan sebuah yadnya bukanlah hanya berupa materi atau benda nyata semata. Akan tetapi pikiran positif, perasaan positif, langkah laku positif dapat dipersembahkan sebagai sebuah yadnya. Mungkin juga merupakan yadnya yang utama. Hanya saja tidak dapat dilihat secara kasat mata. Dan ketika sebuah yadnya dipersembahkan dengan tujuan agar dipandang mewah oleh orang lain dengan penuh pengharapan, maka yadnya itu disebut rajasika yadnya. Sedangkan sebuah yadnya yang awal pembuatan dipenuhi oleh pikiran positif kemudian hanya untuk menyenangkan kepada yang dipersembahkan. Tanpa diboncengi permohonan dibalik persembahan itu, yadnya seperti itu disebut Satwika Yadnya. Tamasika yadnya yaitu persembahan yang didasari oleh bahan dan pikiran yang mengawali yadnya tersebut dengan emosi negatif dengan material yang sudah usang bahkan tidak tahu makana apa yang terkandung dari persembahan tersebut.
Apabila kita membuat bentuk yadnya yang berupa banten yang digelar saat berupacara, di mana sejatinya bahwa wujud dari upacara berupa banten tersebut dapat digambarkan sebagai wujud tubuh manusia yang terlentang. Kepala/ulu (utama) bebanten itu adalah banten suci. Sedangkan, banten jerimpen, peras, pengambean, dapetan, gebogan serta yang lainnya merupakan wujud badan (madia). Sedangkan earn merupakan wujud kaki (nista).
Dari sini dapat kita pahami bahwa yadnya yang dipersembahkan berupa bebanten itu tiada lain merupakan diri manusia itu sendiri. Yang bila diucapkan dalam doa persembahan mungkin akan berbunyi seperti: “Tuhan sebagai Ida Hyang Widhi Wasa, yang menguasai ketiga alam dengan penuh keiklasan serta cinta kasih yang aku miliki, aku persembahkan diri ini apa adanya untuk Tuhan perlakukan sebagaimana kebenaran dalam cinta kasihMu, karena aku sadar bahwa aku berasal dan kembali hanya pada kasihMu. Semoga Engkau menerimaku dengan cahya kasih dan kebahagianMu”.
Bukankah ke-utama-an sebuah yadnya persembahan itu terletak pada dasar kesadaran, ketulusiklasan, penuh cinta kasih serta memahami pilosofinya? Namun bukan berdasar pada besar-kecil, mahal atau murahnya sebuah persembahan. Dan Upacara itu sendiri mengandung arti cara pendekatan diri kepada Tuhan. Sadarilah bahwa mempersembahakan sesuatu upacara tanpa memahami makna serta tujuannya, semua akan sia-sia belaka. Alangkah lebih indahnya mempersembahan sebuah canang sari yang dipenuhi dengan bunga cinta kasih.
Mohon maaf jika ada yang kurang benar dari tuliasan diatas.
Semoga bermanfaat dan selalu berbahagia

Comments
Post a Comment