Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Fenomena Ngiring, Antara Spiritual dan Gangguan Kejiwaan




Fenomena Ngiring, Antara Spiritual dan Gangguan Kejiwaan


Sekarang ini mudah dijumpai orang-orang dengan atribut busana tertentu. Umumnya berbusana putih-putih dengan senteng (kain dililitkan di pinggang) berwarna belang (poleng) putih-hitam. Atau ada juga dengan motof busana berbeda yang umumnya mencolok dan berbeda dengan penampilan masyarakat pada umumnya. Mereka dengan atribut seperti itu sering dikatakan sebagai orang yang “Ngiring.” Lalu, apakah Ngiring itu?

Bagi sebagian orang, Ngiring mungkin diyakini sebagai sebuah kelebihan di bidang spiritual. Mereka ini rata-rata memiliki kelebihan di bidang supernatural atau menyangkut hal-hal gaib dan sering diminta jasanya untuk membantu orang-orang yang mengalami kesulitan tertentu, misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh, usaha yang seret, rumah tangga kurang harmonis, dan macam ragam keperluan menurut selera orang yang minta tolong kepada para pelaku Ngiring tersebut yang umumnya berprofesi sebagai balian atau dasaran. Mengenai balian atau dasaran memang keberadaannya diakui dalam tradisi Hindu di Bali sebagai salah satu golongan pemangku, yaitu Pemangku Balian. Toh demikian, bagaimanakah prosedur orang bisa mengklaim diri sebagai orang yang Ngiring sesuhunan, sehingga sekarang ini ada kesan jumlah orang-orang Ngiring semakin banyak bermunculan?

Untuk menjawab pertanyaan ini dan menambah wawasan lebih luas mengenai fenomena tersebut, maka pada hari Minggu malam, 12 Februari 2017 lalu, Yayasan Taman Bukit Pangajaran mengadakan seminar bertemakan “Tradisi Ngiring dan Fenomenanya.” Seminar yang dilangsungkan di Pasraman Ghanta Yoga, JL. By Pass Ngurai Rai, Gg. Rwa Bhineda ini menghadirkan dua orang narasumber, masing-masing seorang Psikiater, dr. Wedastra, dan praktisi Ngiring sekaligus intelektual muda Hindu, I Ketut Sandika. Sementara itu para hadirin malam itu berasal dari berbagai kalangan, termasuk pemangku, jro dasaran, para sisya yoga, dan masyarakat umum.


Dr. Wedastra dalam paparannya menyatakan dari sisi medis terutama kesehatan jiwa, fenomena yang disebut Ngiring di Bali memiliki banyak kemungkinan, bahkan di antaranya ada juga kemungkinan yang bersangkutan sedang mengalami gangguan jiwa. Ia menyebutkan suatu jenis gangguan jiwa yang disebut Epilepsi Psikomotor yang salah satu cirinya menyerupai orang kesurupan. Kesurupan yang dialami orang-orang seperti ini dilakukan secara sengaja untuk menghindari suatu hukuman atau sebaliknya untuk memperoleh suatu penghargaan, misalnya agar dianggap oleh orang-orang memiliki kelebihan spiritual sehingga yang bersangkutan mendapat penghormatan secara sosial. Selain itu gangguan jiwa ini juga ditandai dengan kesengajaan berbohong untuk menghindari suatu kenyataan atau untuk mendapatkan sesuatu.


Lebih lanjut dr. Wedastra menambahkan, gangguan jiwa menurutnya justru terjadi karena orang tersebut lemah secara spiritual. Mereka umumnya mengalami waham induksi.Waham adalah isi pikir (keyakinan atau pendapat) yang salah dari seseorang. Meskipun salah tetapi individu itu percaya betul, sulit dikoreksi oleh orang lain, isi pikirannya bertentangan dengan kenyataan, dan isi pikirannya terkait dengan pola perilaku. Seorang pasien dengan waham curiga, maka pola perilaku akan menunjukkan kecurigaan terhadap perilaku orang lain, lebih-lebih orang yang belum dikenalnya. Sementara itu, waham induksi adalah apabila dua orang atau sistem waham yang sama dan saling mendukung dalam keyakinan waham itu. Yang mengalami gangguan waham orisinil (gangguan psikotik) hanya satu orang, orang tersebut terinduksi (mempengaruhi) lainnya dan biasanya menghilang apabila orang-orang tersebut dipisahkan.

Penjelasan dr. Wedastra tentang waham induksi ini memiliki korelasi dengan beberapa kasus orang yang Ngiring. Orang tersebut mengklaim dirinya Ngiring karena sebelumnya mengalami suatu keluhan penyakit kemudian datang ke seorang balian, dan oleh balian tersebut pasien tersebut dikatakan harus Ngiring. Karena merasa yakin dan diyakinkan oleh balian, maka menjadilah ia orang Ngiring (baru). Kasus seperti ini sering dihadapi oleh Ida Bagus Putu Adriana, Pembina Ghanta Yoga. Usai seminar tersebut ia menyebutkan pihaknya sering menerima pengaduan dan keluhan dari orang-orang yang “Ngiring” karena merasakan kehidupannya tambah susah secara mental maupun material, dikarenakan masalahnya tidak selesai dengan menjalani Ngiring, tetapi kewajiban bertambah-tambah sesuai petunjuk balian yang didatanginya sebelumnya.

Sementara itu Jro Ketut Sandika, yang Ngiring sesuhunan Bhatari Dalem dalam presentasinya menyatakan, Ngiring sebenarnya istilah yang sangat sakral dan spiritual, karena bermakna sebagai pengikut yang setia dan taat kepada ista dewata pujaannya. Oleh sebab itulah orang-orang yang Ngiring dipanggil “Jro” di depan namanya yang mengisyaratkan bahwa mereka ini memiliki kedalaman atau mencari ke dalam dirinya, mencari hakikat diri sejatinya. Memang, Sandika mengakui Ngiring dalam batasan religius-spiritual sangat susah dijelaskan, tetapi fenomena yang sering muncul ke permukaan adalah lebih banyak citra magis dan kegaiban. Sebebanrnya, ia menambahkan, untuk memperoleh predikat Ngiring dan diakui secara sosial (umum) memerlukan proses yang panjang dan ketat dengan berbagai liturgi atau sakramen yang sulit dilakoni oleh orang kebanyakan. Sebagaimana halnya tradisi yang masih berlangsung hingga kini di daerah Batur dalam mentasbihkan jro-jro disana (jro alitan, jro duuran, dan lain-lain).

Menurut pemuda lajang asal Desa Nyalian, Klungkung ini, sekarang ini memang sering dijumpai fenomena orang yang menganggap dirinya Ngiring justru mengekspose simbol-simbol keluar dirinya. “Apa yang semestinya dibawa ke dalam diri untuk mencari hakikat jati diri justru diputarbalikkan dengan menonjol-nonjolkan atribut fisik agar terkesan mencolok. Misalnya rambut meprucut, ada yang bawa tongkat atau danda, dan lain-lain,” sebutnya. Ia mengingatkan rambut meprucut dan membawa danda mestinya hanya menjadi atribut sulinggih, tetapi mungkin atas pawisik atau kleteg keneh ada juga oknum-oknum bukan sulinggih memakai atribut itu dengan alasan sudah berstatus sulinggih di dunia niskala.

Pada presentasi sebelumnya, dr. Wedastra menilai Ngiring sepatutnya dijalani secara ikhlas saja, tanpa dibumbui atau diimbuhi kreasi pribadi yang berada di luar koridor agama maupun sosial. Dan jika ada tanda-tanda mencurigakan atau kurang yakin, pihak keluarga disarankan mengajak keluarganya yang mengaku-ngaku Ngiring tersebut memeriksakan diri ke psikiater. Senada dengan Wedastra, Ketut Sandika mengutip lontar Kuranta Bolong yang menyebutkan bahwa pertanda orang yang mengalami gangguan mental disebut “tampias” atau kedewan-dewan yang termasuk kategori penyakit “bebainan.” Demikian pula halnya tidak setiap orang kerauhan berarti maju secara spiritual. Jika dr. Wedastra dari sisi medis melihat orang kerauhan bisa dipicu oleh kelelahan dan panik, sehingga perempuan lebih mudah kerauhan karena lebih emosional dan suka berfantasi, maka Sandika menyebut kerauhan bisa muncul karena kerasukan bhuta dan kala, kerauhan pepatih (orang-orang ngunying) dalam upacara Pujawali, dan ada juga karena kerauhan dewa. Untuk itu umat Hindu diharapkan untuk teliti dan arif bijaksana dalam menyikapi hal-hal seperti itu.

Apabila Ngiring dikaitkan dengan praktik keagamaan, maka menurut Sandika, idealnya orang-orang tersebut juga harus belajar sastra agama. Hanya melalui tuntunan tutur, tattwa, seseorang dapat petunjuk yang benar untuk berjalan di dalam kerohanian untuk menyucikan diri. “Asalkan dilakoni dan dilakukan dengan menaati sesana, maka Ngiring akan menginspirasi warga masyarakat sekitarnya, tetapi kalau mengharapkan kultus individu dan eksklusifisme apalagi merusak tatanan agama yang sudah ada, maka tentu oknum bersangkutan akan mendapatkan sanksi sosial,” tegasnya, sebagaimana ia ceritakan ada oknum yang mengatakan dirinya Ngiring dan perwujudan dari Sanghyang Acintya yang membuat upacara besar menjadi terganggu sehingga yang bersangkutan kemudian diamankan dan diajak ke rumah sakit jiwa dan positif dinyatakan mengalami gangguan mental.

Seorang dasaran yang hadir dalam seminar itu menanyakan adanya kepercayaan bahwa orang-orang Ngiring seperti dirinya tidak boleh menikmati santapan yang disuguhkan di rumah orang cuntaka, seperti orang meninggal atau di rumah orang menggelar upacara pawiwahan. “Kalau tyang kundangan nengokin nak nganten, ten kelaparan tyang?” sebutnya yang disambut tawa para peserta lainnya.

Menjawab pertanyaan tersebut Ketut Sandika yang juga seorang undagi barong-rangda ini mengatakan, bahwa kepercayaan semacam itu memang lazim di kalangan masyarakat Bali, tetapi ia menyatakan dirinya sendiri biasa melayat ke rumah orang meninggal bahkan turut memandikan jenazah, demikian juga menikmati suguhan makanan di rumah orang upacara pawiwahan biasa baginya. “Sebenarnya bisa asal ada ritual yang dilakukan sepulang ke rumah kita. Dalam Yama Purana Tattwa ada disebutkan penglukatan yang mesti dilakukan sepulang dari rumah orang cuntaka, seperti melukat Brahma di dapur,” terangnya. Ia melihat kepercayaan semacam itu lebih kepada rasa keagamaan dan tentu bisa dineteralisir dengan pemahaman keagamaan.

Pembina Ghanta Yoga, Ida Bagus Putu Adriana (Tu Aji) yang bertindak selaku tuan rumah memberikan clossing statement pada sesi terakhir. Ia menandaskan Ngiring apabila harus dilakoni oleh seseorang, maka semua tergantung penyikapan. Bagaimana menyikapinya, maka itulah awal apakah predikat Ngiring itu akan mengantar seseorang pada kebaikan atau sebaliknya. 

Ditegaskannya, jika ada keyakinan bahwa diri harus Ngiring, maka cukup di-iya-kan saja. “Yang sering memicu masalah adalah apabila setelah dinyatakan Ngiring yang bersangkutan sibuk dengan pikiran dan praduga masing-masing, misalnya harus begini begitu sehingga menjadi sangat sibuk untuk urusan Ngiring, sementara masalah keluarga termasuk pekerjaan terbengkalai. Biasanya itu yang menjadi masalah,” sebutnya mengingatkan. Tua Aji menambahkan, untuk menjalani proses Ngiring tersebut biarkanlah niskala yang menuntun hendak dituntun menjadi “pregina” apa nantinya, sehingga kita tidak bergerak sendiri atas keinginan pribadi, sebab kalau kehendak sendiri yang diinginkan hendak diwujudkan, misalnya begitu disebut Ngiring kemudian terbayang akan menjadi balian, maka itu bukan Ngiring lagi namanya. Ngiring adalah menaati dan mengikuti kehendak yang Kairing dan berusahalan lebih dekat dulu dengan yang Kairing, sehingga terjadi interkasi yang harmonis dan akan menjadikan kehidupan di dunia sekala harmonis juga. Dan sebagai catatan, yang Kairing itu haruslah mencerahkan orang yang Ngiring, sehingga kehidupannya jagadhita.

Sumber:

Comments