Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyang
Melakukan sembahyang jika tanpa dilengkapi dengan sarana bunga, rasanya kurang afdol. Memang pada momen tertentu sarana itu tidak mutlak, seperti misalnya sembahyang yang dilakukan di kantor bagi pegawai ataupun di sekolah bagi pelajar, kadang tanpa menggunakan sarana apapun, cukup dengan menguncarkan Gayatri Mantram saja. Tentu jika mungkin untuk mempersiapkan sarananya, jelas itu lebih baik. Tapi yang terpenting adalah jangan sampai karena ketidak tersediaan sarana, lantas menyebabkan sembahyang itu urung untuk dilakukan.
Penggunaan sarana sembahyang itu, sebenarnya tidak lebih hanya bermakna simbolis untuk mendukung pemusatan konsentrasi kita kehadapan Sang Hyang Widhi, seperti misalnya penggunaan sarana dupa yaitu bermakna sebagai saksi dalam persembahyangan dan sebagai pelebur segala kekotoran serta sebagai pengantar doa kita kepada Sang Hyang Widhi (divisualisasikan dengan asapnya yang membumbung ke atas).
Hal yang sama, juga terhadap penggunaan kawangen yaitu secara umum berfungsi sebagai sarana dalam memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Ardhanareswari. Dilihat dari asal-usul katanya, kawangen berasal dari kata wangi, lalu mendapat awalan ka dan akhiran an menjadi kawangian. Setelah disandikan berubah menjadi kawangen yang berarti keharuman. Ini berarti kawangen juga berfungsi sebagai sarana mengharumkan nama (prabhawa) Hyang Widhi. Jika dilihat dari sarana kelengkapannya, wujud kawangen secara keseluruhan melambangkan aksara Ongkara. Bentuk kojong melambangkan angka tiga (aksara Bali) potongan bagian atas berbentuk lonjong simbul Ardha Candra, pis bolong/uang logam dengan bentuk bulat simbol Windhu, sedangkan cili bunga serta dedaunan/plawa merupakan simbul nada.
Karena melambangkan aksara suci Ongkara inilah kemudian dalam penggunaan kawangen tersebut tampak depan/muka dari kwangen itu mengarah ke pengguna/pemujanya yang mengandung makna bahwa kita mendekatkan perwujudan Sang Hyang Widhi itu, dari yang abstrak ke yang riil, lebih jauh lagi diharapkan semoga Sang Hyang Widhi dapat bersemayam di hati kita masing-masing.
Begitupun halnya dengan penggunaan sarana bunga,
juga bermakna simbolis yaitu sebagai lambang kesucian dan ketulusan hati kita di dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi. Khusus penggunaan bunga, tidak hanya menjadi monopoli umat Hindu dalam persembahyangan, tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pernyataan perasaan seseorang terhadap orang lain, misalnya perasaan bahagia/ senang ataupun perasaan turut berduka/berbela sungkawa, hal ini disimbolkan dengan wujud karangan bunga.
Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, lain halnya dalam penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan untuk kegiatan-kegiatan diluar persembahyangan, tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal ini sangat berbeda jika bunga itu diperuntukan sebagai sarana sembahyang, disamping memenuhi unsur menarik dan indah juga yang terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwa adalah sebagai berikut:
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…
Hal yang sama, juga terhadap penggunaan kawangen yaitu secara umum berfungsi sebagai sarana dalam memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Ardhanareswari. Dilihat dari asal-usul katanya, kawangen berasal dari kata wangi, lalu mendapat awalan ka dan akhiran an menjadi kawangian. Setelah disandikan berubah menjadi kawangen yang berarti keharuman. Ini berarti kawangen juga berfungsi sebagai sarana mengharumkan nama (prabhawa) Hyang Widhi. Jika dilihat dari sarana kelengkapannya, wujud kawangen secara keseluruhan melambangkan aksara Ongkara. Bentuk kojong melambangkan angka tiga (aksara Bali) potongan bagian atas berbentuk lonjong simbul Ardha Candra, pis bolong/uang logam dengan bentuk bulat simbol Windhu, sedangkan cili bunga serta dedaunan/plawa merupakan simbul nada.
Karena melambangkan aksara suci Ongkara inilah kemudian dalam penggunaan kawangen tersebut tampak depan/muka dari kwangen itu mengarah ke pengguna/pemujanya yang mengandung makna bahwa kita mendekatkan perwujudan Sang Hyang Widhi itu, dari yang abstrak ke yang riil, lebih jauh lagi diharapkan semoga Sang Hyang Widhi dapat bersemayam di hati kita masing-masing.
Begitupun halnya dengan penggunaan sarana bunga,
juga bermakna simbolis yaitu sebagai lambang kesucian dan ketulusan hati kita di dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi. Khusus penggunaan bunga, tidak hanya menjadi monopoli umat Hindu dalam persembahyangan, tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pernyataan perasaan seseorang terhadap orang lain, misalnya perasaan bahagia/ senang ataupun perasaan turut berduka/berbela sungkawa, hal ini disimbolkan dengan wujud karangan bunga.
Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, lain halnya dalam penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan untuk kegiatan-kegiatan diluar persembahyangan, tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal ini sangat berbeda jika bunga itu diperuntukan sebagai sarana sembahyang, disamping memenuhi unsur menarik dan indah juga yang terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwa adalah sebagai berikut:
Nihan ikang kembang tan yogya
pujakena ring Bhattara
Kembang uleran, kembang ruru tan
inuduh, kembang semutan
Kembang laywan-laywan ngarannya alewas mekar,
kembang mungguh ring sema.
Nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena denika sang sattwika
Artinya:
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkanDengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam persembahyangan, kita tidak menggunakan sembarang bunga, hal ini tentu didasari oleh suatu maksud yang paling hakiki yaitu kita ingin mempersembahkan yang terbaik kepada Sang Hyang Widhi. Semoga.
kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat,
bunga yang gugur tanpa diguncang,
bunga berisi semut,
bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya,
bunga yang tumbuh di kuburan
Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…

Comments
Post a Comment