Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Leluhur Telah Menitis?

Jika Leluhur Telah Menitis, Siapa di Kemulan?

Tulisan berikut ini merupakan kutipan dari sebuah diskusi dengan seorang sahabat mengenai ajaran yang sepintas nampak kontraproduktif dan bertentangan.

“Salah satu hal yang membingungkan di Bali adalah mengenai leluhur. Jika leluhur katanya berstana di ‘kemulan’ lalu siapa yang menitis kembali? Dan jika leluhur memang sudah menitis kembali, apakah kemulan kosong?”


Kemudian saya ambil sebuah bungkus rokok, saya pegang dengan tangan kanan, lalu bilang, “kalau bungkus rokok ini ada di tangan kanan, maka dia tidak ada di tangan kiri, betul?”
Lalu saya pindahkan bungkus rokok ke tangan kiri, “nah jika dia ada di tangan kiri, berarti dia tidak lagi ada di tangan kanan, kan?”

“Kamu bingung tentang siapa yang berstana di kemulan dan siapa yang menitis karena kamu memandang leluhur sama dengan bungkus rokok, sama dengan ‘jelema matah’ yang masih berwujud fisik (matter), padahal beliau sudah berwujud energi.

“Beda dengan bungkus rokok ini tidak bisa ada di Tangan kanan dan kiri secara bersamaan, beda dengan manusia fisik yang tidak bisa di dua tempat secara bersamaan…karena fisik (matter; benda) masih terikat oleh ruang dan waktu…tidak demikian halnya dengan leluhur yang sudah berwujud energi.

"Energi tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga beliau bisa menitis pun bisa berstana di kemulan.”

Saya taruh bungkus rokok di bawah lalu menengadahkan tangan kanan dan kiri yang kosong sambil bertanya, “sekarang bisa nggak kamu bayangkan bungkus rokok ada di kedua tangan ini?”
“Bisa”
“Lalu bisakah kamu yang ada di sini detik ini membayangkan dirimu JUGA ada di rumah?”
“Bisa”
“Nah demikian halnya dengan leluhur yang bisa ada dimana-mana karena beliau berwujud energi seperti juga pikiran”

“Jika memang leluhur ada dimana-mana karena sudah berwujud energi, kenapa perlu dibuatkan kemulan yang notabene hanya ada di satu tempat?”

Simpelnya, karena keberadaan Beliau mengikuti idep atau niat/ pemikiran, maka Beliau “ada” saat kita memikirkan/ mengingatnya saja. Saat Beliau tidak diingat lagi, maka beliau pun “tidak ada” (ingat, ada tanda kutipnya!).

Untuk memahami hal ini, bayangkan salah seorang sahabat lama anda yang sudah lama tidak bertemu, namun anda masih menyimpan fotonya di salah satu pojokan ruang tamu anda… sehingga kapan pun anda lewat ruang tamu dan melihat foto tersebut, maka anda akan ingat dan tetap merasa dekat dengan sahabat anda itu. Tapi jika tidak ada pengingat seperti foto tersebut, maka tentu kedekatan meluntur dan ingatan tentang dia pun lama-lama menguap.

Dalam satu titik, sanggah kemulan atau pelinggih-pelinggih leluhur terkait fungsinya hampir serupa seperti foto pengingat tersebut, hanya saja ada beberapa tambahan, yaitu;

  • Sebuah tempat pemujaan leluhur tidak hanya ditujukan untuk “satu orang” namun untuk leluhur dari bergenerasi-generasi. Ibarat server, di dalamnya ada data dari leluhur lebih dari 7 turunan–yang bisa jadi salah satunya justru adalah anda di kelahiran sebelumnya, jika memakai sistem keyakinan di Bali bahwa yang menitis biasanya adalah salah satu leluhurnya.
  • Sebagai sebuah server atau “gudang data” maka pelinggih leluhur membuat kita senantiasa terhubung dengan data-data tersebut, senantiasa membuat kita terhubung dengan “akar” keberadaan kita.

Lalu, apa perlunya kita terhubung dengan leluhur?

Begini, anda menjalani kehidupan anda sekarang berdasarkan “data” yang anda miliki sebelumnya tentang berbagai hal–mulai dari pengalaman semasa kecil, pengalaman kuliah, pengalaman kerja, pengalaman bersama sang mantan yang masih belum terlupakan, dst–berbagai data dan pengalaman tersebut membantu anda merumuskan apa yang akan anda lakukan hari ini dan bagaimana anda akan melakukannya, secara lebih baik dan lebih bijak karena lebih banyaknya pengalaman.

Para pakar percaya, kalau dalam pikiran bawah sadar (subconscious mind) anda, tersimpan memori berlimpah dari awal anda menjadi manusia sampai detik ini, dan semua memori ini lah yang menjadikan anda sebagai anda.

Lalu, masih ada data dan memori yang bukan hanya semenjak anda pertama terlahir, namun bahkan semenjak manusia pertama pertama kali diadakan di dunia, semenjak semesta pertama kali tercipta, dan semua memori tersebut tersimpan dalam ranah pikiran yang disebut Superconscious Mind yang bersifat non-local. Tentu, topik ini masih menjadi perdebatan serius di kalangan ilmuan mulai dari Psikologi sampai Fisika, dan perdebatan serius itu sekaligus membuktikan kalau keberadaan ranah pikiran yang sifatnya universal ini tidak bisa begitu saja diabaikan.

Namun, untuk menjalani kehidupan anda sebagai anda di kelahiran sekarang, anda tidak memerlukan semua data tersebut, anda tidak perlu semua data di server bernama Superconscious Mind itu, yang anda perlukan hanya satu “folder” yang di dalamnya berisi data yang akan membantu perjalanan jiwa anda, dan folder tersebut salah satunya bisa diakses di pelinggih para leluhur, karena tentu ada alasan kenapa jiwa anda memilih lahir dalam garis keturunan tertentu, bukan yang lain… alasan yang hanya jiwa anda yang tau, dan pengetahuan jiwa itu salah satunya bisa diakses di ‘medan energi’ leluhur yang berkumpul di pelinggih dimana beliau di ingat.

(Jika anda rajin membaca kasus-kasus tentang Pasti Life Regression atau setidaknya membaca buku-buku Brian Weiss, anda tentu tau banyak kejadian dalam kehidupan ini–termasuk trauma–ternyata berkaitan langsung dengan data dari kelahiran sebelumnya).

Secara fisika pun dijelaskan, energi senantiasa mengandung informasi, dan jika di pelinggih kemulan, pelinggih Bhatara Kawitan dst yang berkaitan dengan leluhur beliau diniatkan bersemayam di sana, maka energi beliau masih ada di sana, dan informasi perjalanan, pengalaman dan kebijakan kehidupan Beliau masih ada di sana.

Terlebih bukan hanya niatan anda sendiri namun niatan dari seluruh pratisentananya selama bergenerasi-gerasi selalu terjaga dan terfokus pada satu tempat itu, sehingga bisa anda bayangkan betapa kuatnya pancaran energi Beliau di sana.

Ya, tentu saja anda bisa saja meniatkan leluhur anda ada di pelinggih yang anda buat di kamar suci atau kantor anda, namun jika dibandingkan dengan di pelinggih yang telah mengandung “niatan massal” lintas geenrasi, tentu beda kapasitasnya, kan?

Inilah alasannya kenapa meski Beliau ada di mana-mana, namun memuja Beliau di satu tempat (yang disepakati) tetap perlu, entah di kemulan atau Pura terkait.

Sebagai warga Pasek misalkan, oleh Ida Bhatara Pasek telah diberikan bhisama untuk ‘nangkil’ ke Pura Lempuyang dll secara berkala, lalu belum lagi odalan di sanggah kemulan, pura panti, dst 6 bulan – 1 tahun sekali ( seperti akses data dalam folder dan sub-folder)…Dan bukan hal baru, kalau orang Bali takut pindah Agama karena takut “kepastu” oleh leluhurnya, dan sepertinya lebih takut kutuk leluhur dibanding kutuk para dewa, dan bahkan salah seorang tokoh kenamaan Bali, Jro Mangku Ktut Soebandi pernah menulis kalau memuja leluhur adalah parama dharma atau dharma utama.

Terakhir, jika perlunya kita mendekatkan diri dengan leluhur adalah untuk senantiasa terhubung dengan “data” Beliau, bagaimana kah data itu pernah sampai pada kita?

Banyak, seperti juga data dari pikiran bawah sadar (sub-conscious mind) sampai ke pikiran sadar berupa simbol-simbol, berupa mimpi, berupa “kleteg bayu” dst, pun demikian data dari Superconscious Mind, spesifiknya dalam folder “leluhur”. Kadang pula kita diingatkan untuk senantiasa “sinkron” dengan data-data itu melalui hidup semrawut akibat tak pernah menyembahyangi leluhur, dan kadang pula leluhur bicara secara langsung melalui kerahuan.
Teman saya bilang lagi, “tapi saya tidak pernah kok, dapat ‘kleteg bayu‘ atau mimpi dari leluhur”
“Nggak ngerasa bukan berarti nggak ada, lho. Kadang kerja berbagai lapisan diri demikian otomatisnya sampai-sampai kita tidak merasakan keberfungsiannya….sampai keberfungsian tersebut terhenti. Misal, unconscious mind kita mengatur agar jantung tetap berdetak dan nadi tetap berdenyut setiap saat, kita bisa jadi kita tidak merasa itu unconscious kita lagi kerja, rasanya biasa saja, normal-normal saja. Kita juga gak secara langsung dibuat pusing oleh putaran bumi mengelilingi matahari, toh, siang-malam tetap terjadi”

Karena–sekali lagi–ini hanyalah pendapat seorang Putu Yudiantara yang adalah manusia biasa yang sangat mungkin keliru. Dan meski saya bertanggung jawab atas apa yang saya tulis, namun bagaimana anda memahami atau mempergunakan pemahaman anda terhadap tulisan ini, tentu urusan anda pribadi.

Sumber:
Juru SapuhMore: www.jurusapuh.com


#localgenius #bali #satuskutus
#offering #love #quotes #motivation #inspiration #happy #words #smile #success #history #beautiful #dance #culture #tradition #love #smile #hope #prayer #weda #hindu #spiritual #religion #art #ceremony #peace #on #earth



Comments