Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Malaikat Penyelamat Bernama Senyuman



Di pulau Okinawa Jepang seorang Guru karate dengan ilmu bela diri tingkat tinggi pernah dicegat serta ditantang berkelahi oleh seorang tentara AS yang mabuk. Dengan penuh senyuman Guru karate ini melangkah minggir menjauh. Muridnya yang ada di sebelahnya bertanya dengan nada yang panas: “Kenapa tidak ditendang saja tentara mabuk tadi?”. Sambil tersenyum Guru karate ini menjawab: “Belajar bela diri tidak untuk melukai orang, tapi untuk berbagi senyuman pada orang-orang”.



Suatu hari seorang pendekar yang sudah lama merantau rindu dengan desanya di pedalaman China sana. Namun begitu mau masuk desa, ia dicegat oleh sejumlah anak muda desa yang mulutnya berbau alkohol. Kemudian dengan nada keras memaksa pendekar ini agar lewat di bawah selangkangan mereka. Tanpa protes sedikit pun pendekar ini merayap di bawah selangkangan pemuda-pemuda yang sedang mabuk ini.

Beberapa malam kemudian, desa ini diserang oleh gerombolan perampok berkuda. Dengan mudah dan entengnya pendekar tadi mengusir perampok-perampok itu dari desa. Kagum dengan keberanian pendekar ini, sejumlah warga desa bertanya: “Kenapa saat masuk desa mau saja merangkak di bawah selangkangan pemuda-pemuda yang mabuk?”. Dengan tersenyum pendekar ini menjawab: “Ilmu bela diri diciptakan tidak untuk melukai masyarakat, melainkan untuk melindungi masyarakat”.

Dalam spirit yang hampir sama, di Bali juga pernah lahir cerita indah. Begitu pulau damai ini dilukai oleh bom teroris di tahun 2002, banyak hal menyedihkan terjadi. Dari hilangnya nyawa ratusan orang, lenyapnya penghasilan karena tidak ada wisatawan, sampai turun drastisnya harga tanah. Namun setelah beberapa tahun berlalu, tidak saja pulau ini selamat, bahkan disebut oleh sejumlah media dunia sebagai pulau terbaik di dunia.

Tidak ada cerita lain di balik ini terkecuali cerita senyuman. Persisnya, kekerasan memang membawa banyak kesedihan, tapi kesedihan tidak diizinkan untuk mencuri senyuman. Itu sebabnya, tidak terdengar cerita kalau persahabatan antara desa Pegayaman di Bali Utara yang penduduknya nyaris semuanya beragama Islam, dengan desa-desa sekitarnya yang nyaris semuanya beragama Hindu, menurun setelah bom Bali. Senyuman orang Bali tidak berubah setelah ledakan bom.


Dalam bahasa meditasi yang lebih dalam, rasa sakit lebih dari sebagian disebabkan karena penolakan seseorang di dalam. Bukan karena serangan orang dari luar. Dalam kisah Guru karate dari Jepang serta pendekar dari China di atas, mereka bisa berrespon demikian indah, karena di dalamnya bebas dari penolakan. Persisnya, tidak lagi menolak ketidaksempurnaan. Melainkan meletakkan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari kesempurnaan.

Ia sesederhana mawar bersama durinya, lotus bersama lumpurnya. Keduanya tidak terpisahkan. Keduanya ada di sana mewakili senyuman kesempurnaan yang sama. Tanpa lumpur yang kotor, tidak akan ada bunga lotus yang demikian indah. Tanpa duri, mawar akan kehilangan kesempurnaan. Dengan cara yang sama, tanpa kekerasan, maka manusia akan kehilangan kesejukan dan keindahan kedamaian.

Itu sebabnya, di tingkat kesempurnaan meditasi sering disebut sebagai seni mengatakan “ya” pada setiap kekinian. Termasuk mengatakan “ya” pada segala bentuk ketidaknyamanan. Teman-teman yang meditasinya sudah mendalam mengerti, semakin sering ketidaknyamanan didekap dengan senyuman, semakin lemah daya cengkramnya pada pikiran. Akibatnya, semakin jarang kemarahan berkunjung.

Jika mau lebih dalam, di dalam diri manusia ada serangkaian pola pikiran yang muncul secara berulang-ulang. Ia hasil pengkondisian yang berumur ribuan tahun. Merasa diri sebagai korban kemudian menyalahkan orang-orang, yang cocok dengan pikiran jadi kawan yang tidak cocok jadi lawan, itulah sebagian contoh hasil pengkondisian yang berumur ribuan tahun. Jika tidak cepat menyembuhkan diri melalui praktik kesadaran mendalam, manusia akan bertumbuh dari satu rasa sakit menuju rasa sakit yang lain.

Lebih dalam dari itu, tanpa langkah kesembuhan di jalan kesadaran, manusia akan kehilangan kontak dengan malaikat penyelamat terindah yang ada di dalam diri yakni senyuman. Dan bersama senyuman kehidupan terus menerus menyanyikan lagu kedamaian. Ia mirip dengan apa yang dilakukan Guru karate dari pulau Okinawa Jepang, atau pendekar dari China sebagaimana diceritakan di atas. Sekaligus, malaikat jenis inilah yang membuat pulau Bali disebut the last paradise (surga terakhir yang masih tersisa di muka bumi).

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…

Sumber:
Juru Sapuh


Comments