Kajeng Kliwon adalah hari yang dikenal angker bagi sebagain besar umat Hindu di Bali. Pada hari itu juga diyakini sebagai hari pertemuan dan perkumpulan Leak untuk mengasah keilmuannya. Benarkah?
Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara, yaitu Kajeng dan Panca Wara, Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. “Energi dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri,” ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (30/1).
Lebih lanjut dijelaskan Mangku Satra, rahinan Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga, yakni, Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan, dan Kajeng Kliwon Pamelastali.
Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setelah bulan mati atai Tilem. Sementara Kajeng Kliwon Pamelastali adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, dilaksanakan setiap enam bulan sekali.
Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Ada pun penjelasannya diambil dari Lontar Cundarigama yang menyebut ‘Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin Bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar sanggar mwah dengen, dening. Maksudnya, segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. ‘Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya’. Yang artinya, pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pamerajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut disuguhkan tiga tanding, yakni di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. Adapun maksud memberikan laba setiap Kliwon, yakni untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.
‘Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wang maumah. Yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun. Maksudnya, lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan di bawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab, kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatari Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan atau menyebarkan penyakit, dan mngundang para pangiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua.
Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama. Pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Pada Kajeng Kliwon hendaknya menghaturkan segehan mancawarna. Tetabuhannya adalah tuak atau arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. “Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi,” imbuhnya.
Segehan dihaturkan di tiga tempat yang berbeda, yaitu halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan palinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari. Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di luar pintu rumah yang terluar. Ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari .
Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha umat kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari. “Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),” tandasnya.
Pada dasarnya, lanjutnya, Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia, amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.Jadi, dapat diambil kesimpulan adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.
Dikatakannya, sebagaimana dijelaskan pula bahwa saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep (rapat) Leak di Bali. Pada malam Kajeng Kliwon ini para penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. “Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan, ”
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…
Comments
Post a Comment