Ngayah dalam wacana kearifan lokal memiliki kedalaman dan keluasan makna yang tersimpul pada aktivitas nirlaba. Artinya, ngayah bukanlah aktivitas ekonomi sehingga predikat untung-rugi tidak mungkin dilekatkan padanya.
Walaupun demikian, masyarakat telah menggunakan kata ngayah secara semena-mena untuk menandai suatu aktivitas, bahkan yang berdimensi ekonomi sekalipun. Sudah lumrah terdengar orang sekarang mengatakan, “saya ngayah di kantor A”, padahal ia jelas-jelas mendapatkan upah di kantor tersebut. Di sini, kata ngayah telah diperluas maknanya ke dalam wacana ekonomi, juga mungkin malah mendegradasinya. Mengingat dengan kesemena-menaan tersebut, orang yang mengatakan sedang ngayah pun layak dicurigai motif ekonominya. Malahan sudah akrab terlontar dalam perbincangan masyarakat Bali khususnya, ngayah sering diasosiasikan dengan kata mayah ('bayar') dan layah ('lapar').
Kerja dan ngayah memang memiliki makna berhimpitan karena ngayah selalu hadir dalam wujud aktivitas kerja. Akan tetapi, spirit yang melandasi aktivitas kerja itulah yang membedakan ngayah dengan jenis-jenis pekerjaan lainnya. Ngayah dilandasi oleh spirit kolektivitas dalam ranah sosial, spirit ketulusikhlasan dalam ranah kultural, dan juga spirit bhakti dalam ranah agama. Oleh karena itu, untuk menemukan kembali makna ngayah secara utuh dan menyeluruh diperlukan pemahaman mendalam mengenai hakikat karma dan bhakti. Jika karma adalah raganya, maka bhakti adalah jiwanya; jika karma adalah wujudnya, maka bhakti adalah idenya; jika karma adalah eksistensinya, maka bhakti adalah esensinya.
Secara konseptual, bhakti dan karma niscaya untu dibedakan, walaupun pada hakikatnya tidak mungkin dibedakan. Keduanya adalah tunggal karena bersumber dari kebenaran yang tunggal. Kebenaran yang tunggal, satu- satunya, dan mutlak dalam ajaran Hindu diterjemahkan dalam terminologi tattwa. Dari prinsip-prinsip tattwa muncul lima bentuk kepercayaan (panca sraddha). Widdhi sraddha mengungkap hakikat tertinggi dan seluruh emanasinya dalam semesta. Dari sini, lahirlah atma sraddha yang mengungkap hakikat sang jiwa (atman), hubungannya dengan purusa (asas rohani) dan prakerti (asas materi), serta eksistensinya dalam dunia-kehidupan. Atman yang terbelenggu tubuh materi mengharuskannya terikat dengan hukum-hukum kerja dan hasilnya (karmaphala). Karma yang dilakukan dalam kehidupan akan menentukan perjalanan sang jiwa, apakah ia terlahir kembali (samsara) atau mencapai pembebasan (moksa).
Ajaran bhakti merealisasikan kepercayaan kepada Tuhan sebagai kuasa mutlak (Widdhi sraddha), sedangkan karma mewujudkan kepercayaan pada hukum kerja mutlak (karmaphala sraddha). Dari ajaran bhakti mengalir prinsip pemujaan, persembahan, pengabdian, dan pelayanan yang ditujukan sepenuhnya kepada Tuhan. Sementara itu, dari ajaran karma mengalir seluruh prinsip tindakan menurut hukum kerja dan hasilnya (karma-phala) yang pada puncaknya melahirkan prinsip kerja tanpa ikatan hasil. Apabila Tuhan adalah sumber dari segala sumber hukum, kemudian la lebur dalam hukum-hukum tersebut, maka melaksanakan bhakti kepada Tuhan atau melakukan karma yang sesuai dengan kaidah hukum karmaphala sesungguhnya adalah tindakan yang sama-sama benar menurut prinsip sraddha. Keduanya adalah jalan bagi sang jiwa (atma) untuk mencapai kebebasannya dari belenggu materi dan ikatan hasil kerja.
Puncak ajaran bhakti adalah mendedikasikan seluruh pemujaan, persembahan, pengabdian, dan pelayanan sepenuhnya hanya kepada Tuhan, tanpa mengharap balasan apapun. Melalui jalan ini, sang jiwa akan terbebas dari ikatan materi. Wujud tindakan bhakti dengan memberikan persembahan material mengajarkan cara kepada manusia untuk membebaskan ikatan dari materi yang dimiliki. Jalan lain yang diajarkan Hindu adalah melalui jalan kerja (karma). Puncak ajaran karma adalah membebaskan kerja dari ikatan hasil kerja. Cara yang diajarkan bagi manusia adalah melaksanakan kerja tanpa pamrih, yakni menjadikan seluruh tindakan kerja sebagai kewajiban (swadharma). Ibarat seorang ibu yang menyusui anaknya, itu semata-mata karena kewajibannya.
Inilah hakikat karma kanda, yakni ketika bhakti dan karma telah lebur menjadi prinsip tindakan yang bebas dari ikatan materi dan hasil kerja. Mpu Kanwa dalam Arjuna Wiwaha XII.6, mengajarkan.
Kadi hana purwakarma dinalih sang akarya hayu,
Ulah apageh magegwana rasagama buddhi tepet,
Ya juga sudhira munggu ri manah nira sang nipuna,
Karana nikang sukhabhyudaya niskala yan katemu.
(Seperti halnya purwakarma yang selalu dibicarakan oleh orang yang berbuat kebaikan, perilaku yang teguh berpegang pada rasa, agama, dan buddhi secara tepat, Itu juga yang selalu berada dalam pikiran orang yang arif bijaksana, Itulah penyebab kebahagiaan lahir dan batin, bila ditemukan).
Ketiga kesadaran itulah yang dijadikan kekuatan sang Arjuna, tokoh utama dalam Arjuna Wiwaha, untuk mencapai puncak bhakti ('stutinira taan tulus'). Dengan bhakti yang tulus tanpa pamrih, Bhattara Siwa pun berkenan menganugerahkan pusaka utama berwujud pasupati 'pasu- pati sastra kastu' (Arjuna Wiwaha, XII. 1). Pasupati sastra melambangkan panah (manah: kesadaran), yakni pengetahuan tertinggi tentang satyam, sivam, dan sundaram. Dengan kesadaran inilah Arjuna membunuh sifat tamak (rajas) dan kebodohan (tamas) dalam dirinya yang dilambangkan dengan seekor babi jelmaan yang diutus Bhattara Siwa sendiri untuk menguji keteguhan hati sang Arjuna.
Atas anugerah inilah, Mpu Kanwa menggambarkan sosok Arjuna sebagai seorang pendeta yang telah melampaui kesunyataan ('sang pandita huwus limpad sakeng sunyata'). Pandita utama yang telah mencapai pembebasan jiwa (jivanmukti), walaupuun masih bertubuh materi. Perilaku (ambeg) sang Jivanmukti dalam kehidupan fana ini hanyalah selalu berusaha menciptakan kebahagiaan dunia melalui kerja tanpa pamrih ('tan sangkeng wisaya prayojananira, Iwir sanggraheng lokika, siddhaningyasa wirya, sukaning rat kininkin nira') (Arjuna Wiwaha, 1.1). Dengan demikian, karma dan bhakti adalah laku utama bagi orang yang telah memahami hakikat karma kanda dan teguh melaksanakannya dengan kesadaran akan kebenaran, kesucian, dan kebahagiaan.
Refleksivitas atas karya leluhur nusantara dalam konteks ngayah yang perlu dibangun bahwa aktivitas ngayah harus didasari rasa bhakti dalam bentuk tindakan nyata (karma) sebagai buktinya. Dengan kalimat berbeda, ngayah harus dilaksanakan sebagai persembahan yang terbaik, tanpa motivasi mendapatkan balasan, serta bermanfaat bagi kebahagiaan masyarakat luas (mukti). Dalam ngayah inilah bhakti, bukti, dan mukti dipertemukan dalam satu titik simpul, kerja adalah persembahan (yadnya).
Ngayah kepada Tuhan melalui pemujaan, persembahan, dan aktivitas religius lainnya adalah hakikat dewa yadnya. Ngayah kepada sesama melalui pelayanan kemanusiaan adalah aktualisasi prinsip manusa yadnya dalam kemasyarakatan Ngayah kepada orang tua dengan merawat, melayani, menyayangi, dan melanjutkan tradisi luhur yang diwariskan merupakan aktualisasi nyata pitra yadnya. Ngayah kepada guru dan orang suci dengan cara meneladani dan mengamalkan kebenaran yang diajarkan adalah hakikat rsi yadnya. Ngayah kepada alam semesta dengan merawat lingkungan dan menjaga keasriannya adalah pengejawantahan bhuta yadnya dalam dunia nyata. Jadi, membangun kembali semangat ngayah dengan prinsip-prinsip yadnya adalah keutamaan yang harus diperjuangkan umat manusia. Rahayu...!!!
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…
Sumber:
Juru Sapuh
Comments
Post a Comment