Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Sanghyang Grodog : Membangkitkan Spirit Semesta


Tanggal 25 Juli 2012 menjadi hari yang istimewa bagi masyarakat Desa Lembongan, sebab itu merupakan hari pertama dari prosesi Sangyang Grodog. Antusiasme masyarakat Desa Lembongan terlihat dari ramainya mereka mendatangi tempat prosesi sanghyang yang dilakukan di catus pata yang merupakan titik nol Desa Lembongan.



Sanghyang Grodog kali ini terhitung sangat istimewa karena pertama kalinya diselenggarakan kembali setelah 29 tahun tidak pernah diselenggarakan di Desa Lembongan. Menyelenggarakan kembali Sanghyang Grodog tentunya bukan perkara mudah, sebab menyelenggarakan kembali sanghyang sudah “tertidur” selama 29 tahun membutuhkan upaya penggalian, terutamanya gending sanghyang yang hanya mampu diingat oleh segelintir orang tua di Desa Lembongan. Sanghyang Grodog di Desa Lembongan tergolong suatu ritual yang unik, berbeda dibandingkan dengan jenis-jenis sanghyang lainnya yang ada di Bali Daratan. Pada Bali Daratan, prosesi sanghyang lazimnya dilakukan oleh penari yang mengalami proses trans atau kehilangan kesadaran diri dan melakukan gerakan-gerakan tertentu sesuai dengan karakter sanghyang yang dipentaskan.

Tetapi tidak demikian yang terjadi pada Sanghyang Grodog di Lembongan. Perbedaannya bukan hanya dari jumlah sanghyang yang tergolong banyak, yakni 22 sanghyang, tetapi juga penggunaan roda kayu pada masing-masing simbol sanghyang. Kedua puluh dua sanghyang tersebut disimbolkan dengan media yang dibuat menyerupai sanghyang yang akan ditampilkan, atau dalam sebutan lokal disebut dengan gegulak.

Gegulak ini dibuat dari kayu dan jerami yang kemudian dihias sehingga menyerupai suatu objek tertentu. Gegulak juga dilengkapi dengan roda yang terbuat dari kayu yang selanjutnya akan digerakkan diiringi dengan nyanyian atau gending sanghyang.

Istilah “Grodog” muncul dari suara yang ditimbulkan ketika roda kayu tersebut digerakkan dan bersentuhan dengan tanah tempat berlangsungnya prosesi sanghyang. Semakin kencang roda kayu itu digerakkan, maka akan semakin keras pula suara yang dihasilkan, oleh sebab itu oleh penduduk Desa Lembongan, sanghyang ini disebut dengan Sanghyang Grodog.

Menurut penuturan Jero Mangku Gua Gala-Gala, Sanghyang Grodog merupakan “ritual pengaci desa” yang dipentaskan setiap tahun dengan fungsi sebagai “penyomia desa”. Nyomia desa merupakan suatu upacara yang dilakukan untuk menetralisir unsur-unsur negatif sehingga menjadi positif. Unsur-unsur yang telah dinetralisir dengan ritual Sanghyang Grodog ini diyakini akan memberikan dampak yang baik secara sekala maupun niskala bagi lingkungan dan masyarakat Desa Lembongan.

Menurut penuturan orang-orang tua di Lembongan, Sanghyang Grodog ini dilakukan untuk mencegah munculnya musibah-musibah yang meresahkan warga desa, diantaranya kekeringan dan wabah penyakit terutamanya penyakit cacar yang dahulu dikategorikan sebagai penyakit yang mematikan. Kedua bencana ini, tergolong hal yang sulit diatasi oleh masyarakat Desa Lembongan yang saat itu masih tradisional dan amat bergantung pada kebaikan alam untuk mampu bertahan hidup.

Selain fungsinya sebagai penyomia desa, penyelenggaraan Sanghyang Grodog pada masa-masa terdahulu merupakan suatu ritual yang dinanti-nantikan oleh masyarakat Desa Lembongan. Ritual ini menjadi suatu hiburan tersendiri bagi masyarakat Desa Lembongan baik kaum muda maupun tua, sangat antuasias menyambut digelarnya prosesi Sanghyang Grodog.

Dalam ingatan Nyoman Adnyani, seorang warga Desa Lembongan yang kerap menyaksikan Sanghyang Grodog semasa kecilnya, “saya sangat senang jika diadakan Sanghyang Grodog, saya biasanya akan menonton setiap malam di bawah cahaya bulan, menyaksikan Sanghyang Grodog yang digerakkan demikian rupa dan penuh semangat memberikan keriangan tersendiri bagi saya”.
Selama belasan hingga puluhan tahun, Sanghyang Grodog sempat hanya menjadi kenangan manis dalam ingatan masyarakat Desa Lembongan. Semenjak dimulainya budidaya rumput laut pada tahun 1984 dan munculnya pariwisata di Desa Lembongan, masyarakat Desa Lembongan mulai sibuk dengan aktivitas rumput laut dan pariwisata, maka Sanghyang Grodogan pun perlahan-lahan mulai dilupakan.

Tidak digelarnya sanghyang pada tiap tahun di sasih karo, tidak lagi dianggap sebagai suatu kealpaan, melainkan sebagai suatu kewajaran yang bisa dimaklumi. “Menyiapkan prosesi sanghyang itu membutuhkan waktu dan perhatian khusus serta dengan kesungguhan hati. Kesulitan mencari bahan untuk prosesi sanghyang terutama dalam membuat gegulak membuat kami terpaksa menghentikan tradisi ini. Selain itu mayoritas masyarakat Desa Lembongan yang menjadi petani rumput laut disibukkan dengan aktivitas budidaya rumput laut yang cukup menyita waktu dan perhatian.” Demikian penuturan seorang mangku lingsir Pura Dalem Lembongan.

Maka untuk pertama kalinya, setelah tertidur selama kurang lebih 29 tahun lamanya, tradisi ini dibangkitkan kembali. “Kami sadar sudah menjadi kewajiban kami untuk menjaga dan melestarikan tradisi leluhur kami, sangat disayangkan apabila tradisi Sanghyang Grodog yang sarat akan makna ini punah. Kami akan merasa sangat bersalah pada anak cucu kami, apabila nantinya mereka benar-benar tidak pernah menyaksikan tradisi leluhur ini. Selain itu kami percaya akan spirit pemurnian yang akan muncul dengan diselenggarakannya Sanghyang Grodog”.

Kesadaran inilah yang kemudian memotivasi kelompok pemangku desa yang tergabung dalam Saba Pinandita Desa Lembongan untuk membangkitkan kembali Sanghyang Grodog. Proses ini diawali dengan penggalian gending Sanghyang dan melakukan upacara Guru Piduka, kemudian dimulailah proses persiapan hingga pelaksanaan Sanghyang Grodog.


Sanghyang Grodog dilaksanakan selama 11 hari mulai dari tanggal 25 Juli hingga 4 Agustus 2012. Pada malam pertama diawali dengan sesolahan Sanghyang Sampat yang menyimbolkan pembersihan dan kesiapan untuk melaksanakan rentetan sanghyang hingga berakhir di malam kesebelas. Pemilihan waktu pelaksanaan sanghyang yang dilakukan pada Sasih Karo, diyakini pula dipilih dengan perhitungan yang cermat. Purnama Karo dianggap sebagai purnama yang paling terang dibandingkan dengan purnama-purnama pada sasih lainnya.

Selain itu, pada malam hari di Sasih Karo juga jarang turun hujan sehingga tidak menganggu pelaksanaan Sanghyang Grodog. Selama sebelas malam berturut-turut digelar rangkaian Sanghyang Grodog yang dianggap mewakili kesemestaan Desa Lembongan, diantaranya
  1. Sanghyang Bumbung
  2. Penyalin
  3. Sanghyang Lingga
  4. Sanghyang Joged
  5. Sanghyang Jaran
  6. Sanghyang Dukuh Ngaba Cicing
  7. Sanghyang Sampi
  8. Sanghyang Dukuh Ngaba Bubu
  9. Sanghyang Kebo
  10. Sanghyang Bangu-Bangu
  11. Sanghyang Menjangan
  12. Sanghyang Enjo-Enjo
  13. Sanghyang Tutut
  14. Sanghyang Barong
  15. Sanghyang Jangolan
  16. Sanghyang Perahu
  17. Sanghyang Kelor
  18. Sanghyang Capah
  19. Sanghyang Payung
  20. Sanghyang Bunga.
Rentetan Sanghyang Grodog diakhiri dengan Sanghyang Bunga, yang apabila dicermati bait gegendingannya seyogyanya merupakan ucapan kegembiraan atas turunnya berkah para dewa melalui simbol bidadara dan bidadari yang menebarkan keharuman di jagat Lembongan. Kegembiraan ini diekspresikan dengan prosesi sanghyang di malam terakhir yang sedianya akan dilaksanakan dari tengah malam menjelang pagi hari.

Gegulakan yang tinggi menjulang dan dipenuhi dengan hiasan janur dan bunga akan menjadi penutup prosesi Sanghyang Grodog. Sepanjang malam hingga pagi, alunan gending Sanghyang Bunga akan dikidungkan hingga hari berganti pagi, pertanda kebahagiaan menyambut hari baru dengan spirit Sanghyang Grodog yang telah dibangunkan dari tidur panjangnya selama dua puluh sembilan tahun.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Suksma…

Sumber:
Juru Sapuh

Comments