Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Mengendalikan Api dalam Diri

Mengendalikan Api dalam Diri 


Umat Hindu akan merayakan pergantian tahun Saka, dari Saka 1939 menuju Saka 1939. Beda tahun Saka dari tahun Masehi adalah 68 tahun. Saat pergantian tahun seperti ini, umat Hindu melakukan perenungan, evaluasi diri, dengan melaksanakan empat pantangan (catur brata) penyepian, yakni amati geni, amati lelanguan, amati karya, dan amati lelungan.


Amati geni sebagai pantangan utama bukan hanya berarti tidak menyalakan api (lampu). Sebab, kata amati, selain berarti 'memadamkan', juga bisa dimaknai sebagai 'mengendalikan'. Adapun geni, yang mencerminkan kekuasan Tuhan sebagai Brahma (Sang Pencipta), adalah cahaya pengetahuan dengan kekuatannya yang diwujudkan sebagai Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, ini prosesi Nyepi sesungguhnya terpusat pada usaha pengendalian diri kita sebagai manusia kreatif untuk melangkah lebih baik dalam menata masa depan. Hal itu baru bisa dicapai jika kita berhasil mengendalikan perbuatan (karya) kita, dan memusatkan pikiran agar tidak mengembara (lunga) ke sana kemari.

Dalam kitab suci Bhagawad Gita (III-5) disebutkan, "Walaupun untuk sesaat, tak seorang pun mampu untuk tidak berbuat, karena setiap manusia dibuat tak berdaya oleh hukum alam, yang memaksanya bertindak".

Ya, salama manusia menjalani kehidupan duniawi ini, mereka memang tak dapat melepaskan dirinya dari kegiatan kerja. Sebab, tanpa bekerja, kehidupan tak dapat berlangsung.
Akan tetapi, pebuatan seperti apa yang sebaiknya dilakuka manusia? Bhagawad Gita membandingkan pekerja yang dungu dan pekerja yang pandai. Hal ini dalam usaha mengangkat kesadaran manusia sebagai ciptaan tertinggi agar mampu melakukan perbuatan-perbuatan mulia sesuai dengan martabatnya.

“Seperti orang dungu yang berkerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah harusnya orang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi, wahai Bharata, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial” (BG.III-25).

Kesejahteraan Manusia

Bekerja tanpa kepentingan pribadi, hanya untuk kesejahteraan manusia! Inilah yang masih absen dalam diri kita sebagai bangsa sekarang ini. Kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok justru tampak lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan bangsa. Bahkan, kepentingan bangsa sering disalahgunakan untuk kepentingan diri dan kelompok.

Bisakah kita bersama-sama “menyepi” sesaat sambil bertanya kenapa kita masih begitu kuat terikat (lelanguan) untuk bekerja demi kepentingan pribadi dan kelompok, seraya menyisihkan kepentingan bangsa? Ajaran Hindu menyebut tiga kecenderunan sifat manusia, yakni satwa (jujur dan berbudi luhur), rajah (aktif dan ambisius), dan tamah (masa bodoh dan serakah).

Tampaknya kecenderungan pemuka bangsa yang menonjol sekarang ini masih didominasi oleh mereka yang tergolong rajah dan tamah. Hanya sedikit yang tergolong satwa. Padahal, untuk dapat bekerja tanpa kepentingan pribadi dan hanya bagi kepentingan bangsa (umat manusia), diperlukan kepasrahan yang terus kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

"Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat kepada sang atman, bebas dari nafsu keinginan dan keakuan, berperanglah, enyahkan rasa getarmu itu" demikian nasihat Sri Krishna kepada Arjuna. Dalam perenungan itu, mari kita letakkan cita-cita proklamasi kemerdekaan sebagai tujuan bersama.

Jika setelah hamper 72 tahun merdeka kita baru berhasil seperti sekarang ini, tampaknya kita harus berintropeksi dan melakukan perenungan. Apakah kara kita masih kurang tulus dalam mengabdi bagi kepentingan bangsa? Kalau iya, marilah kita lebih sadar untuk meningkatkannya bersama-sama sambil mengendalikan api di dalam diri.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

More: www.jurusapuh.com
youtube: bit.ly/jurusapuh-yt
Sumber:
Juru Sapuh

Comments