Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Menyeimbangkan Dinamika Purusa dan Pradana

Menyeimbangkan Dinamika Purusa dan Pradana

Menyeimbangkan Dinamika Purusa dan Pradana Ya evam vettipurusam Prakertim ca gunaih saha Sarvatha vartamanopi Na sa bhoyo'bhijayate [Bhagawad Gita XIII. 23] Maksudnya: Ia yang memahami dan menyeimbangkan dinamika purusa dan pradana serta guna secara bersama-sama, apapun yang dilakukan akan memberikan kehidupan bahagia di dunia ini dan mencapai persatuan dengan Tuhan.
Kehidupan di bumi ini tidak bisa hanya memperhatikan dinamika kehidupan badan jasmani atau sebaliknya hanya dinamika kehidupan rohani saja. Manusia hidup di bumi ini karena terpadunya purusa dan pradana. Purusa bukan berarti laki-laki dan pradana bukanlah berarti perempuan seperti pengertian tradisi di Bali sampai dewasa ini. Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan terbangun dari bertemunya purusa dan pradana atau raga.


Purusa itu adalah jiwa atau atman yang berasal dari paramaatma atau Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pradana artinya badan raga yang menjadi wadah dari purusa. Bila dinamika jiwa dan raga ini senantiasa terpadu secara seimbang maka kehidupan manusiapun menjadi dinamis yang harmonis.
Artinya hidup itu adalah suatu proses yang terus menerus berjalan menuju sumbernya yaitu Sang Pencipta. Tujuan itu akan terwujud apa bila proses itu senantiasa seimbang terpadu dan dinamikanya sesuai dengan hukum rta dan dharma. Rta adalah hukum alam yang diciptakan untuk menata dinamika alam agar eksistensi alam itu senantiasa sesuai dengan hak-hak azasi alaminya.

Demikian juga dharma adalah hukum hidup bersama (Statuta Law) yang diciptakan agar eksistensi kebersamaan dalam hidup itu senantiasa berada sesuai dengan dharma. Pradana adalah alatnya purusa untuk mewujudkan kekuatan purusa. Dalam Brahma Purana 228.45 ada dinyatakan sbb: Dharma artha kama moksanam sarira sadhanam. Maksudnya: Badan yang disebut "sarira" ini adalah sebagai alat untuk mewujudkan tujuan hidup untuk mencapai dharma, artha, kama dan moksha.

Dinamika purusa dan pradana ini akan membawa kehidupan yang bahagia di dunia skala dan di niskala. Mengapa dinamika purusa dan pradana itu tidak selalu membawa kehidupan ini senantiasa bahagia. Mengapa ada orang hidup menderita. Ada manusia yang cendrung bagaikan raksasa (asuri sampad) dan ada yang bagaikan dewa (dewi sampad) sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawad Gita.
Hal itu terjadi karena eksistensi perpaduan purusa dengan predana itu tidak selalu dinamis menurut idialismenya. Kalau purusa menjadi sumber dinamika pradana maka eksistensi hidup manusia bagaikan dewa. Tetapi kalau sebaliknya eksistensi manusia bagaikan raksasa. Dalam Upanisad dinyatakan dalam perpaduan itu purusa membawa empat sifat yaitu dharma, jnyana, wairagya dan aiswara. Empat sifat purusa inilah yang melekati citta (alam pikiran) yang mendorong manusia terdorong untuk berbuat baik dan benar berdasarkan jesadaran suci, serta ikhlas berkorban demi sesuatu yang lebih mulia dan suci.

Sedangkan pradana membawa lima sifat kotor yang disebut panca klesa yaitu awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa. Kalau lima sifat klesa ini dominan dalam diri seseorang maka orang tersebut akan terdorong untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran.

Agama, ilmu dan seni sebagai instrumen untuk mendidik dan melatih dinamika purusa lebih dominan dari pradana. Dengan demikian badan yang berasal dari unsur pradana ini menjadi alat mengamalkan dharma, jnyana, wairagia, dan aiswarya. Kalau dalam dinamika hidup ini yang dominan adalah unsur pradana maka badan ini menjadi alat untuk melakukan perbuatan yang kotor seperti seperti awidya (berbuat dengan kegelapan hati), asmita (mementingkan diri sendiri), raga (mengumbar hawa nafsu), dwesa (dendam dan benci) abhiniwesa (hidup dirundung ketakutan).

Kelima sifat negatif ini akan menjadi positif apabila berada di bawah kendali empat sifat citta yang dibawa oleh purusa itu. Masih adanya kenyataan yang carut-marut dalam kehidupan modern dewasa ini karena eksistensi sifat-sifat pradana yang disebut panca klesa itu masih kuat dominasinya. Manusia akan dapat hidup bahagia baik di dunia skala dan dunia niskala kelak, apabila mengupayakan dinamika purusa mendominasi pradana sehingga hubungan purusa dengan pradana eksistensinya sesuai dengan idealismenya.

Hakikat ajaran Hindu bukan sebagai ajaran yang mengajarkan hal-hal yang bernuansa spiritual semata. Agama Hindu menuntun umatnya untuk hidup seimbang mengeksistensikan kehidupan duniawi dengan rohani. Rohani harusnya dieksistensikan untuk menguatkan kehidupan duniawi agar jangan terjebak mengedepankan penguatan dominasi panca klesa menguasai purusa.

Pengembangan aspek duniawi ini dengan iptek sesungguhnya sudah sangat maju. Kalau ini dibarengi oleh penguatan eksistensi rohani maka dinamika purusa dan pradana akan seimbang saling memperkuat. Betapapun baiknya dorongan purusa untuk mengekspresikan dharma, jnyana, wairgya dan aiswarya kalau tidak diimplementasikan oleh pradana maka empat dorongan mulia dari pradana itu akan mentok.

Yang didorong tak maju-maju. Misalnya ilmu kimia sebagai ilmu duniawi sudah demikian majunya mengungkap berbagai rahasia isi alam ini. Namun kemajuan itu tidak disertai dengan peningkatan keluhuran moral dan daya tahan mental yang kuat maka ilmu kimia yang baik itu diterapkan dengan cara yang salah dan berdosa.

Misalnya kemajuan ilmu eksakta itu dijadikan sarana untuk mengawetkan atau mewarnai makanan dengan tujuan yang jahat. Terbukti dipasaran masih banyaka da makanan dengan kandungan zat kimia berbahaya. Demikian juga dengan penyalah gunaan kemajuan ilmu kimia beredar juga obat-obatan yang palsu. Padahal idialisme ilmu kimia adalah sangat mulia.

Kalau saja ilmu humaniora dan ilmu spiritual sama majunya dengan ilmu eksakta dan ilmu fisika maka eksistensi purusa dan pradana akan memberikan kontribusi positif pada kehidupa di bumi ini. Untuk itu dijadikanlah kegiatan beragama ini lebih menekankan penguatan nilai-nilai kemanusiaan dan pemberdayaan spiritual. Janganlah beragama lebih menekankan pada kegiatan berhura-hura tanpa makna spiritual.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh

Comments