Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Siklus Kelahiran Kembali yang Berulang-ulang

Siklus Kelahiran Kembali yang Berulang-ulang


Walaupun kehidupan ini terlihat sangat singkat dan seolah-olah hanya sekali saja, tapi sesungguhnya semua mahluk sudah mengalami jutaan kali pengalaman lahir-hidup-mati lahir-hidup-mati dalam siklus samsara [kelahiran kembali yang berulang-ulang].

Sejak jaman yang sangat kuno sampai jaman sekarang ini, para orang-orang suci dengan kekuatan mata bathin beliau telah dapat mengetahui adanya fenomena samsara. Di dalam kitab suci Veda sendiri terdapat puluhan sloka yang membahas tentang samsara, seperti misalnya :
Jivo mrtasya carati svadhabhih
A varivarti bhuvanesu-antah
[Atharva Veda IX.10.8]
Artinya :
Jiwa sebuah tubuh yang mati, mengambil bentuk yang lain [terlahir kembali] menurut perbuatannya di masa lampaunya [akumulasi karmanya sendiri]. Mengambil bentuk-bentuk [kelahiran] yang berbeda-beda, terus mengembara di alam semesta.
Ada berbagai sebab mengapa kita terus-menerus mengalami lahir-hidupmati dalam siklus siklus samsara, tapi sebab yang paling penting dan utama adalah manas [pikiran] dan ahamkara [ke-aku-an atau ego]. Pikiran yang terbenam dalam avidya [salah, bodoh, tidak tahu] serta ahamkara [ke-aku-an, ego] adalah yang menyebabkan kita terus menerus mengalami siklus samsara atau siklus lahir-hidup-mati yang terus berulang-ulang.
Tidak hanya sebatas itu, pikiran yang salah serta ke-aku-an juga adalah juga yang menyebabkan dimana-mana terjadi persaingan, perebutan, perdebatan, pertengkaran, perceraian, kebencian, konflik, kejahatan, perkelahian bahkan peperangan. Dimana kita saling menyakiti satu sama lain. Padahal sesungguhnya kehidupan sebagai manusia dalam siklus siklus samsara, bisa diibaratkan seperti meniti “titi ugal-agil” [jembatan berupa sebatang kayu kecil yang amat goyah], yang dibawahnya ada jurang yang sangat dalam. Hanya persoalan waktu kita jatuh ke dalam jurang.
Artinya kalau kita salah melangkah, dalam perjalanan kehidupan berikutnya kita bisa terjerumus ke dalam kelahiran sebagai sebagai manusia yang hidupnya penuh kesengsaraan, sebagai mahluk-mahluk alam bawah, atau bahkan sebagai binatang.
Apan pran eti svadhaya grbhito
Amartyo martyena sayonih
[Rig Veda I.164.38]
Artinya :
Jiwa yang memiliki tubuh yang sementara, mengambil bentuk eksistensi lain mahluk seperti ini atau seperti itu [terlahir kembali] menurut perbuatannya [sesuai dengan karmanya] sendiri.
Dengan kata lain, dalam kelahiran sebagai manusia ini sangat-sangat mendesak bagi kita sebagai manusia untuk segera sadar karena kita semua sedang meniti titi ugal-agil. Kita tidak puas dengan gaji kemudian kita korupsi, itu jatuh ke dalam jurang. Kita tidak puas dengan pasangan hidup kemudian selingkuh, itu jatuh ke dalam jurang. Dsb-nya. Kita akan menyakiti dan melukai diri kita sendiri maupun orang lain. Pada akhirnya kelak diri kita sendiri juga yang akan terjerumus ke dalam jurang kegelapan dan kesengsaraan.
Sehingga dalam hidup ini kita tidak punya pilihan lain selain berjalan di jalan dharma. Karena hanya dengan begitu kita bisa memperoleh keselamatan, kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Terlebih lagi kalau kita bisa terbebas dari avidya [kebodohan], mengetahui realitas diri yang sejati [atma jnana] dan mengalami pembebasan sempurna [moksha].

KEMATIAN

Umumnya kalau berbicara kematian, biasanya reaksi yang muncul macammacam, tapi yang paling sering adalah reaksi takut, ngeri atau tidak rela. Padahal kematian itu sesuatu yang pasti. Siapapun kita, selebritis atau petani miskin, presiden atau pegawai rendahan, konglomerat atau pengemis, orang suci atau penjahat, dsb-nya, kita semua pasti akan mati. Jangankan orang biasa seperti kita, para yogi, mpu, danghyang, maha-siddha, jivan-mukta atau maharsi-pun hampir tidak ada yang bisa menghentikan berakhirnya kehidupan. Dan sesungguhnya semua mahluk sudah mengalami jutaan kali pengalaman lahir-hidup-mati lahirhidup-mati dalam siklus samsara [kelahiran kembali yang berulang-ulang].
Semua perjalanan kehidupan pasti menuju akhir kepada kematian. Ada yang mempercepatnya ke dalam ke sia-siaan hidup [hidup dengan melakukan banyak pelanggaran dharma yang berbahaya], ada yang menikmati keduniawian perjalanan kehidupan walau hanya sesaat [hanya sebatas saat badan fisik ada] dan ada yang bertindak benar dengan berjuang dalam perjalanan kehidupan untuk memenangkan kesadaran yang sempurna. Dalam buku-buku suci Hindu Dharma disebutkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak akan dapat lepas dari hukum mutlak alam semesta, yaitu utpetti [tercipta, terbentuk atau terlahirkan], stithi [keberadaan] dan pralina [penghancuran atau berakhirnya keberadaan]. Sehingga ada empat kemutlakan akhir, yaitu :
  1. Semua kehidupan akan berakhir pada kematian.
  2. Semua pertemuan akan berakhir pada perpisahan.
  3. Semua pengumpulan akan berakhir pada pembubaran.
  4. Segala yang ada tercipta akan berakhir pada penghancuran.
Siapa saja yang ada di sekeliling kita [termasuk orang tua, saudara, anak, istri atau suami], apa saja yang kita miliki semasih hidup [termasuk kekayaan yang sangat banyak], kita pasti akan berpisah dengannya. Dan dari semua hal yang kita miliki semasih hidup, umumnya kita paling melekat kepada badan fisik dan pikiran-perasaan kita, sehingga yang paling sangat sulit untuk kita relakan untuk berpisah adalah kehidupan kita sendiri.
Kita tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Bisa 7 jam lagi, 7 hari lagi, 7 bulan lagi, 7 tahun lagi, 70 tahun lagi ? Kita tidak tahu. Walaupun demikian, kematian jangan dilihat sebagai ancaman menakutkan, tapi sebagai kesempatan yang sangat baik untuk memasuki wilayah kehidupan baru yang terang dan indah. Kematian datang bukan karena sakit, kematian datang bukan karena kesengajaan [dibunuh] orang lain, kematian datang bukan karena kecelakaan, dsb-nya, tapi kematian datang semata-mata hanya karena waktunya sudah tiba.
Karena kematian tidak bisa dihentikan oleh apapun, daripada bersedih, sengsara atau ketakutan memikirkan perpisahan [yang pasti akan terjadi] tersebut, alangkah baiknya kalau kita mencari perlindungan. Dan perlindungan terbaik adalah ajaran suci dharma. Kita hanya punya satu pilihan : mempersiapkan kematian sejak jauh-jauh hari. Sebelum kita “pergi pulang ke tanah wayah” secara kacau, lebih baik kita siapkan sejak sekarang. Anda dan saya sangat beruntung, karena sebelum “pergi pulang ke tanah wayah”, sudah dapat ilmunya, sudah dapat rahasianya.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh

Comments