Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Kepemangkuan #2

Sebelumnya

Kepemangkuan #2

B. Pawintenan Mepedamel
Pawintenan MePedamel dilaksanakan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau juga disebut Sang Hyang Yogi Swara selaku Panabean.
Upacara ini harus disaksikan oleh :
  1. PHDI Kecamatan dan Kabupaten
  2. Pejabat Pemerintah setempat
  3. Perangkat Desa Adat
  4. Kantor Departemen Agama Kabupaten
  5. Guru Rupaka dan keluarganya

Pemangku yang diwinten dengan tingkatan seperti ini diberi gelar atau julukan sebagai Jero Mangku dan diberikan wewenang untuk nganteb banten Dewa Yajna. Pada waktu nganteb banten, Pemangku diperkenankan menggunakan mempergunakan mempergunakan genta atau bajra.
Pemangku dengan julukan Jero Mangku ini tidak dibenarkan menyelesaikan upacara di luar Dewa Yajna, kecuali atas ijin dari Pendeta yang mewintennya. Disamping itu berdasarkan Lontar Sumuka, Pemangku dengan gelar Jero Mangku inijuga belum diperkenankan nganteb banten yang setingkat dengan upacara padudusan dengan banten bebangkit – pala gembal ke atas.
c. Pawintenan Samkara Ekajati
Pawintenan jenis ini merupakan Pawintenan untuk meningkatkan status Pemangku dengan title Jero Mangku menjadi Jero Gede selaku Pinandita. Upacara pawintenan ini dilakukan oleh Pendeta yang sudah mempunyai wewenang untuk melaksanakan Loka Palasraya Pandita atau yang disebut juga Sang Yogi Swara selaku Panabean (Guru Pengajian).
Sebelum Upacara Pawintenan dilaksanakan, maka calon Jero Gede terlebih dahulu harus mencari Pandita – Nabe sebagai Guru, dimana yang bersangkutan akan melaksanakan apa yang disebut maguron-guron. Pandita – Nabe itulah yang secara langsung membina dan mendidik sang calon dengan Dharma Pawikuan sesuai dengan beban fungsi dan jabatan yang akan dipangkunya.
Upacara Pawintenan Samkara Ekajati ini harus disaksikan oleh para Manggala Desa, sama seperti pesaksian Pawintenan Mepedamel seperti sudah diuraikan di atas.
Seorang Pemangku dengan julukan Jero Gede, jika telah memenuhi persyaratan tertentu dan dipandang sudah cukup memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kesucian rokhani maupun jasmaninya, dikemudian hari dapat melakukan penyucian diri yang sifatnya lebih tinggi yang disebut Mapudgala Dwijati.
Sarana Pawintenan dan Artinya
Dalam Upacara Pawintenan Mepedamel dan Pawintenan Samkara Ekajati, seorang (calon) Pemangku akan diberikan sarana khusus berupa Selempot, Semaratih, Sirowista, dan Banten Pedamel. Bahkan unruk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku termaksud diwajibkan menginjak Kepala Kerbau. Mungkin timbul pertanyaan, apakah arti dari semua ini? Berikut adalah penjelasannya menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH (SARAD No. 46/2004).
Dalam upacara Pawintenan Mepedamel, seorang calon Pemangku diwajibkan mengenakan selempot benang putih, sedangkan pada Upacara Pawintenan Samkara Ekajati harus mengenakan selempot benang tridatu (benang tiga warna : merah, putih, dan hitam). Dengan memakai selempot benang putih, maka calon Pemangku tersebut dipandang sebagai penganut ajaran Dewa Siwa (Siwa Sidhanta). Namun ini tidak berarti bahwa calon Pemangku tersebut tidak menghormati Dewa Brahma dan atau Dewa Wisnu. Sedangkan dengan memakai selempot benang tridatu, Pemangku tersebut dianggap akan mempunyai tugas kewajiban yang lebih luas, yaitu untuk memuja ketiga Dewa Trimurti yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa yang masing-masing berstana di selatan, utara, dan timur, bahkan ditambah lagi dengan Dewa Mahadewa yang berstana di Barat. Dalam hal ini Pemangku tersebut akan bertugs memuja empat Dewa pengendali empat penjuru mata angina. Itulah sebabnya untuk Upacara Pawintenan Samkara Ekajati dipergunakan banten catur, sebagai simbul pemujaan kehadapan empat Dewa termasuk tadi.
Pada waktu pawintenan, ke badan Pemangku juga disentuh-sentuhkan selembar kain putih berisi gambar wayang dinamakan Semara Ratih sebagai lambing kasih sayang. Setelah itu Semara Ratih tersebut lalu diletakkan di pundak yang merupakan perlambang bahwa seorang Pemangku harus mampu dan siap memikul beban tugas kewajiban dengan penuh rasa kasih sayang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua ciptaannya, baik yang berwujud manusia, tetumbuhan maupun panca mahabutha.
Disamping Semara Ratih, Pemangku juga diberikan banten pedamel yakni banten kecil yang terbuat dari jajan atau bahan-bahan yang dapat dimakan. Unsur rasa dari banten pedamel itu sangat penting artinya. Dengan banten pedamel yang isinya harus yang dimakan, seorang Pemangku diharapkan mampu merasakan sad rasa dalam melaksanakan tugas kewajibannya yaitu rasa manis, rasa asam, rasa pahit, rasa sepet, rasa asin, dan rasa pedas. Sad rasa disini tentu saja dalam arti kias, yang harus dapat sijiwai oleh seorang Pemangku dalam melakoni hidup maupun dalam melaksanakan tugas pekerjaannya sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus sebagai pelayan masyarakat.
Selanjutnya di kepala Pemangku diikatkan sebuah sirowista yang terbuat dari daun alang-alang yang berfungsi sebagai alat penyucian diri dan memusnahkan segala pengaruh negatif. Disamping itu sirowista merupakan juga lambang ardha-candra (bulan), sedangkan kepala Pemangku sendiri dipangdang sebagai lambang windu (matahari) dan bunga yang ada pada simpul sirowista sebagai lambang nada (bintang). Dan pucuk bunga kembang sepatu berwarna merah (lambang Brahma) dianggap paling ideal sebagai lambang nada tersebut. Ketiganya, (bulan, matahari, dan bintang) merupakan lambang alam semesta sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memakai sirowista diharapkan agar Pemangku disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Mengenai bunga yang dipergunakan untuk sirowista dapat dijelaskan bahwa bunga itu sebenarnya boleh-boleh saja, artinya bunga apa saja boleh, asalkan bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan bebas dari rasa takut. Tetapi pada umunya yang lazim dipergunakan adalah pucuk bunga kembang sepatu yang berwarna merah (Brahma), disertai bunga berwarna putih (Siwa), dan bunga berwarna biru tua (Wisnu).
Dalam Upacara Pawintenan Samkara Ekajati, Pemangku juga diwajibkan menginjak kepala kerbau, yang melambangkan bahwa seorang Pemangku harus mampu menyerap kekuatan yang maha besar itu, maka seberat apapun tugas kewajibannya akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Jenis Banten Pawintenan dan Maknanya
Untuk memperluas Pawintenan diperlukan berbagai jenis banten. Dan dilihat dari sudut banten yang dipergunakan, maka banten Pawintena Pemangku, dapat dibedakan dalam tiga jenis, tergantung dari banten ayaban yang dipakai :
  • Pawintenan Sari mempergunakan ayaban Banten Saraswati
  • Pawintenan Mepedamel mempergunakan ayaban Banten Bebangkit
  • Pawintenan Samkara Ekajati mempergunakan ayaban Banten Catur
Pawintenan dengan Banten Saraswati adalah penyucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai saktinya Dewa Brahma yang menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan pawintenan dengan ayaban Banten Bebangkit adalah penyucian diri dengan memuja dua Dewa – Dewi yakni Dewi Saraswati dan Dewa Gana sebagai putra Bhatarar Siwa yang berfungsi sebagai pelindung umat manusia. Kemudian pawintenan dengan ayaban Banten Catur adalah penyusian diri dengan memuja empat Dewa yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Mahadewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pawintenan Pemangku Suami-Isteri
Pemangku suami isteri dalam melaksanakan upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama-sama oleh suami dan istrinya. Bila sebelum menikah laki-laki yang diwinten, maka setelah menikah, pawintenan suami istri harus dengan banten ayaban yang sama seperti ketika suaminya mawinten dahulu. Upacara pawintenan ulang bagi suami ini disebut pawintenan masepuh. Dalam suatu rumah tangga, tidak boleh ada suami atau istri yang salah seorang diantaranya tidak mawinten. Artinya kedua orang baik suami maupun istri haruslah sudah disucikan.
Pengendalian Diri Melalui Brata, Tapa, Yoga, dan Samadhi
Mereka yang sudah mawinten wajib melaksanakan pengendalian diri secara ketat dengan cara melakukan brata, tapa, yoga, dan samadhi. Makin tinggi tingkat pawintenannya, maka makin ketat pula tingkat pelaksanaan brata, tapa, yoga, dan semadhinya. Mungkin ada yang bertanya, apa yang dimaksud dengn brata, tapa, yoga, dan semadhi itu. Berikut adalah penjelasan secara singkat :
  1. Brata adalah usaha pengendalian diri dengan pengekangan hawa nafsu
  2. Tapa metupakan usaha pengendalian diri agar selalu berada dalam jalur ajaran-ajaran agama
  3. Yoga berarti pengendalian diri dengan tujuan agar selalu ingat dan karena itu selalu memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
  4. Semadhi berarti pengendalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada kemahakuasaan Tuhan
Untuk dapat melaksanakan brata, tapa, yoga, dan semadhi dengan baik, maka orang sudah mawinten, harus selalu memelihara kondisi lahir maupun batinnya dengan baik dan tertib agar tidak menjadi cemer. Yang dimaksud dengan cemer disini adalah :
  • Cemer yang disebabkan oleh pikiran, perbuatan, dan perkataan yang menyimpang dari ajaran Agama
  • Cemer yang disebabkan oleh kasepungan, yaitu keadaan cuntaka yang berasal dari luar dirinya
Misalnya menyantap suguhan di tempat orang meninggal atau ngaben dan atau turut memandikan layon orang yang meninggal termasuk dalam pengertian cemer tingkat kedua. Apabila menjadi cemer, maka orang yang sudah mawinten harus manyucikan diri kembali sesuai dengan tingkat kecemerannya, misalnya dengan cara meprayascitta saja atau bila perlu dengan mawinten ulang atau masepuh.
Bahkan I GB. Sugriwa dalam bukunya berjudul “Dwijendra Tatwa” menjelaskan ajaran Empu Sang Kaliputih yang menguraikan bahwa Pemangku tidak kena hokum cuntaka (sebel), tetapi dilarang menjenguk dan makan minum suguhan orang yang sedang kematian (namping watang).
Dalam kaitan ini, Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Nawa Sandhi (Raditya No. 82/2004) menegaskan bahwa Pemangku dan semua orang yang sudah mawinten jika memegang jenasah dan kaungkulin Tirtha Pengentas, maka pawintenannya harus diulangi kembali, dengan istilah di Bali disebut Masepuh dan tidak cukup dengan mabeakala, maprayascita, apalagi hanya mebanyuawangan saja. Mebanyuawangan hanya berlaku bagi orang lain (pelayat) yang bukan keluarga, yang dilakukan segera setelah pulang dari melayat. Jika sekiranya jenasahnya bermalam beberapa hari, maka setiap kali pulang melayat orang yang bersangkutan (bukan keluarga) harus mebanyuawangan. Banyu artinya air dan awing berarti pengentas kesucian. Banyuawang tirtha yang terbuat dari air kelapa gading muda yang diisi tepung tawar, semacam banten kecil yang terdiri dari arang jaja uli, beras putih, beras merah, daun dapdap diiris-iris disertai lis dan jejahitan daun kelapa muda.
Disamping brata, tapa, yoga, dan semadhi, orang yang sudah mawinten perlu juga memahami, mendalami, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang yama-niyama brata (pengendalian diri), sad-ripu (enam jenis sifat yang buruk), sad-atatayi (enam jenis perbuatan yang kejam), trikaya Parisuddha, astabarata dan lain-lain.

9. NAMA PANGGILAN SEORANG PEMANGKU

Nama panggilan seorang Pemangku dibedakan sbb. :
  1. Bapa Mangku, Made Mangku, Ketut Mangku, dll. adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Sari
  2. Jero Mangku adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Pawintenan Mepedamel
  3. Jero Gede adalah nama panggilan bagi Pemangku yang telah diwinten dengan Upacara Samkara Ekajati
Dalam prektek seorang Pemangku dinamakan pula Jan Banggul Ida Bhatara. Ada juga yang menyebutnya Jero Tapakan. Di luar Bali seorang Pemangku ada yang menamakannya Wasi. Tetapi ketiganya bukanlah nama panggilan, tetapi sebagai padanan dari kata Pemangku. Dalam Maha Sabha II PHDI tahun 1968, rokhaniawan Pemangku dinamakan Pinandita. Hal ini untuk menyamakan persepsi umat Hindu di Indonesia. Ketetapan itu untuk memberi arah dan pengertian yang jelas kepada umat. Pinandita tentu berbeda dengan Pandita atau atau Pendeta. Tegasnya Pinandita adalah Pemangku, sedangkan Pandita atau Pendeta adalah Sulinggih.
Tetapi baik Sulinggih maupun Pinanadita sangat diperlukan oleh umat Hindu. Hal ini karena persoalan hidup beragama dimasa depan nampaknya akan menjadi semakin kompleks. Karena itu umat Hindu memerlukan Pinandita dan atau Pendeta, bukan saja pada waktu bersembahyang atau melaksanakan upacara yajna. Dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan lainnya pun umat memerlukan pula tuntunan dari Pendeta dan atau Pemangku. Tujuannya tidak lain adalah agar semua umat manusia dapat hidup rukun dan damai, hidup tenang dan tentram, selalu dijauhkan dari perselisihan dan pertentangan, dijauhkan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang tidak baik.
Itulah sebabnya mengapa seorang Pemangku perlu terus belajar dan belajar lagi. Agar benar-benar dapat menjadi seorang pelayan umat sekaligus pelayan Ida Sang Hyang Widhi, maka seorang Pemangku atau Pinandita tidak cukup hanya berbekal kemampuan untuk menghafal Puja Stawa saja. Janganlah berbangga diri, apalagi bersikap arogan dan merasa lebih dari orang lain, hanya karena sudah merasa lancer dan pandai mengucapkan Puja Stawa atau Mantram, yang barangkali juga belum diketahui maknanya. Sekali lagi, seorang Pemangku hendaklah tidak menutup diri dari ilmu, khususnya ilmu agama. Seorang Pemangku hendaknya juga menyiapkan diri dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang menyangkut berbagai persoalan tentang hidup dan kehidupan masyarakat.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa seorang Pemangku atau calon Pemangku wajib membekali dirinya dengan moral dan mental yang luhur serta tangguh. Semua itu untuk dapat menegakkan swadharma dalam menuntun umat mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi manusia panutan.

10. PAKAIAN PEMANGKU

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku, pakaian Pemangku dibedakan untuk Pemangku dengan sebutan Jero Mangku dan dengan nama panggilan Jero Gede.
Pakaian Pemangku yang bergelar Jero Mangku pada waktu melakukan tugas kepemangkuan adalah :
  • Destar (udeng) petak (putih)
  • Kwaca (baju) petak (putih)
  • Kampuh (saput) petak (putih atau kuning)
  • Wastra (kain) petak (putih)
  • Dandanan rambut magelung anyondong yang ditutup destar bongkos nangka
Pakaian Pemangku dengan gelar Jero Gede pada saat melaksanakan tugas sebagai Pemangku adalah :
  • Dandanan rambut panjang magelung anyodong rapi, rambut meperucut menghadap ke belakang yang selalu ditutup destar putih
  • Baju putih berbentuk jas tertutup tangan pendek atau kemeja putih tangan panjang
  • Kampuh kuning
  • Wastra putih, melelancingan

11. TINGKAT-TINGKATAN PEMANGKU

Berdasarkan besar kecilnya Pura yang diemong, Pemangku dapat dibedakan sbb. :
  1. Pemangku Sanggah/Merajan adalah Pemangku yang bertugas di Sanggah atau Merajan keluarga
  2. Pemangku Pura Paibon adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Paibon, yang disungsung oleh sekitar 20 keluarga yang masing-masing telah memiliki Sanggah/Merajan tersendiri. Pemangku untuk Pura Paibon ini biasanya bergelar Jero Mangku
  3. Pemangku Pura Dadia/Pura Panti/Pura Batur merupakan Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Dadia yang dinamakan pula Pura Panti atau ada juga yang menyebutnya sebagai Mangku Agung atau Mangku Gede, sama dengan gelar Pemangku di Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem (Kahyangan Tiga Desa)
  4. Pemangku Pura Kawitan adalah Pemangku yang mendapat tugas untuk ngempon Pura Kawitan. Pemangku ini bergelar Jero Gede atau ada juga yang menamakannya Ida Gede, sama dengan gelar untuk Pemangku di Pura Sad Kahyangan Jagad
    • Pemangku juga dapat dibedakan berdasarkan jenis Pura yang diemongnya, yaitu :
      • Pemangku Pura Sad Kahyangan
      • Pemangku Pura Dang Kahyangan
      • Pemangku Pura Kahyangan Tiga
  5. Pemangku Sanggah/Merajan, Pemangku Pura Paibon, Pemangku Pura Dadia (Pura Panti atau Pura Batur), Pemangku Pura Kawitan, sebagaimana sudah dijelaskan diatas

12. HAK-HAK PEMANGKU

Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat, seorang Pemangku sudah selayaknya diberikan kebebasan dari kewajiban tertentu disamping juga hak-hak yang sepatutnya, sebagai imbalan atas pengabdiannya yang tulus dan ikhlas untuk ngayah tanpa pamrih :
  1. Pemangku dibebaskan dari ayahan desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya
  2. Pemangku dapat menerima bagian sesari ataupun aturan sesangi dari Pura yang diemongnya. Pembagiannya adalah sebagai berikut :
    1. Sepertiga bagian untuk Pura, yang dapat dipergunakan untuk membeli perlengkapan Pura
    2. Sepertiga bagian untuk dibagikan untuk para Pemangku yang bertugas di Pura tersebut
    3. Sepertiga bagian untuk Pengurus Pura termasuk penjaga Pura dan petugas lainnya jika ada
  3. Pemangku dapat menerima bagian hasil pelaba Pura, sepanjang Pura yang diemongnya memiliki pelaba Pura. Mengenai bagian yang dapat diberikan kepada Pemangku ditentukan oleh Pengurus Pura berdasarkan kesepakatan Krama Dadia

13. WEWENANG, TUGAS, DAN KEWAJIBAN PEMANGKU

Setiap umat manusia memiliki swadharma atau tugas kewajiban tersendiri. Demikian pula halnya dengan Pemangku. Adapun kewenangan Pemangku dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. Menyelesaikan upacara pujawali atau piodalan sampai tingkat piodalan pada Pura yang diemongnya
  2. Apabila Pemangku menyelesaikan upacara diluar Pura yang diemongnya atau upacara yajna itu diselenggarakan di luar Pura atau jenis upacara yajna tersebut bersifat rutin, seperti pujawali atau piodalan, Manusia Yajna dan Bhuta Yajna, yang seharusnya memepergunakan tirtha Sulinggih, maka Pemangku diperkenankan nganteb banten upacara termaksud dengan menggunakan tirtha Sulinggih
  3. Pemangku berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam Pura yang diemongnya dengan cara mepuja atau mesa termasuk mohon tirtha kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-Bhatari yang melinggih atau yang distanakan di Pura tersebut, termasuk yajna membayar kaul dan lain-lain
  4. Dalam penyelesaian upacara Bhuta Yajna atau Caru, Pemangku diberi wewenang menyelesaikan upacara Bhuta Yajna maksimal sampai dengan tingkat panca sata dengan mempergunakan tirtha Sulinggih
  5. Delam berhubungan dengan menyelesaikan upacara Manusia Yajna, Pemangku diberi wewenang mulai dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha Sulinggih
  6. Dalam hubungan dengan menyelesaikan upacara Pitra Yadnya, Pemangku diberi wewenang sampai mendem sawa sesuai dengan catur dresta
Dengan demikian Pemangku mempunyai wewenang untuk :
  • Nganteb Upakara/Upacara di Pura atau Kahyangan yang diemongnya
  • Dapat “ngeloka pala sraya”sampai dengan madudus alit, sesuai dengan tingkat pawintenannya

14. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN NGANTEB UPAKARA

Pada saat akan nganteb baten, Pemangku terlebih dahulu katuran panguleman (pemberitahuan) berupa canangsari yaitu sebagai permakluman kehadapan Hyang Taksu (susuhanannya) bahwa Pemangku akan melaksanakan tugasnya untuk nganteb upakara (banten). Hal ini tentu tergantung dari desa kala patra atau kebiasaan atau tradisi setempat.
Selanjutnya penggunaan sarana bagi seorang Pemangku juga tidak sama di suatu daerah dengan daerah lainnya. Di daerah tertentu ada yang menggunakan sarana seperti di bawah ini :
  1. Di suatu upacara (di tempat nganteb banten) disiapkan sebuah Daksina Pelinggih, peras, ajuman, lengawangi, buratwangi, dan canangsari berisi sesari, dengan jinah bolong 550 kepeng
  2. Banten yang di tempatkan di Sanggar Surya (Sanggar Tawang) adalah banten suci lengkap, dan canangsari serta daksina
  3. Untuk pengastawan tirtha dipergunakan sangku atau payuk anyar
  4. Selesai nganteb banten, di rumah Pemangku disediakan labaan (pengluar) dan Daksina Pelinggih, untuk dihaturkan kehadapan Hyang Taksu sebagai pertanda bahwa upacara telah selesai
  5. Banten upacara untuk nganteb terdiri dari :
    • Daksina Pejati, meruntun peras, ajuman, dan canangsari dengan sesantun 4000 kepeng jinah bolong
    • Dalam upacara pedudusan dilengkapi dengan banten bebangkit, pulegembal, gelarsanga, dan pasipatan
    • Suci alit, lengewangi, buratwangi, banyu awing
    • Bunga yang harum
    • Kalpika 33 biji
  6. Piranti pemujaan terdiri atas :
    • Sebuah dulang kuningan atau dulang kayu yang dipergunakan khusus untuk itu
    • Sagku tempat tirtha
    • Pedupaan
    • Bajra/Genta
    • Tempat bija
    • Tempat bunga

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh

Comments