Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Kepemangkuan

Kepemangkuan

1. ROKHANIAWAN HINDU


Dalam Agama Hindu seorang Pemangku atau Pinandita dinyatakan sebagai rokhaniawan . Rokhaniawan artinya orang yang rokhani atau jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai
rokhaniawan , seorang Pemangku seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Berdasarkan tingkat penyuciannya, rokhaniawan Hindu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu :
  1. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Dwijati seperti Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Empu, Rsi dan lain-lain yang pada umumnya dinamakan Sulinggih.
  2. Rokhaniawan yang termasuk dalam golongan atau tingkatan Ekajati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dan lain-lain.
Disamping dua golongan tersebut diatas sesungguhnya masih ada satu golongan rokhaniawan yang ketiga yaitu termasuk dalam golongan atau tingkatan Trijati. Yang dimaksud dengan golongan Trijati adalah para sulinggih yang telah berkedudukan sebagai Guru Nabe. Mereka ini dipandang sebagai lahir tiga kali, yakni dari Ibu, dari ilmu pengetahuan dan kemudian diangkat menjadi Guru Nabe. Beliau mempunyai wewenang untuk meningkatkan sisyanya dari calon Pendeta menjadi Pendeta dalam tingkatan Dwijati.

A. Rokhaniawan Tingkat Dwijati

Kata Dwijati berasal dari bahasa Sansekerta ,Dvi dan Jati . Dvi berarti dua dan Jati berasal dari akar kata Ja yang berarti lahir. Dengan demikian Dwijati berarti lahir dua kali. Kelahiran yang pertama adalah kelahiran dari ibu kandungnya sendiri, sedangkan yang ke dua merupakan kelahiran dari kaki Dang Guru Suci atau Nabe setelah memperoleh Ilmu Pengetahuan Suci dan kerokhaniawan.
Dengan kata lain kelahiran yang ke dua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-aguron (berguru/belajar) kepada seorang Nabe. Untuk kelahiran yang kedua ini, seorang calon sulinggih juga harus melakukan Nuwun Pada atau Metapak kepada Nabenya dalam suatu upacara yang disebut Mediksa atau Mepudgala. Selesai upacara Mediksa yang bersangkutan diberi gelar atau sebutan Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain. Kata Pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti terpelajar, pandai, dan bijaksana atau orang yang arif lagi bijaksana.
Pelaksanaan upacara Mediksa yang memberikan gelar Pedanda, Pandita, Sri Bhagawan, Rsi, Empu, dan lain-lain itu, merubah status yang bersangkutan dalam ikatan disiplin sebagaimana tertuang dalam catur bandana dharma (empat ikatan disiplin kehidupan kerokhanian) meliputi :
A. Amari Aran :
Yang bersangkutan wajib merubah namanya sebagai walaka dengan nama baru sebagaimana diberikan oleh Nabenya.
B. Amari Sesana :
Yang bersangkutan harus maninggalkan tugas kewajibannya semula dan menggantikannya dengan sasana kawikon. Dalam hal ini seorang Sulinggih dibebaskan dari tugas kewajiban selaku warga masyarakat biasa.
C. Amari Wesa :
Yang bersangkutan harus mengganti identitas dirinya dengan identitas Pendeta, misalnya tidak boleh lagi bercukur. Juga harus mengikuti disiplin penggunaan pakaian waktu upacara dan penggunaan pakain sehari-hari.
D. Umulahaken Kaguru Susrusan :
Yang bersangkutan harus melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta brdisiplin mengenai ajaran Nabenya.
Sulinggih berwenang menyelesaikan segala macam upacara Panca Yajna. Kewenangan ini tidak terbatas hanya pada upacara rutin saja, tetapi juga untuk upacara yang bersifat pengesahan seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain-lain.
Untuk dapat melaksanakan tugas kewajibannya dengan penuh, maka seorang Sulinggih harus pula menjalani berbagai upacara peningkatan seperti Ngelinggihang Weda. Untuk dapat muput karya yang besar seperti upacara yang menggunakan Sanggar Tawang Rong Tiga, seorang Sulinggih harus memiliki kemampuan dalam penguasaan Weda yang disebut sebagai Apasang Lingga. Apasang Lingga maksudnya penguasaan tingkat tertentu atas Kitab Suci Weda. Setelah manguasai tingkatan Weda tertentu, maka tugas pokok Sulinggih adalah Ngeloka Palasraya yaitu melaksanakan tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan dan lain-lain. Dalam hal ini Sulinggih juga wajib setiap hari secara terus-menerus meningkatkan kesucian dirinya, disamping mendoakan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di dunia. Tugas kewajiban ini dinamakan Nyurya Sewana dan harus dilaksanakan setiap hari.
Perlu ditambahkan pula bahwa secara teoritis ada pula Sulinggih yang tidak melaksanakan tugas baik muput karya maupun ngeloka palasraya. Sulinggih ini hanya berorientasi kepada “ngetut yasa” dan menjaga kesucian dirinya saja. Sulinggih ini dinamakan Wiku Ngaraga, maksudnya adalah bahwa pengetahuan kependetaannya hanya dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Rokhaniawan Tingkat Ekajati

Sebagaimana kata Dwijati, kata Ekajati juga berasal dari bahasa sanskerta eka dan jati. Eka berarti satu dan jati seperti sudah dijelaskan diatas, berasal dari akar kata ja yang berarti lahir. Jadi Ekajati berarti lahir sekali, yakni lahir hanya dari ibu kandungnya sendiri. Rokhaniawan yang tergolong dalam kelompok Ekajati antara lain adalah adalah Pemangku atau Pinandita. Parisada Hindu Dharma dalam Maha Sabha II tahun 1968 menetapkan bahwa Pemangku atau Pinandita adalah “pembantu yang mewakili Pendeta” ini merupakan istilah resmi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Pemangku perlu belajar atau berguru, namun tingkat pengetahuan yang dipelajarinya tidaklah setinggi Sulinggih. Kitab Suci Weda yang perlu dipelajari sangat terbatas, yakni hanya yang berhubungan dengan pengastawa saja. Sedangkan upacaara penyuciannya menjadi Pemangku cukup hanya dengan upacara pawintenan.
Upacara Pewintenan Pemangku dapat dilakuakan berulang kali, jadi berbeda dengan upacara padiksaan yang hanya boleh dilakukan sekali saja. Dengan mengikuti upacara pewintenan, seorang Pemangku tidak berubah statusnya sebagaimana halnya dengan Sulinggih. Seorang Pemangku masih boleh bercukur, boleh berpakaian sebagaimana layaknya anggota masyarakat biasa, masih mempunyai tugas dan kewajiban dalam hubungan kemasyarakatan sebagai seorang walaka. Namanya juga tetap dan tidak diganti. Hanya nama panggilannya saja sering ditambah dengan Mangku atau Jero Mangku atau Jero Gede atau sebutan lain sesuai dengan desa kala patra dan tingkat kepemangkuannya.
Seorang Pemangku tidak dibenarkan mempergunakan alat pemujaan seperti halnya seorang Sulinggih. Juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra atau petanganan dalam mepuja. Seorang Pemangku memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, Gegelaran Pemangku, Agem-Ageman Pemangku, dan lain-lain. Sedangkan Pemangku Dalang sasananya tertuang dalam Dharmaning Pedalangan, Panyudamalan, dan Nyapu Leger.

2. PERANAN PEMANGKU DALAM MASYARAKAT

Pemangku mempunyai peranan yang sangat penting dalam masyarakat beraagama Hindu. Dikatakan penting karena setiap upacara atau yajna, sepanjang tidak mempergunakan Sulinggih, maka Pemangkulah yang diminta bantuannya untuk nganteb upakara (banten). Memang tidak semua upacara harus diselesaikan oleh Pendeta dan atau Pemangku, sebab ada pula upacara-upacara kecil yang tidak mempergunakan jasa Sulinggih maupun Pinandita. Pada umumnya masyarakat sudah memahami tradisi dan kebiasaan, mana upacara yang harus dipuput oleh Pendeta, mana yang harus dihaturkan oleh Pemangku dan mana yang dapat dipersembahkan sendiri. Dalam hal dipergunakannya bantuan Pemangku, maka Pemangku tersebut berfungsi sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan/Leluhur. Karena itu tugas Pemangku sering disebutkan sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelayan itulah Pemangku menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat.
Mengingat peranan penting tersebut, maka seorang Pemangku diharapkan dapat menjadi panutan, dapat memberi contoh yang baik, bahkan jika mungkin harus dapat menuntun dan membina warga masyarakat untuk bisa lebih mendekatkan dirinya dengan dan selalu ingat kepada keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itulah sebabnya, maka untuk bisa menjadi Pemangku tidaklah mudah, karena harus dipenuhi berbagai persyaratan.

3. PENGERTIAN PEMANGKU

Menurut keputusan Mahasaba Parisada Hindu Dharma ke 2 tanggal 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Pemangku adalah mereka yang telah melaksanakan upacara yadnya pawintenan sampai dengan adiksa widhi tanpa ditapak dan amari aran.
Kata Pemangku berasal dari kata “Pangku” yang disamakan artinya dengan “Nampa”, “Menyangga” atau “ Memikul Beban” atau Memikul tanggung jawab”. Dalam hal ini memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara antara orang yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan atau Ida Bhatara Kawitan. Dengan kata lain, orang yang menerima tugas pekerjaan untuk memikul beban atau tanggung jawab sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sekaligus sebagai pelayan masyarakat itu dinamakan Pemangku.
Berdasarkan fungsinya, Pemangku dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu:
  1. Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura, seperti Pemangku Sad Kahyangan, Pura dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Paibon, Pura Panti, Pura dadia, Pura Kawitan, Pura Pedharmaan, Merajan/sanggah dan lain-lain.
  2. Pemangku Dalang, Pemangku tukang dan lain-lain yang sejenis.
Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura adalah Pemangku yang bertanggung jawab atas pelaksanaan yadnya di Pura, sedangkan Pemangku Dalang, Pemangku Tukang dan lain-lain (yang tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini) adalah orang memikul beban atas tugas pekerjaan tertentu seperti pedalangan, tukang dan lain-lain.
Dengan tanggung jawab untuk melaksanakan yadnya di Pura, jelaslah bahwa seorang Pemangku Tapakan Widhi atau Pemangku Pura mempunyai tugas yang cukup berat. Pemangku harus bertanggung jawab juga atas kesucian Pura dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan Pura yang diemongnya. Pemangku harus selalu menjaga kesucian dirinya, harus selalu “mepeningan “ atau “asuci laksana” dengan selalu menjaga kebersihan dan kesucian jasmani maupun rokhaninya. Disamping itu Pemangku juga harus menjaga “Kelingsirannya” meskipun usianya masih muda dalam arti harus dapat memberi contoh yang baik, harus dapat menjadi manusia panutan dan selalu berfikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik (mengamalkan ajaran Tri Kaya Parisudha).

4. MENGAPA HARUS ADA PEMANGKU

Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat yang bergama Hindu bahwa untuk melaksanakan yadnya tertentu yang cukup besar, umat Hindu biasanya akan meminta bantuan Pendeta dan atau Pemangku.
Pendeta dan atau Pemangku dalam hal ini akan bertindak sebagai perantara antara yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan Ida Bhatara Kawitan. Dalam hal ini Pendeta dan atau Pemangku akan bertindak sebagai Pemimpin Upacara. Untuk Pendeta dikatakan sebagai pemuput karya (menyelesaikan upacara), sedangkan untuk Pemangku dipergunakan istilah Nganteb Upakara (Banten), bukan muput karya.
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa ditimbulkan perantara untuk melaksanakan yajna. Apakah tidak boleh dilaksanakan sendiri tanpa perantara Pendeta dan atau Pemangku? Di atas telah dijelaskan bahwa penggunaan Pendeta dan atau Pemangku itu sudah menjadi tradisi. Tradisi ini mungkin timbul karena masyarakat Hindu sejak zaman dahulu sudah terbagi dalam kelompok-kelompok profesi. Kelompok Brahmana mempunyai profesi di bidang keagamaan dan karena itu dipandan sebagai kelompok yang paling memahami ajaran-ajaran agama termasuk tata cara upacaranya. Karena itu adalah wajar manakala Pendeta dinyatakan sebagai perantara antara umat yang punya kerja dengan Ida Sang Hyang Widhi dan atau Ida Bhatara Kawitan. Sementara itu, jika hanya dimintakan bantuan Pemangku, maka disini Pemangku akan berfungsi sebagai “wakil Pendeta” sudah tentu sebatas kewenangan yang dimilikinya. Sebagaimana sudah disinggung di atas istilah yang dipergunakan untuk Pemangku dalam kegiatan ini bukanlah “muput karya”, tetapi hanyalah nganteb banten saja.
Sudah menjadi kebiasaan pula bahwa untuk kegiatan upacara harian dan yajna yang kecil-kecil, umat Hindu biasanya melaksanakannya sendiri tanpa bantuan Pendeta ataupun Pemangku.

5. KAPAN PEMANGKU DIPERLUKAN

Pemangku diperlukan bantuannya pada waktu warga masyarakat melaksanakan upacara Panca Yajna (kecuali Rsi Yajna), khususnya jika tidak diminta bantuan Pendeta. Pada saat upacara Dewa Yajna, ketika warga melaksanakan piodalan, bantuan Pemangku sangat diperlukan, baik pada waktu ada Pendeta dan terutama apabila tidak dimintta bantuan Pendeta. Mengenai dipergunakannya Pendeta atau Pemangku, rupanya juga sudah merupakan tradisi bagi Pura-Pura trtentu. Pura-Pura yang cukup besar, biasanya mempergunakan Pendeta untuk muput karya. Sedangkan untuk Pura-Pura yang kecil, dipergunakan Pemangku sebagai penganteb banten. Bahkan ada pula Pemangku yang sama sekali tidak mempergunakan Pendeta maupun Pemangku. Ini nampaknya juga bidangmengikuti tradisi leluhur mereka sejak dahulu kala.
Dalam upacara Manusia Yajna, seperti upacara nelu bulanin, ngotonin dan lain-lain, demikian pula upacara Pitra Yajna, seperti ngaben, kemudian upacara Bhuta Yajna seperti melaksanakan pecaruan, bantuan Pemangku juga diperlukan. Untuk muput karya Manusia Yajna, Pitra Yajna, dan Bhuta Yajna termasuk di atas, sering pula diminta bantuan Pendeta, tergantung besar kecilnya tingkat upacara yang dilaksanakan.
Secara formal, memang tidak ada ketentuan yang baku, bahwa untuk upacara ini harus memakai Pendeta dan untuk upacara itu harus meminta bantuan Pemangku saja. Semuanya tentu tergantung dan terserah kepada hati nurani dan keyakinan mereka masing-masing. Biasanya kalau ingin lebih mantap, tentu warga akan minta bantuan Pendeta untuk muput karya.

6. SIAPA YANG BOLEH MENJADI PEMANGKU

Pemangku sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi hendaknya dipilih dari umat yang memiliki budhi luhur, moral dan mental yang tinggi. Seorang calon Pemangku hendaknya memiliki jiwa pengabdian yang tulus dan ikhlas serta selalu siap untuk ngayah tanpa memikirkan imbalan apapun. Jabatan Pemangku seyogyanya tidak dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan pribadinya yang sesungguhnya kurang baik, sehingga dapat menjadi orang terpandang di masyarakat. Kalau ternyata ada yang bertindak seperti itu, maka yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai penipu masyarakat. Karmaphala buruk yang harus ditanggung dikemudian hari tentu akan menjadi lebih besar lagi. Demikianlah, maka untuk menetapkan seseorang untuk menjadi Pemangku tidaklah sembarangan. Yang boleh dipilih menjadi Pemangku adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat. Disamping harus sehat secara rokhaniah, mereka juga harus sehat jasmaniah, tidak cedangga (cacat) bisu tuli atau sakit-sakitan. Sehat secara fisik ini sangata diperlukan, karena seorang Pemangku seringkali harus bekerja di tempat-tempat yang jauh dari tempat tinggalnya dan atau harus bekerja sampai larut malam.
Disamping itu, menurut Drs. I Ketut Wiana (Bali Post, 29 Oktober 2003) mereka yang akan dipilih atau ditunjuk menjadi Pemangku semestinya tidak mempunyai kebiasaan atau perilaku buruk seperti di bawah ini :
  1. Suka mabuk karena kekayaannya (dhana)
  2. Suka mabuk karena kepandaiannya (guna)
  3. Suka mabuk karena keindahan rupanya (surupa)
  4. Suka mabuk karena kebangsawanannya (kula-kulina)
  5. Suka mabuk karena kemudaan-usianya (yowana)
  6. Suka mabuk karena keberaniannya (kasuran)
  7. Suka mabuk karena minuman keras seperti tuak, arak, bir, narkoba, dan lain-lain (sura)
Mereka yang mabuk dan arogan karena hal-hal termasuk di atas tidak selayaknya ditunjuk sebagai Pemangku. Artinya kalau ketujuh kemabukan di atas dapat dihindarkan, barulah orang itu dapat disebut sebagai orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang yang telah mencapai keadaan rokhani yang bebas dari kemabukan itu dinamakan orang yang mahardhika artinya orang yang bebas dari kemabukan, orang yang bijaksana, suci dan berbudhi luhur, tegasnya sudah dapat melaksanakan pengendalian diri dengan baik. Dengan kata lain, jika seseorang belum dapat mengendalikan diri dengan baik, semestinya tidak ditunjuk menjadi Pemangku. Bahkan orang itu harus tahu diri untuk tidak mencalonkan diri menjadi Pemangku.

7. CARA-CARA MEMILIH PEMANGKU

Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk memilih Pemangku, antara lain :
  1. Pertama adalah dengan cara nyanjan, yaitu dengan mempergunakan seseorang yang sedang kerawuhan. Namun menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi (SARAD No.10/2000) cara ini sebaiknya tidak dipergunakan lagi. Hal ini karena sulit membuktikan bahwa orang itu benar-benar kerawuhan Ida Bhatara. Sebaiknya digunakan saja cara lain yang lebih rasional dan sudah disahkan oleh PHDI, yaitu melalui pemilihan secara demokratis dengan cara penunjukan atas dasar kesepakatan bersama atau dapat juga dengan mempergunakan kewange seperti di bawah ini.
  2. Kedua dengan cara mempergunakan kewangen. Dalam hal ini, Krama Dadia terlebih dahulu agar menetapkan beberapa orang calon Pemangku yang dianggap memenuhi persyaratan. Misalnya para calon Pemangku berusia cukup dewasa, berbadan dan berjiwa sehat, tingkah lakunya terpuji, mempunyai rasa pengadian yang tinggi dan lain-lain. Kepada para calon Pemangku ini dibagikan masing-masing satu kewangen. Tetapi di salah satu kewangen itu diisi rerajahan Ongkara yang diletakkan tersembunyi, sehingga tidak terlihat perbedaannya dengan kewangen yang lain. Kemudian kewange itu digunakan untuk memuja Ida Bhatara di Pura tersebut seraya mohon panugrahan. Setelah itu, satu persatu kewangen diserahkan kepada Pengurus Pura untuk dibuka dihadapan saksi dan Krama Dadia. Siapa yang kewangennya berisi rerajahan Ongkara, maka dialah yang dianggap terpilih sebagai Pemangku.
  3. Ketiga adalah pemilihan Pemangku berdasarkan keturunan. Keturunan seorang Pemangku apalagi kalau sudah secara turun temurun menjadi Pemangku, dipandang sebagai orang yang sudah mempunyai jiwa kepemangkuan, jiwa pengabdian, jiwa pelayanan yang tinggi. Tentu orang yang dipilih itu hendaknya juga memenuhi persyaratan di atas. Meskipun yang bersangkutan adalah anak seorang Pemangku, tetapi kalau jiwanya tidak stabil, suka menipu, sering berbohong, sering mabuk-mabukan, suka berjudi, suka main perempuan dan lain-lain perbuatan atau perilaku buruk lainnya tentunya tidak patut dipilih menjadi Pemangku.
  4. Keempat adalah pemilihan Pemangku secara demokratis berdasarkan penunjukan atas dasar suara terbanyak anggota Krama Dadia seperti telah disinggung dalam butir di atas. Cara ini pun harus pula memenuhi berbagai persyaratan di atas. Terlebih dahulu tentu harus ditetapkan beberapa calon yang telah memenuhi persyaratan. Misalnya jika ada tiga orang calon yang sudah memenuhi syarat, maka ketiga orang itu harus dipilih secara demokratis dalam suatu paruman Krama Dadia. Calon yang memeperoleh suara terbanyak harus ditetapkan menjadi Pemangku.
Demikianlah 4 cara yang dapat dipergunakan untuk memilih Pemangku. Boleh jadi masih ada cara lain, yang tidak disinggung disisni. Namun cara manapun yang dipergunakan, menunjuk atau mengangkat seorang Pemangku tentu ada kelebihan dan kekurangannya yang dalam tulisan ini tidak akan dibahas lebih jauh. Yang penting adalah bahwa seseorang yang terpilih sebagai Pemangku hendaknya tidak menepuk dada, menjadi besar kapala dan sombong karena merasa senang dalam pemilihan. Sebaliknya orang yang terpilih itu hendaknya semakin merendahkan diri dan tidak bersikap berlebihan atau over acting. Seseorang yang terpilih sebagai Pemangku harus melakoni hidup ini sewajarnya saja dan selalu berpegang kepada ajaran-ajaran Agama Hindu. Seorang Pemangku yang masih remaja tidak ada hambatan bila ingin menikah, namun setelah upacara pewiwahan dia bersama-sama isteri atau suaminya harus mewinten ulang dengan tingkat ayaban yang sama dengan yang dahulu atau dengan tingakat ayaban yang lebih tinggi.
Disamping itu, orang yang terpilih menjadi Pemangku seharusnya bersyukur karena telah terpilih menjadi pelayan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga terbuka kesempatan luas baginya untuk dikemudian hari – jika memenuhi persyaratan – akan menjadi orang suci. Untuk benar-benar bisa menjadi orang suci tentu yang bersangkutan harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama, kerokhanian dan spiritual yang harus dapat diamalkan bagi kepentingan masyarakat.

8. PAWINTENAN PEMANGKU

Pawintenan atau Mawinten berasal dari kata “mawi” dan “inten”. Mawi adalah kata bahasa Kawi yang berarti bersinar, sedang inten berarti intan atau permata. Dengan demikian, maka orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang berkilauan karena lahir batinnya sudah disucikan. Mengapa perlu disucikan? Sebagai pelayan Ida Sang Hyang Widhi sekaligus pelayan masyarkat, seorang Pemangku harus bertanggung jawab atas kesucian Pura yang diemongnya. Karena itu sebelum diresmikan sebagai Pemangku, seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi Pemangku terlebih dahulu harus disucikan dengan cara menjalani upacara penyucian diri yang dinamakan Upacara Pawintenan.
Seperti halnya dalam upacara lainnya, maka menurut I Made Wenten (Tetandingan Banten Manusia Yajna) Upacara Pawintenan Pemangku mempunyai tiga tingkatan, yaitu :
  1. Pawintenan Sari
  2. Pawintenan Mepedamel
  3. Pawintenan Samkara Ekajati
a. Pawintenan Sari
Pawintenan Sari merupakan upacara Pawintenan yang paling sederhana. Upacara ini dilaksanakan hanya dengan memohon Wangsuhpada kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa di Pura dimana yang bersangkutan akan mejadi Pemangku. Pawintenan Sari harus disaksikan oleh Krama Dadia Pura yang bersangkutan. Pemangku yang diwinten dengan cara ini biasanya diberi nama panggilan atau julukan sebagai Bapa Mangku, Ketut Mangku, dan sebagainya.
Sasanan (kode etik) yang harus dijalankan oleh mereka yang telah Mawinten Sari adalah sebagai berikut :
  • Selalu berbuat dharma, sabar, jujur, berbudhi luhur, dan santun
  • Selalu teguh melaksanakan sastra agama, memahami trikona : Upatti – Sthiti – Pralinaning Sarwa Dewa
  • Bersikap kasih sayAng terhadap semua makhluk, tidak suka mabuk-mabukan, tidak suka berjudi, tidak suka berkelahi, tidak suka bertengkar, dan tidak bergaul dengan orang yang sering berbuat tidak baik
  • Tidak suka memperkosa orang lain
Perlu dijelaskan bahwa Pawintenan Sari dengan cara yang amat sederhana ini dalam praktek nampaknya tidak ditemukan lagi, karena semua Pawintenan Pemangku skarang ini dilaksanakan oleh Pendet, kecuali barangkali di daerah tertentu dimana tidak terdapat Sulinggih.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

BERSAMBUNG ----------> KEPEMANGKUAN #2


Sumber:
Juru Sapuh

Comments