Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Sanggah Tawang dan Sanggah Surya

Ini Makna Sanggah Surya dan Tawang dalam Upacara Hindu di Bali

seperti kita ketahui, umat hindu bali secara tidak langsung memberikan posisi penting pada salah satu dari 33 dewa dalam Rg Weda, yaitu Dewa Surya. Buktinya dengan menempatkan Sanggar Surya pada setiap aktifitas yadnya, minimal ada posisi tinggi yang menggambarkan linggih (kehadiran) dewa surya.


Pelinggih (sanggah) Surya

Pelinggih (sanggah) Surya adalah stana dari Bhatara Surya atau Siwa Raditya yang menjaga kestabilan dan keseimbangan dalam pekarangan rumah.

Biasanya berbentuk seperti padmasana yang berada ditengah natah rumah yang pada umumnya di Bali disebut dengan :
  • Pelinggih pengijeng karang; sebagai penjaga.
  • Suryan natah; yang menyinari.
Pelinggih ini sebagai simbolis yang digunakan untuk menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Bhatara Surya (Dewa Matahari). Sang hyang Surya / Siwa Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khusunya ritual yadnya. Dalam hal ini di sinyalir adanya pengaruh sekte Sora (Surya) dalam pendirian pelinggih Surya.
  • Sistem pemujaan Dewa Matahari disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut Sekte Sora. 
  • Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali. 
    Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. 
    • Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya yaitu: kain berwarna putih. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. 
    • Bebantenan atau upakara yang dipersembahkan di pelinggih Surya yaitu Tegteg Daksina dan runtutannya canang ketipat kelanan.
    Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Siddhanta yang masih kita dapat lihat lainnya yaitu penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra tersebut, seperti dibawah ini.

    Om Adityasya param jyotirakta teja nama'stutesweta pankaja madhyasthabhaskaraya namo'stuteTerjemahan :Ya Tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah teratai putih. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.

    Sanggah Tawang

    Perangkat upacara ini dibuat dari bambu, berbentuk segi empat panjang, memiliki pinggiran yang disebut "ancak saji", tidak memakai atap, bertiang empat buah sebagai kaki, biasanya terbuat dari pohon pinang.

    Sanggah tawang memliki tiga macam ruangan (rong tiga) dan setelah berdiri pada sisi sebelah kanan depan dipasangkan yang disebut "biyu lalung" (pucuk pisang) dan disebelah kiri depan dipasangkan satu tangkai pohon "uduh peji", dan sebuah tempat berisi berem yang dinamakan "kelukuh". Sanggah twang ini diletakkan pada posisi arah timur laut ( arah gunung )dan tingginya 3 - 5 meter. Timur lalut merupakan letak alam para Dewa. Sanggah tawang mempunyai makna sebagai simbul pada pelaksanaan karya di Pura.

    Untuk mengetahui maknanya kita kaji sebagai berukut :
    Sanggah tawang berasal dari kata:
    • Canggah yang dapat diartikan sebagai "sumber".
    • Tawang berasal dari suku kata Ta dan wang. Ta dapat diartikan "ada" dan awang agar memiliki arti, diberi sifat majemuk menjadilah awang-awang yang berarti "sepi atau sunia". Sunia diinterpretasikan sebagai Sang Hyang Widhi.
    Dengan demikin Sanggah tawang mempunyai makna sebagai simbul stananya Sang Hyang Widhi beserta manisfestasi-Nya, yang menjadi sumber permohonan umat Hindu dalam suatu upacara agama.
    Didalam pustaka Bhuwana kosa 1.2.10 disebutkan :

    Sunyasca Nirbanadhika,Siwangga Twe Rniksyate,Kutah Tad Wakyama Tulam,Srutwa Dewo Watista.Artinya :Ada alam sunia yg dianggap alam moksah sangat sakti, itulah disebut Sang Hyang Siwa.

    Niskalancana Noropeksam,Kewalyam Paramamsiwam,Agarbha Janma Maranam,Lalate Pari Sanyaset,Artinya :Yang paling atas ada yang bernama Parama Kewalya, dengan sebutan Parama Siwa bersama Bhatara Sadha Siwa dan hal ini tidak dapat dijangkau oleh manusia

    Dari seloka diatas dapat lebih dimaknai tentang Sanggah Tawang memakai tiga ruangan, masing-masing ruangan sebagai simbul stananya Sanghyang Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa dengan sebutan "Sang Hyang Tri Purusa"

    Pada Sanggah Tawang dilengkapi dengan perangkat lainnya seperi :
    1. JANTUNG PISANG KAYU atau BIU LALUNG, sebagai simbul kekuatan Purusa (centana) dari Sang Hyang Widhi.
    2. BUAH PINANG, sebagai simbul permohonan umat kepada Ida Sang Hyang Widhi, supaya apa yang dipersembahkan berpahala sesuai dengan persembahannya.
    3. BUAH UDUH PEJI ( sejenis enau kurus ), merupakan simbul manefestasi Sang Hyang Widhi sebagai Bathara dan Bathari, Dewa dan Dewi yang ikut menyaksikan persembahan umat, dan memberi anugrah sesuai karmanya.
    4. KELUKUH BERISI BEREM, Kelukuh terbuat dari pelepah pinang yang dibentuk seperti kantong dan berisi berem. Kelukuh merupakan simbul kekuatan Prakerti (acetana) dari Sang Hyang Widhi. Berkekuatan prakerti beratti Beliau memberikan kekuatan pada setiap material yang dipersembahkan sebagai sarana memberikan anugrah kepada Umat Hindu.

    Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

    Sumber:
    Juru Sapuh


    Comments