Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Jangan Menghakimi Tapi Tetaplah Memilah!

Jangan Menghakimi Tapi Tetaplah Memilah!

Dikisahkan tentang fakir sufi bernama Junnaid pindah ke desa yang baru. Tetangga sebelahnya, seorang pria jahat, jail, ugal-ugalan dan pembuat onar. Selama 4 hari dia menyaksikan tingkah tetangganya yang kurang ajar tersebut. Kesabaran Junnaid rupanya ada batasnya.

Pada suatu senja saat berdoa dan bersujud, Junnaid memohon pada Tuhan, “Ya Tuhan, hentikan hidup pria ini. Dia adalah tetanggaku, tapi dia merupakan gangguan bagi semua orang. Tidak ada kebaikan dia satu pun, bagi para tetangganya.”
Malamnya Junnaid bermimpi mendengar jawaban Tuhan, “Junnaid, kamu di sini 4 hari. Aku sudah bersama pria ini selama 60 tahun. Dia telah menjadi tetangga-Ku selama 60 tahun, karena semua orang adalah tetangga-Ku. Aku telah bertoleransi kepadanya selama 60 tahun, dan kau tidak bisa menolerir tindakannya selama 4 hari saja? Ketika Aku membiarkannya selama 60 tahun, pasti ada rahasia. Kau seharusnya berpikir, paling tidak sebelum berdoa, bahwa dia telah Aku pahami, keluhan apa lagi yang dapat kau sampaikan?”
Sejak hari itu Junnaid tidak pernah berdoa untuk pria tersebut. Biarlah dia seperti keinginan Tuhan saja. Kalau Tuhan itu baik-baik saja terhadapnya, siapakah saya?
Demikian kisah Osho………

Yang Menghakimi itu Pikiran, Jiwa Tidak Menghakimi


Jiwa tidak pernah menghakimi. Hakim-menghakimi adalah urusan pikiran. Pikiran tidak mengenal Jiwa, karena Kebenaran Jiwa melampaui keterbatasan pikiran. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2007). Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Pandangan Gita tentang Kesadaran Diri

Bapak Anand Krishna pernah menyampaikan: “Penjelasan Gita tentang kesadaran diri sungguh sangat sederhana tapi tegas, ‘ia yang melihat dirinya dalam diri setiap makhluk’. Gita juga menjelaskan efek dari kesadaran itu, ‘ia terbebaskan dari dualitas’. Dalam bahas sufi ia mencapai keadaan tauhid, advaita.”
“Efek kedua adalah kita tidak lagi menghakimi orang lain. Karena orang lain itu sebetulnya menderita ‘penyakit ketidaksadaran’, dan mesti disembuhkan, bukan dihakimi. Berarti kita tidak bisa tidak memilah  sebelum mencapai tauhid, tidak bisa tauhid sebelum sadar dan melihat ‘diri’ dalam diri setiap makhluk.”
“Selama kita belum melihat diri dalam diri setiap makhluk, atau belum ‘sadar’ – mau-tak-mau kita mesti memilah (tanpa menghakimi) antara apa yang baik bagiku sebagai ‘manusia  warga-duniawi’, dan apa yang tidak baik. Kita kerjakan apa yang baik sebagai ‘manusia warga dunia’, dan menghindari apa yang tidak baik.”
“Jadi kriterianya bukanlah ‘apa yang baik bagi diriku’. Tapi, apa yang baik bagi ‘diriku sebagai manusia warga dunia’.”
“Setelah ‘sadar’, apapun yang kita lakukan sudah pasti baik bagi semesta. Ini yang dijelaskan dalam Zen, ‘sebelum sadar minum teh, setelah sadar pun minum the’. Sekilas memang sama, tapi tidak sama. Bagi yang tidak sadar minum teh hanya untuk melepaskan dahaga. Bagi yang sadar minum teh adalah sesuatu yang ‘lain’. Hendaknya kita tidak cepat-cepat menyimpulkan bahwa kita sudah lain, jika kita belum bisa melihat diri kita dalam setiap diri. Berarti, sirna sudah kesombongan dan keangkuhan, dan kita berhamba pada semesta. Karena hanyalah orang yang sadar dan berdaulat  yang bisa berhamba. Saat ini kita masih diperbudak oleh pancaindera, pikiran, perasaan, dan dunia.”

Jiwa adalah Saksi, Penonton

JIWA ADALAH PENONTON – Mereka yang sedang beraksi di atas panggung adalah badan, gugusan pikiran serta perasaan, indra, inteligensia.
Dirinya sedang menonton! Maka adegan apa saja dapat menghibur dirinya. Terjadinya kematian di atas panggung, mengikuti skenario Sang Sutradara atau Penulis Naskah, tidak mencelakakan dirinya.
Terjadinya banjir, badai, topan — tidak mengganggu kenikmatan yang diperolehnya sebagai penonton. Jiwa yang demikian itu — Jiwa yang menyadari perannya, sifat aslinya sebagai Jiwa —terbebaskan dari segala duka. Bahkan dari segala dualitas suka dan duka. Ia meraih kebahagiaan tertinggi!
Ia seperti seseorang yang sedang bermain game. Gambar-gambar yang muncul di monitor atau layar teve adalah proyeksi dari console yang pengendalinya ada di tangan dia sendiri. Penjelasan Bhagavad Gita 6:20 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia lewat #BhagavadGitaIndonesia

Tidak Menghakimi tapi Tetap Memilah

VIVEKA—kemampuan untuk memilah, untuk rnenentukan mana yang mulia dan baik bagi diri kita, bagi evolusi kita, bagi Jiwa—dan mana yang sekadar menyenangkan dan terasa nikmat bagi tubuh dan indra.
Viveka membuat kita sadar akan kebutuhan Jiwa, yaitu Kebahagiaan Sejati yang bersumber pada Kesadaran Jiwa itu sendiri. Patanjali tidak menolak kenyamanan tubuh, kenikmatan indra dalam takaran moderat, tidak berlebihan, tidak kekurangan. Silakan mengurusi badan dan indra, tetapi dalam kerangka besar kebutuhan Jiwa; dalam rangka mewujudkan misi Jiwa.
Kenyamanan tubuh dan kenikmatan indra tidak boleh berdiri sendiri. Semua itu mesti demi terwujudnya Kesadaran Jiwa dan tercapainya Kebahagiaan Sejati.
SEGALA PERSOALAN YANG KITA HADAPI SAAT INI disebabkan oleh perpisahan badan dan indra dari Jiwa. Sedemikian sibuknya kita melayani badan dan indra sehingga Jiwa terlupakan. Inilah tragedi masa kini. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2015). Yoga Sutra Patanjali Bagi Orang Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...


Sumber:Juru Sapuh

Comments