Mengapa Karunia Kekayaan dari Lakshmi Tertunda
Tidak ada gunanya doa kita dikabulkan kalau tidak dikabulkan pada waktu yang tepat:
Di zaman India kuno banyak tenaga dicurahkan untuk upacara Veda yang dikatakan begitu ilmiah dalam pelaksanaannya, hingga kalau para orang suci berdoa mohon hujan, tidak pernah ada
kekeringan.
Demikianlah seseorang melakukan sadhana dan berdoa kepada Dewi Kesejahteraan, Lakshmi, mohon supaya jadi kaya. Ia berdoa tanpa hasil sepanjang lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Sesudahnya setelah waktu berlalu, ia tiba-tiba melihat sifat ilusi, maya pada kekayaan itu dan memilih hidup sebagai petapa di pegunungan Himalaya.
Ia duduk bermeditasi dan pada suatu hari, ketika ia membuka matanya ia melihat di depannya seorang wanita cantik, gemilang dan gemerlapan seakan-akan ia terbuat dari emas.
“Siapa engkau dan kenapa engkau ke sini?” tanya orang tersebut.
“Aku Dewi Lakshmi, yang kau hormati dengan melakukan sadhana dan menyanyikan kidung selama duabelas tahun,” kata Sang Wanita, “Aku menampakkan diri untuk mengabulkan keinginanmu.”
“Ah, sang dewi tercinta,” seru orang itu. “Aku sekarang sudah mendapat anugrah bermeditasi dan kehilangan keinginanku akan kekayaan. Engkau datang terlambat. Katakan, mengapa engkau datang begitu lambat?”
“Aku berkata kepadamu sebenarnya”, jawab “Sang Dewi, “Jika melihat sadhana dan doa yang kaulakukan begitu setia, engkau sepenuhnya pantas menjadi kaya. Tetapi, karena cintaku kepadamu dan keinginanku akan kesejahteraanmu, maka kutahan dulu. Kekayaan akan memberikan kesejahteraan duniawi yang mengalami pasang dan surut. Sedangkan Kesejahteraan Jiwa tidak akan mengalami pasang surut lagi.
Lakshmi ingin memberikan Kesejahteraan Jiwa kepada orang itu dan bukan Kekayaan yang merupakan Kesejahteraan Duniawi. Dikutip dari buku (DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ, Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)
………………..
“Memuliakan-Nya” berarti senantiasa memuliakan Kesadaran Jiwa, Jiwa Agung; serta menempatkan-Nya di atas kebutuhan-kebutuhan raga, indra dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu dipenuhi. Kebutuhan indra, badan – semuanya mesti diladeni dengan moderasi. Tidak berlebihan, tidak kekurangan – berkecukupan. Namun jangan lupa, terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, Jiwa tidak ikut bahagia. Kebahagiaan Jiwa datang dari kesadaran akan hakikat dirinya.
JIKA KITA MEMILIKI TABUNGAN, atau, jika penghasilan kita memadai, maka ketika kendaraan kita rusak, kita akan menukarnya dengan kendaraan baru. Tukar-tambah, atau bahkan kendaraan yang sudah lama dan rusak itu dibiarkan di garasi untuk menjadi rongsokan. Tidak menjadi soal.
Tetapi jika penghasilan kita tidak cukup, tabungan kita tidak cukup—maka rusaknya kendaraan bisa membuat senewen. Kita stres berat. Tabungan dan penghasilan yang dimaksud di sini adalah “Kesadaran Jiwa.”
Tanpa Kesadaran Jiwa – badan yang satu ini; indra yang berjumlah lima ditambah indra-indra persepsi yang berjumlah lima pula; gugusan pikiran dan perasaan, keberhasilan akademis dan profesional – semuanya menjadi “segala-gala”nya. Jika ada yang hilang, maka kita kehilangan segala-galanya.
Kesadaran Jiwa membuat kita tidak merasa kehilangan sesuatu apa pun, walau kita menyaksikan tubuh menjadi debu, menjadi abu! Saat itu pun kita masih bisa menyanyi girang dan bersuka cita, “Aku abadi, aku abadi. Sivoham, So ham!” Saat itu, kita baru menyanyikan Bhajan, baru mengagungkan kemuliaan-Nya dalam pengertian yang sesungguhnya.
……………..
“Demikian mereka senantiasa memuliakan Aku; berupaya untuk menyadari kehadiran-Ku di mana-mana; dan selalu berlindung pada-Ku dengan keyakinan yang teguh. Sesungguhnya, mereka telah bersatu dengan-Ku dalam meditasi, puja-bakti, dan panembahan mereka, yang sepenuhnya terpusatkan pada-Ku.” Bhagavad Gita 9:14. Dikutip Penjelasan Bhagavad Gita 9:14 dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Kita mesti selalu mengingat bahwa setiap kali menyebut Yoga, maksud Krsna adalah Karma Yoga, Yoga Perbuatan yang Dinamis, yakni Berkarya tanpa Pamrih. Ketika Ia menyebut Yoga- Yoga jenis lain seperti Samkhya dan sebagainya, maka Ia secara spesifik menyebut-Nya.
KEBAHAGIAAN SEJATI ADALAH hasil dari Kesadaran Jiwa; bahwasanya segala sensasi-sensasi badaniah yang kita peroleh bukanlah kebahagiaan sejati. Pengalaman-pengalaman sensasional, indrawi, tidak pernah bertahan lama. Setelah berlalu, kita merasa hampa kembali.
Pernahkah Anda memperhatikan, setelah berhubungan intim dengan pasangan Anda, kenikmatan yang Anda peroleh memudar, berlalu dengan cepat. Dan, setelah itu Anda, justru merasa lebih hampa lagi. Itulah sebab, setelah berhubungan intim, umumnya Anda langsung merokok atau menuju lemari es untuk mencari makanan. Setelah memperoleh kenikrnatan pun, Anda tetap merasa lapar, haus, kekurangan sesuatu.
Jika hubungan intim pun tidak bisa membahagiakan, maka pengalaman-pengalaman sensasional lain sudah pasti tidak bisa. Sebab, hubungan intim merupakan pengalaman paling sensasional, dalam pengertian, melibatkan semua senses, semua indra — yang amat sangat intens. Jika pengalarnan seintens itu pun berakhir dengan kehampaan, maka janganlah berharap dari pengalaman-pengalaman lain, dari sensasi-sensasi lain.
SUMBER KEBAHAGIAAN SEJATI ADALAH JIWA SENDIRI! Sifat Jiwa adalah Ananda – kebahagiaan sejati. Namun, selama Jiwa “merasa” terpisah dari Jiwa Agung, ia tidak menyadari hal tersebut. Ia tidak mengalaminya.
Hanyalah Yoga, dalam pengertian, Kemanunggalan Jiwa dengan dan dalam Jiwa Agung yang dapat memunculkan pengalaman tersebut— kebahagiaan abadi tersebut.
Perlu diperhatikan bahwa kemanunggalan ini sebetulnya sudah terjadi. Kemanunggalan ini adalah hakikat. Justru perpisahan adalah ilusif. Ketika ilusi perpisahan terlampaui— kemanunggalan “terasa” kembali. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma).
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...
Di zaman India kuno banyak tenaga dicurahkan untuk upacara Veda yang dikatakan begitu ilmiah dalam pelaksanaannya, hingga kalau para orang suci berdoa mohon hujan, tidak pernah ada
kekeringan.
Demikianlah seseorang melakukan sadhana dan berdoa kepada Dewi Kesejahteraan, Lakshmi, mohon supaya jadi kaya. Ia berdoa tanpa hasil sepanjang lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Sesudahnya setelah waktu berlalu, ia tiba-tiba melihat sifat ilusi, maya pada kekayaan itu dan memilih hidup sebagai petapa di pegunungan Himalaya.
“Siapa engkau dan kenapa engkau ke sini?” tanya orang tersebut.
“Aku Dewi Lakshmi, yang kau hormati dengan melakukan sadhana dan menyanyikan kidung selama duabelas tahun,” kata Sang Wanita, “Aku menampakkan diri untuk mengabulkan keinginanmu.”
“Ah, sang dewi tercinta,” seru orang itu. “Aku sekarang sudah mendapat anugrah bermeditasi dan kehilangan keinginanku akan kekayaan. Engkau datang terlambat. Katakan, mengapa engkau datang begitu lambat?”
“Aku berkata kepadamu sebenarnya”, jawab “Sang Dewi, “Jika melihat sadhana dan doa yang kaulakukan begitu setia, engkau sepenuhnya pantas menjadi kaya. Tetapi, karena cintaku kepadamu dan keinginanku akan kesejahteraanmu, maka kutahan dulu. Kekayaan akan memberikan kesejahteraan duniawi yang mengalami pasang dan surut. Sedangkan Kesejahteraan Jiwa tidak akan mengalami pasang surut lagi.
Lakshmi ingin memberikan Kesejahteraan Jiwa kepada orang itu dan bukan Kekayaan yang merupakan Kesejahteraan Duniawi. Dikutip dari buku (DOA SANG KATAK 1, Anthony de Mello SJ, Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1996)
Memuliakan Kesadaran Jiwa di atas Kebutuhan Raga dan Indra
“Apa yang kita inginkan dari dan dalam hidup ini? Jika kita menginginkan Ananda atau Kebahagiaan Sejati – maka tidak ada jalan lain, metode lain kecuali satu – yaitu, berkesadaran Jiwa. Jiwa adalah kekal, karena ia tidak pernah berpisah dari Jiwa Agung. Perpisahan adalah ilusif, khayalan, imaginer, yang kemudian merosotkan kesadaran kita dan mengalihkannya ke badan dan indra.………………..
“Memuliakan-Nya” berarti senantiasa memuliakan Kesadaran Jiwa, Jiwa Agung; serta menempatkan-Nya di atas kebutuhan-kebutuhan raga, indra dan sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu dipenuhi. Kebutuhan indra, badan – semuanya mesti diladeni dengan moderasi. Tidak berlebihan, tidak kekurangan – berkecukupan. Namun jangan lupa, terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, Jiwa tidak ikut bahagia. Kebahagiaan Jiwa datang dari kesadaran akan hakikat dirinya.
JIKA KITA MEMILIKI TABUNGAN, atau, jika penghasilan kita memadai, maka ketika kendaraan kita rusak, kita akan menukarnya dengan kendaraan baru. Tukar-tambah, atau bahkan kendaraan yang sudah lama dan rusak itu dibiarkan di garasi untuk menjadi rongsokan. Tidak menjadi soal.
Tetapi jika penghasilan kita tidak cukup, tabungan kita tidak cukup—maka rusaknya kendaraan bisa membuat senewen. Kita stres berat. Tabungan dan penghasilan yang dimaksud di sini adalah “Kesadaran Jiwa.”
Tanpa Kesadaran Jiwa – badan yang satu ini; indra yang berjumlah lima ditambah indra-indra persepsi yang berjumlah lima pula; gugusan pikiran dan perasaan, keberhasilan akademis dan profesional – semuanya menjadi “segala-gala”nya. Jika ada yang hilang, maka kita kehilangan segala-galanya.
……………..
“Demikian mereka senantiasa memuliakan Aku; berupaya untuk menyadari kehadiran-Ku di mana-mana; dan selalu berlindung pada-Ku dengan keyakinan yang teguh. Sesungguhnya, mereka telah bersatu dengan-Ku dalam meditasi, puja-bakti, dan panembahan mereka, yang sepenuhnya terpusatkan pada-Ku.” Bhagavad Gita 9:14. Dikutip Penjelasan Bhagavad Gita 9:14 dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Kebahagiaan Sejati adalah Hasil dari Kesadaran Jiwa
“Ia yang tidak terikat dengan sensasi-sensasi indrawi karena interaksinya dengan objek-objek di alam benda; ia yang menemukan sumber kenikmatan di dalam dirinya sendiri; ia yang senantiasa berada dalam Kesadaran Brahman, dan manunggal dengan-Nya lewat Yoga (berkarya tanpa pamrih) —meraih Kebahagiaan Sejati nan kekal abadi.” Bhagavad Gita 5:21Kita mesti selalu mengingat bahwa setiap kali menyebut Yoga, maksud Krsna adalah Karma Yoga, Yoga Perbuatan yang Dinamis, yakni Berkarya tanpa Pamrih. Ketika Ia menyebut Yoga- Yoga jenis lain seperti Samkhya dan sebagainya, maka Ia secara spesifik menyebut-Nya.
KEBAHAGIAAN SEJATI ADALAH hasil dari Kesadaran Jiwa; bahwasanya segala sensasi-sensasi badaniah yang kita peroleh bukanlah kebahagiaan sejati. Pengalaman-pengalaman sensasional, indrawi, tidak pernah bertahan lama. Setelah berlalu, kita merasa hampa kembali.
Pernahkah Anda memperhatikan, setelah berhubungan intim dengan pasangan Anda, kenikmatan yang Anda peroleh memudar, berlalu dengan cepat. Dan, setelah itu Anda, justru merasa lebih hampa lagi. Itulah sebab, setelah berhubungan intim, umumnya Anda langsung merokok atau menuju lemari es untuk mencari makanan. Setelah memperoleh kenikrnatan pun, Anda tetap merasa lapar, haus, kekurangan sesuatu.
Jika hubungan intim pun tidak bisa membahagiakan, maka pengalaman-pengalaman sensasional lain sudah pasti tidak bisa. Sebab, hubungan intim merupakan pengalaman paling sensasional, dalam pengertian, melibatkan semua senses, semua indra — yang amat sangat intens. Jika pengalarnan seintens itu pun berakhir dengan kehampaan, maka janganlah berharap dari pengalaman-pengalaman lain, dari sensasi-sensasi lain.
SUMBER KEBAHAGIAAN SEJATI ADALAH JIWA SENDIRI! Sifat Jiwa adalah Ananda – kebahagiaan sejati. Namun, selama Jiwa “merasa” terpisah dari Jiwa Agung, ia tidak menyadari hal tersebut. Ia tidak mengalaminya.
Hanyalah Yoga, dalam pengertian, Kemanunggalan Jiwa dengan dan dalam Jiwa Agung yang dapat memunculkan pengalaman tersebut— kebahagiaan abadi tersebut.
Perlu diperhatikan bahwa kemanunggalan ini sebetulnya sudah terjadi. Kemanunggalan ini adalah hakikat. Justru perpisahan adalah ilusif. Ketika ilusi perpisahan terlampaui— kemanunggalan “terasa” kembali. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma).
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...
Comments
Post a Comment