Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Tujuan Puasa Dalam Hindu

Tujuan Puasa Dalam Hindu

 

Apakah tujuan puasa dalam agama Hindu?? apakah untuk menebus dosa? atau mendapatkan pahala?? jika tujuannya untuk menebus kesalahan atau dosa, begitu mudahnya dosa atau kesalahan dapat di hapuskan hanya dengan berpuasa?

Puasa dalam ajaran Hindu dimaksudkan sebagai sebuah upaya mendisiplinkan diri terhadap makanan. Disiplin ini bisa bermakna mengurangi, membatasi atau menihilkan sama sekali makanan yang masuk ke dalam tubuh. Tujuannya bukanlah untuk mengumpulkan pahala kebaikan atau untuk menghapus dosa, tetapi puasa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Puasa berasal dari kata Upa-Wasa, di mana Upa artinya mendekat dan Wasa artinya Yang Maha Kuasa. Jadi, puasa dalam Hindu merupakan bagian dari tapa yaitu unsur keimanan yang kelima dalam urutan sesuai ketentuan Atharwa Weda XII,1.1. Kata tapa mempunyai arti pengendalian terhadap napsu: napsu makan, minum, sex serta hiburan. Oleh karena itu kita dituntut hidup dalam koridor kesucian. Sedangkan aplikasi daripada tapa berbentuk brata yaitu pengendalian indria.

Dalam berbagai agama maupun tradisi spiritual terdapat ajaran tentang puasa yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu oleh pengikut suatu ajaran. Secara umum tampaknya kegiatan puasa ini ditujukan kepada suatu pencapaian sebuah peningkatan rohani, karena melalui puasa orang belajar untuk memurnikan pikirannya.
Karena setelah pikiran semakin murni, maka anasir-anasir rangsangan panca indra yang setiap hari dominan dalam mengendalikan persepsi bisa ditekan. Akhirnya puasa memberikan kejernihan pikiran untuk menyusun persepsinya, sehingga kualitas ucapan dan tindakan pun semakin baik. Kalau sudah demikian tentu yang dihasilkan adalah karma-karma baik. Tapi mengapa umat Hindu di Bali tak begitu populer dengan kebiasaan puasa?
“Sebenarnya bukannya puasa tak populer di Bali, tetapi pelaksanaannya bersifat pilihan, bukan sebuah keharusan,” ujar Drs. Made Surada, MA, Dekan Fakultas Dharma Duta, IHDN Denpasar beberapa waktu lalu. Menurutnya, mengapa seorang pemeluk Hindu tak diharuskan melakukan puasa, karena dalam Hindu ada dua jalan dalam mempraktikkan agama, yaitu Prawerti Marga dan Niwrti Marga. Prawerti Marga adalah jalan yang dilakukan atau dipilih oleh orang-orang awam atau masyarakat kebanyakan dan biasanya bercorak Bhakti Marga dan Karma Marga. Nah, dalam jalan bhakti khususnya di Bali lebih menonjolkan ritual atau upacara sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Jalan bhakti ini tidak mengutamakan cara memahami hakikat Brahman dengan pemahaman teologi atau tattwa lewat jnana atau mengasah sidhi lewat Raja Yoga, namun Bhakti Yoga dan Karma Yoga menitikberatkan pada aspek pengabdian, penyerahan diri, ketundukan hati, kecintaan, kepasrahan, dan lainnya. Dan perlu diketahui, bahwa dalam pelaksanaannya cara-cara demikian ini bisa dilakukan secara beramai-ramai. Misalnya piodalan di pura, Hari Raya Galungan-Kuningan, Hari Raya Saraswati dan sebagainya yang biasa dilakukan secara massal, bersamaan dan meriah.
Kemudian dalam cara kedua, yaitu Niwrti Marga adalah yaitu pelaksanaan beragama yang lebih bersifat individual, penggalian potensi pribadi, membangkitkan kemampuan jnana (pengetahuan), melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi. Yang diutamakan dalam praktik beragama melalui jalan ini adalah pengalaman subjektif, kepuasan bathin lewat pemahaman intelek, budhi, dan kesadaran spiritual. Karena sifatnya serius dan lebih individualistik, maka mustahil bisa dilakukan ramai-ramai. Made Surada lantas memberi contoh: jika ada dua orang bertapa di pura, maka belum pasti keduanya memperoleh paica (anugerah tertentu), jadi ini sifatnya pribadi sekali antara manusia dengan penciptanya atau Ida Bhatara yang disembahnya.
Ajaran Niwrti Marga ini juga kemudian menelorkan konsep aja wera (jangan diumbar), maksudnya ajaran-ajarannya dirahasiakan, karena memang sangat metodis, teknis, yang membutuhkan ketelitian dan ketepatan. Kalau ajaran ini diumbar kepada umum, maka akan mungkin ada sembarang orang belajar tanpa pembimbing bonafid (nabe-guru). Sistem coba-coba dan otodidak ini kemudian yang kerap memunculkan orang menjadi gila, akibat metoda yang ngawur. Semua akibat ini semata-mata karena faktor alamiah belaka, di mana cara Raja Yoga atau Jnana Yoga banyak berhubungan dengan pikiran dan mentalitas. Dan berbagai sensasi mentallah yang biasanya kerap membuat kebingungan.
Bila sensasi mental pelaku jnana dan Raja Yoga ini muncul akibat proses pembiakan berpikir dan proses pembangkitan energi-energi tertentu yang mestimuli alam mental, maka halusinasi yang dikira penampakan dewa-dewa akan menjadikan seseorang bingung dan tersesatkan. Dengan demikian kehadiran guru adalah mutlak sebagai ‘guide’ spiritual. Jadi istilah aja wera bukan dogmatis untuk memonopoli sebuah ilmu, tetapi memberikan jaminan keamanan bagi mereka yang ingin menempuh jalan ini, yaitu mencari guru.
Niwrti Marga melalui tapa, brata, yoga samadhi bertujuan untuk mencapai Nirbhija Samadhi (samadhi tertinggi) atau kemanunggalan dengan Pencipta. Bagi mereka yang menempuh jalan bhakti maupun Karma Yoga juga tujuannya pada kemanunggalan tersebut, tetapi perbedaannya adalah pada soal teknis. Ini disebabkan, karena agama Hindu memberikan banyak pilihan sesuai kemampuan dan kesenangan umatnya. Hindu bukanlah agama doktrin atau kitabiah, di mana segala sesuatunya harus persis seperti dalam Weda atau lontar-lontar tertentu. Kendati dalam praktik banyak variasi, namun esensinya tetap sama.
Dalam tahap tapa artinya mengendalikan energi. Tapa=tap=panas, yaitu energi tubuh. Untuk mengendalikan energi tubuh ditempuh lewat brata yaitu berpantang hal-hal yang merugikan usaha-uasa pengendalian tersebut. Bila sudah terkendali, maka usaha yoga atau penyatuan bisa lebih ringan. Dan kalau sudah demikian pencapaian samadhi tinggalah soal ketekunan dan karunia.
Kalau demikian adanya, manakah lebih tinggi mutunya, orang menempuh Niwrti Marga yang tekun berpuasa atau Prawrti Marga yang rajin melakukan ritual? Bagi Made Surada, kedua jalan sama saja, tergantung bagaimana individu pelakunya. Tuhan bersifat Sarvam Kaluidham Brahman (Tuhan ada di mana-mana) dan bisa dicapai lewat berbagai jalan.
Meskipun tak pernah puasa, penekun Bhakti Yoga pun senantiasa mengarahkan pikirannya (dhyana) saban hari kepada Tuhan. Cobalah tengok setiap hari orang Bali mererainan, Kajeng-Kliwon, Anggara Kasih, Tumpek, Buda Kliwon, Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, Siwaratri, Piodalan, mesaiban dan lusinan ritual kecil. Cara-cara ini akhirnya menyebabkan pelakunya saban waktu eling ring Ida Bhatara. Setiap hari ingat Tuhan sama nilainya dengan japa (mengulang-ulang nama Tuhan) atau dzikir.
Dengan demikian tradisi-tradisi di Bali perlu dipahami lebih mendalam dalam rangka mengetahui maknanya, bahwa ritual-ritual tersebut sesungguhnya disusun sedemikian rupa berdasarkan tingkatan jnana yang maha tinggi. Persoalannya adalah bukan berdebat soal jalan mana paling tepat dan baik, tetapi bagaimana kualitas pikiran, ucapan dan tindakan setelah menekuni berbagai jalan itu. Tiga komponen itulah parameter seseorang beragama atau tidak.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh

Comments