Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Berbakti Kepada Guru

Berbakti Kepada Guru

Menyebut kata Guru terbayang dalam benak adalah dia seorang pendidik, tempat menimba ilmu pengetahuan seorang yang berdiri dldepan kelas dan mengajarkan sesuatu dan seorang yang selalu
disebut bapak maupun ibu. Seorang guru adalah orang yang dituakan. Tidak perlu ditanya umurnya berapa, tetapi jika menyandang predikat guru dia adalah orang yang dituakan karena jnana werdha yaitu dianggap tua karena memiliki ilmu pengetahuan dalam bidangnya.
Secara khusus  istilah Catur Guru berarti empat Guru yang harus dihormati yakni Guru Rupaka, Guru pengajian, Guru Wisesa dan Guru Swadhyaya. Semua yang disebut guru pastilah dapat memberikan tuntunan hidup yang baik. Namun dalam pengertian sehari-hari menyebut Guru kebanyakan identik dengan seorang pendidik di sekolah dan sering mengabaikan pengertian guru secara luas tersebut.

Sanjungan yang diberikan kepada predikat Guru sebagai pendidik dewasa ini sangat beragam, ada yang menyebut; "Guru patut ditiru dan di gugu dan Guru pahlawan tanpa tanda jasa." Semua itu hanyalah sanjungan yang bermaksud menyenangkan perasaan "Umar Bakri" yang tidak pernah protes dengan keadaannya. Guru memang menyadari hal ini, tetapi bagaimana jika guru melakukan protes atau de-montrasi? Protes atau Demontrasi dan sejenisnya dianggap identik dengan kekerasan yang melanggar etika kesopanan Kekerasan tidak hanya dalam hal fisik, tetapi juga kekerasan dapat dilakukan secara psikhis. Kata-kata kotor, kntik pedas, yang diucapkan dengan nada tinggi dapat saja merupakan ke¬kerasan yang menyakiti perasaan orang lain yang tergolong Himsa karma dan bertentangan dengan ajaran Tat Tiuam Asi yang memandang orang lain adalah sama dengan diri sendiri. Prinsip seperti ini rupanya dipegang teguh oleh guru.
Segala perbuatan guru akan menjadi model bagi muridnya, model kekerasan tidak pernah termasuk dalam ajaran guru. Kalaupun ada tindak ke¬kerasan yang dilakukan guru itu bukan merupakan bagian dari pengajaran yang harus dilaksanakan dan mungkin hanya merupakan luapan emosi manusia biasa yang tidak bisa lepas dari pengaruh sad ripu.
Dalam kitab Bavisya Purana yang diterjemahkan oleh Oka Sanjaya, 2001:62 menyebutkan ada lima tingkatan Guru yaitu :
  1. Acarya adalah guru yang mengajarkan rahasia pengetahuan dari Veda (kalpa rahasia).
  2. Upadhyaya adalah guru yang mengajarkan ajaran Veda yang berhubungan dengan cara untuk mencari nafkah.
  3. Guru adalah orang yang di tempatnya seorang siswa tinggal dan menjadi bagian dari rumah tangga sang guru. Sang guru menyediakan tempat tinggal bagi mereka vang mengajarkan segala jenis ritual pada mereka.
  4. Rtvija adalah mereka yang mengambil peran sebagai pelaksana atau pemimpin upacara persembahan.
  5. Mahaguru adalah guru yang tertinggi dan semua guru dan harus dihormati oleh siapapun juga. Pelajaran vang diberikan hanyalah pengucapan nama Tuhan, namun beliau sangat mahir dalam segala pengetahuan Itihasa seperti Ramayana, Mahabarata dan delapan belas purana, juga kebudayaan Surya, Visnu dan Siwa.

Hormat dan taat dengan ajaran sang guru adalah bentuk pengamalan bakti kepada guru. Telah melaksanakan ajaran guru dengan baik disebut guru susrusa, sedangkan bagi mereka yang tidak taat dengari ajaran guru disebu alpaka guru (melanggar perintah guru). Rasa hormat kepada guru hendaklah ditunjukkan dalam sikap maupun perbuatan. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, lebih-lebih komunikasi dengan guru yang harus dihormati diperlukan mimik tertentu sebagai bahasa tubuh yang secara tidak langsung dapat mendukung suasana berkomunikasi. Seperti disebutkan dalam serat wicara keras yang dikutif Damardjati Supadjar, 2005:14-15 sebagai berikut:
"Watake wicara keras Sumuking pangucap wengis Isa nangakaken napas Setane nuli kekinthil Yeu ujar ririh manis Nora tangi napasipun Ayem sarta sautosa Tinebihken saking iblis
Pan wus kocap wong kabar ngunjara setan"
Terjemahannya :
Orang yang keras bicaranya, apabila disertai mimik yang kejam, akan menimbulkan gaya pernafasan yang meninggi, yang segera akan diikuti oleh setan dan bhuta kala. Kata-kata yang halus lembut dan manis kedengarannya, gaya pernafasannya penuh dengan keseimbangan, serta ketenangan, akan menjauhkan bhuta kala, atau malah mengusir dengan kesabarannya.
Gaya berbicara dengan mimik tertentu dapat menimbulkan penafsiran secara tertentu pula. Antara maksud atau tujuan yang hendak dicapai dengan cara melakukannya harus ada kesesuaian. Standar prilaku yang harus diingat adalah :
  1. Maksud baik dan cara melakukannya baik=maka hasilnya diharapkan akan baik (jujur).
  2. Maksud baik dan cara melakukan tidak baik=hasilnya tidak baik (kurang sopan).
  3. Maksud tidak baik dan cara melakukan tidak baik=hasilnya tidak baik (jahat).
Sedapat mungkin bersikap, jujur, sopan dan dapat menyenangkan guru adalah perbuatan berbakti kepada guru yang merupakan kewajiban seorang siswa. Berkat jasa guru, siswa mendapatkan ilmu pengetahuan sebagai bekal keterampilan hidup {life skill). Bayangkan bila tidak ada guru, dunia ini akan penuh dengan kebodohan.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh


Comments