Spiritualitas Bagi Kedamain Dunia
Pada suatu kesempatan, seorang sahabat muda saya menyampaikan kekecewaannya. Ia kecewa terhadap kekacauan yang terjadi pada rumah-tangga seorang Guru Yoga di Bandung, dimana ia sempat beberapa lama berlatih dan berguru. Menurut dia, apa yang diajarkan Guru tersebut tak sesuai dengan apa yang diterapkannya, sehingga hidup dan keluarganya sendiri malah berantakan. "Bila
memang Guru tersebut menerapkan apa yang diajarkannya, seharusnya itu tak terjadi", demikian argumentasinya.
Di lain kesempatan, di Denpasar, saya juga sempat berbincang-bincang dengan seorang Pembimbing dan Pelatih Yoga-Sadhana. Usianya belum setengah baya dan masih hidup sebagai perumah tangga. Beliau menyampaikan keluhannya pada saya dengan mengatakan bahwa, "Orang-orang yang pernah beliau latih mengalami kegagalan hanya karena masalah pandangan kasat."
Ketika saya mohonkan lagi penjelasannya tentang apa yang beliau maksudkan, beliau menjelaskan: "Berguru masalah spiritual, bukanlah berguru pada jasmani Guru yang bersangkutan dengan segala kehidupannya dan atribut keduniaan yang disandangnya. Bila itu yang kita pandang, sama saja dengan berguru di sekolah. Kita bisa terkecoh, kepercayaan kita mudah terkikis."; demikian jelasnya dengan cukup panjang.
Kiranya kedua fenomena tersebut dapat memberi gambaran secara lebih seimbang dari perspektif seorang Siswa yang berguru dan seorang Guru. Intinya disini adalah belenggu "pandangan kasat". Itulah yang seringkah menggoyahkan kepercayaan kita. Sesuatu yang kasat, adalah sesuatu yang nyata, bagi awam. Di Bali fenomena tersebut dinamakan fenomena "sekala". Sedangkan masalah spiritual, adalah masalah "niskala", menurut terminologi yang digunakan di Bali.
Adalah suatu kesia-siaan atau kebodohan bila kita mencoba untuk mengukur besaran "niskala" dalam persepsi "sekala". Sebaliknya, kita akan melihat sisi astralnya atau sisi halusnya, bila sebuah fenomena sekala diamati dengan kacamata niskala. Spiritualitas, bertautan dengan yang bersifat metafisis atau niskala. Ini mesti jelas dulu bagi yang hendak melangkahkan kakinya ke dunia spiritual.
Dari perspektif spiritual, spiritual mistis lebih banyak digandrungi orang. Lahan empuknya adalah mereka yang pandangan kasat (sekala) nya masih tebal, disamping pengetahuan religius serta intelektualitasnya rendah. Umumnya mereka akan diarahkan pada sesuatu yang bersifat kanuragan, bukan filosofis-religius. Bahayanya adalah bila mereka mengembangkannya pada praktek magis, apakah itu magis putih, apalagi hitam. Di Bali, yang ini dikenal dengan sebutan pengiwa dan panengen, atau aliran kiri dan aliran kanan.
Perlu kiranya ditekankan disini, bahwasanya pandangan kasat juga dapat mempengaruhi mereka yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi. Yang begini sesungguhnya lebih condong pada materialisme, bukan spiritualisme. Masalahnya terletak pada hal yang amat mendasar yakni Pandangan, yang timbul dari pemahaman yang baik. Intelektualitas adalah suatu kekuatan, senjata, yang bisa diarahkan pada kebajikan dan juga sebaliknya. Intelektualitas yang tidak diarahkan bagi kebajikan, dapat berakibat amat mengerikan baik bagi sang intelektual, maupun bagi umat manusia secara luas. Inilah yang berbahaya.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan intelek yang baik, amat dibutuhkan "kemampuan untuk memilih dan memilah-milah antara yang nyata dan yang maya". Dalam Hinduisme, kemampuan ini disebut Viveka. Bagi penekun spiritual-filosofis maupun spiritual-religius, Viveka amat penting. Penekunan pada kedua tipe inilah yang melahirkan para filsof dan theolog dari berbagai agama dan aliran. Salah satu contoh individu yang mengawali jalan spiritualnya dengan memantapkan Viveka terlebih dahulu adalah: Jiddu Krishnamurti - seorang filsuf universalis yang termasyur abad lalu.
Dalam tulisan di masa persiapannya menjelang inisiasi dari Sang Guru, J. Krishnamurti - yang ketika itu masih dikenal dengan nama Alcyone memberi penekanan yang kuat terhadap penguasaan Viveka. Beliau mengatakan: "Syarat yang pertama dari syarat-syarat itu adalah Viveka, yang dapat memimpin orang menempuh jalan itu .... akan tetapi lebih dari itu, syarat itu harus dipraktekan tidak hanya saat memasuki jalan itu, namun pada setiap langkah sampai pada akhirnya." ("Di kaki Guru Sejati" - Desember 1910)
Kaum intelektual yang terlengkapi dengan Viveka yang baik, bisa amat berharga bagi umat manusia dan dunia. Ini juga ditekankan oleh Swami Sivananda, ketika menjawab pertanyaannya sendiri tentang "membangun Dunia Baru" dengan mengatakan: "Dengan membangkitkan suatu Daya-Pikir yang mengakibatkan seseorang dapat menikmati "kedamaian dalam batinnya", akan tertanam dalam hatinya kemurahan hati dewata berupa: belas-kasihan, berupa kesedihan untuk melayani sesama, cinta kasih Tuhan, dan hasrat yang kuat untuk merealisasikan-Nya ("Mewujudkan Tatanan Dunia Baru" - terjemahan anatta).
Terpilihnya Kyai Haji Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden dan Megawati sebagai wakilnya, lebih memastikan lagi kebangkitan spiritualitas timur di Indoneesia. "Indonesia Baru" jauh-jauh hari sebelumnya telah dikumandangkan oleh Gus Dur. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul "Rekonsiliasi Nasional Menuju Indonesia Baru", yang disampaikan pada Forum Dialog Nasional yang diadakan oleh Masyarakat Indonesia Baru pada awal Desember 1998, beliau mengutarakan antara lain:"......Mereka menerima Pancasila secara nasional sebagai suatu kenyataan dan tak lagi mempertanyakan mengenai agama negara. Artinya, agama memiliki tempat sebagai kekuatan moral. Hal ini berlaku sama bagi setiap agama, khususnya bagi mereka yang mencari makna hidup dalam agamanya masing-masing, yang menjadi landasan bangsa. Dari sinilah gerakan demokrasi tumbuh, suatu gerakan yang sesungguhnya berjalan seirama dengan ajaran agama-agama di negera kita, baik yang diakui negara maupun yang belum, yang perlu segera diperhatikan agar memperoleh pengakuan secara demokrasi, seperti Kong Hu Cu, Islam Bahai dsb." (Hikmahbudhr edisi, April-Juli, 1- 1999).
Beliau mengungkapkan gagasan tersebut sebelum terpilih sebagai Presiden RI, dan kini gagasan itu sedikit demi sedikit memang telah mulai terealisasikan. Apa yang terlihat dari padanya adalah, spiritualitas religius dan spiritualitas filosofis semakin mendapat tempat dan daya dorongnya di Era Indonesia Baru; suatu kontribusi aktif bangsa ini dalam mewujudkan Tatanan Dunia Baru.
Dalai lama XIV dari Buddha, Bunda Teresa dari Nasrani, Mgr. Carlos R Belo dan lain-lainnya adalah nama-nama pejuang Perdamaian dan Kemanusiaan berlatar belakang spiritual religius, yang diakui dunia internasional lewat Hadiah Nobel. Mahatma Gandhi, menyentak dunia dengan perjuangan tanpa kekerasannya (ahimsa).
Demikianlah beberapa contoh dalam skala dunia, orang-orang ternama dan berlatar belakang spiritual-religius maupun spiritual-filosofis, berkontribusi aktif pada Perdamaian Dunia. Pada penggalangan "Tatanan Dunia Baru" yang lebih baik, lebih damai dan lebih sejahtera.
Sumber:
memang Guru tersebut menerapkan apa yang diajarkannya, seharusnya itu tak terjadi", demikian argumentasinya.
Di lain kesempatan, di Denpasar, saya juga sempat berbincang-bincang dengan seorang Pembimbing dan Pelatih Yoga-Sadhana. Usianya belum setengah baya dan masih hidup sebagai perumah tangga. Beliau menyampaikan keluhannya pada saya dengan mengatakan bahwa, "Orang-orang yang pernah beliau latih mengalami kegagalan hanya karena masalah pandangan kasat."
Kiranya kedua fenomena tersebut dapat memberi gambaran secara lebih seimbang dari perspektif seorang Siswa yang berguru dan seorang Guru. Intinya disini adalah belenggu "pandangan kasat". Itulah yang seringkah menggoyahkan kepercayaan kita. Sesuatu yang kasat, adalah sesuatu yang nyata, bagi awam. Di Bali fenomena tersebut dinamakan fenomena "sekala". Sedangkan masalah spiritual, adalah masalah "niskala", menurut terminologi yang digunakan di Bali.
Adalah suatu kesia-siaan atau kebodohan bila kita mencoba untuk mengukur besaran "niskala" dalam persepsi "sekala". Sebaliknya, kita akan melihat sisi astralnya atau sisi halusnya, bila sebuah fenomena sekala diamati dengan kacamata niskala. Spiritualitas, bertautan dengan yang bersifat metafisis atau niskala. Ini mesti jelas dulu bagi yang hendak melangkahkan kakinya ke dunia spiritual.
Mengamati Fenomena Pokok Dalam Masyarakat Spiritual
Dunia spiritual sendiri, sesungguhnya juga dapat dibedakan lagi menjadi: spiritual-filosofis, spiritual-religius dan spiritual-mistis. Sebutlah demikian.- Spiritual-filosofis; adalah paradigma dunia spiritual yang paling sesuai bagi kaum intelektual, para pemikir dan akhli pikir modern sekarang ini. Mereka mempunyai tingkat kefasihan dalam menggunakan pikiran dan kekuatan pikiran mereka. Satu keuntungannya, dibandingkan dengan yang lain, adalah ia tak dibatasi oleh sekat-sekat agama tertentu atau doktrin-doktrin ajaran tertentu, secara kaku. Jadi ia membuka kesempatan seluas-luasnya.
- Spiritual-religius; adalah paradigma dunia spiritual yang umumnya dijalankan oleh kaum agamais. Ia berdasarkan pada suatu kaidah-kaidah keagamaan tertentu berikut praktek-praktek latihannya. Yang bukan umat agama tersebut, akan mengalami kesulitan dalam mengikutinya. Banyak istilah, pandangan-pandangan agamais maupun doktrin-doktrin tertentu yang mendasari dan menjadi masalah bagi mereka yang bukan penganut agama tersebut.
Tak dapat disangkal bahwa, seorang penekun suatu jalan spiritual-filosofis tertentu, juga mengawalinya disini. Akan tetapi oleh karena bakat inteleknya menonjol, maka ia berkembang kearah filosofis. Sedangkan bila keterkaitannya terhadap hal-hal mistis kuat, serta intelektualitasnyapun terbatas, maka ia akan lebih condong dan tertarik pada spiritual-mistis. - Spiritual mistis; seperti telah ditemukan sebelumnya, jalan spiritual tipe ini lebih digandrungi oleh mereka yang mempunyai keterikatan yang kuat terhadap hal-hal yang berbau atau bernuansa mistis. Sementara tak begitu berbakat dan peduli untuk menelusuri apa sesungguhnya yang ada dibalik fenomena mistis itu.
Dari perspektif spiritual, spiritual mistis lebih banyak digandrungi orang. Lahan empuknya adalah mereka yang pandangan kasat (sekala) nya masih tebal, disamping pengetahuan religius serta intelektualitasnya rendah. Umumnya mereka akan diarahkan pada sesuatu yang bersifat kanuragan, bukan filosofis-religius. Bahayanya adalah bila mereka mengembangkannya pada praktek magis, apakah itu magis putih, apalagi hitam. Di Bali, yang ini dikenal dengan sebutan pengiwa dan panengen, atau aliran kiri dan aliran kanan.
Intelektualitas dan Spiritualitas
Seperti juga telah disebutkan sebelumnya, bahwa kecondongan pada hal-hal yang bersifat mistis, sesungguhnya bermula dari dua pokok keberadaan atau kwalitas manusia secara batiniah yakni: pandangan kasat dan rendahnya penalaran (intelektual) guna memahami ajaran.Perlu kiranya ditekankan disini, bahwasanya pandangan kasat juga dapat mempengaruhi mereka yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi. Yang begini sesungguhnya lebih condong pada materialisme, bukan spiritualisme. Masalahnya terletak pada hal yang amat mendasar yakni Pandangan, yang timbul dari pemahaman yang baik. Intelektualitas adalah suatu kekuatan, senjata, yang bisa diarahkan pada kebajikan dan juga sebaliknya. Intelektualitas yang tidak diarahkan bagi kebajikan, dapat berakibat amat mengerikan baik bagi sang intelektual, maupun bagi umat manusia secara luas. Inilah yang berbahaya.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan intelek yang baik, amat dibutuhkan "kemampuan untuk memilih dan memilah-milah antara yang nyata dan yang maya". Dalam Hinduisme, kemampuan ini disebut Viveka. Bagi penekun spiritual-filosofis maupun spiritual-religius, Viveka amat penting. Penekunan pada kedua tipe inilah yang melahirkan para filsof dan theolog dari berbagai agama dan aliran. Salah satu contoh individu yang mengawali jalan spiritualnya dengan memantapkan Viveka terlebih dahulu adalah: Jiddu Krishnamurti - seorang filsuf universalis yang termasyur abad lalu.
Dalam tulisan di masa persiapannya menjelang inisiasi dari Sang Guru, J. Krishnamurti - yang ketika itu masih dikenal dengan nama Alcyone memberi penekanan yang kuat terhadap penguasaan Viveka. Beliau mengatakan: "Syarat yang pertama dari syarat-syarat itu adalah Viveka, yang dapat memimpin orang menempuh jalan itu .... akan tetapi lebih dari itu, syarat itu harus dipraktekan tidak hanya saat memasuki jalan itu, namun pada setiap langkah sampai pada akhirnya." ("Di kaki Guru Sejati" - Desember 1910)
Kaum intelektual yang terlengkapi dengan Viveka yang baik, bisa amat berharga bagi umat manusia dan dunia. Ini juga ditekankan oleh Swami Sivananda, ketika menjawab pertanyaannya sendiri tentang "membangun Dunia Baru" dengan mengatakan: "Dengan membangkitkan suatu Daya-Pikir yang mengakibatkan seseorang dapat menikmati "kedamaian dalam batinnya", akan tertanam dalam hatinya kemurahan hati dewata berupa: belas-kasihan, berupa kesedihan untuk melayani sesama, cinta kasih Tuhan, dan hasrat yang kuat untuk merealisasikan-Nya ("Mewujudkan Tatanan Dunia Baru" - terjemahan anatta).
Spiritualitas di Indonesia Baru
Sejak guncang dan jatuhnya ORDE BARU, orde pemerintahan Indonesia yang terlampau mengagung-agungkan kesejahteraan hidup materialistis, yang menerapkan penekanan militerisme guna menjaga ketentraman, spiritualitas religius dan spiritualitas filosofis mulai lagi dengan babak barunya di bumi Nusantara ini.Terpilihnya Kyai Haji Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden dan Megawati sebagai wakilnya, lebih memastikan lagi kebangkitan spiritualitas timur di Indoneesia. "Indonesia Baru" jauh-jauh hari sebelumnya telah dikumandangkan oleh Gus Dur. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul "Rekonsiliasi Nasional Menuju Indonesia Baru", yang disampaikan pada Forum Dialog Nasional yang diadakan oleh Masyarakat Indonesia Baru pada awal Desember 1998, beliau mengutarakan antara lain:"......Mereka menerima Pancasila secara nasional sebagai suatu kenyataan dan tak lagi mempertanyakan mengenai agama negara. Artinya, agama memiliki tempat sebagai kekuatan moral. Hal ini berlaku sama bagi setiap agama, khususnya bagi mereka yang mencari makna hidup dalam agamanya masing-masing, yang menjadi landasan bangsa. Dari sinilah gerakan demokrasi tumbuh, suatu gerakan yang sesungguhnya berjalan seirama dengan ajaran agama-agama di negera kita, baik yang diakui negara maupun yang belum, yang perlu segera diperhatikan agar memperoleh pengakuan secara demokrasi, seperti Kong Hu Cu, Islam Bahai dsb." (Hikmahbudhr edisi, April-Juli, 1- 1999).
Beliau mengungkapkan gagasan tersebut sebelum terpilih sebagai Presiden RI, dan kini gagasan itu sedikit demi sedikit memang telah mulai terealisasikan. Apa yang terlihat dari padanya adalah, spiritualitas religius dan spiritualitas filosofis semakin mendapat tempat dan daya dorongnya di Era Indonesia Baru; suatu kontribusi aktif bangsa ini dalam mewujudkan Tatanan Dunia Baru.
Spiritual Filosofis dan Spiritual Refigius Bagi Perdamaian Dunia
Sesungguhnya dunia intelektual global mengakui kontribusi besar dari spiritual filosofis dan spiritual religius bagi Perdamaian Dunia. Hadiah Nobel adalah penganugrahan penghargaan yang tinggi bagi para pejuang Perdamaian Dunia lewat jalan spiritualitas ini. Rabindranath Tagore, putra dari salah seorang penggiat dalam Arya Samaj (masyarakat arya) cetusan Swami Dayananda Saraswati, adalah salah seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pertama dari dunia spiritulitas timur, lewat mahakarya susastranya "Gitanjali". Beliau secara tradisi mewarisi ajaran-ajaran spiritual religius dan memahami filosofi, dapat kita jadikan salah satu contoh.Dalai lama XIV dari Buddha, Bunda Teresa dari Nasrani, Mgr. Carlos R Belo dan lain-lainnya adalah nama-nama pejuang Perdamaian dan Kemanusiaan berlatar belakang spiritual religius, yang diakui dunia internasional lewat Hadiah Nobel. Mahatma Gandhi, menyentak dunia dengan perjuangan tanpa kekerasannya (ahimsa).
Demikianlah beberapa contoh dalam skala dunia, orang-orang ternama dan berlatar belakang spiritual-religius maupun spiritual-filosofis, berkontribusi aktif pada Perdamaian Dunia. Pada penggalangan "Tatanan Dunia Baru" yang lebih baik, lebih damai dan lebih sejahtera.
Sumber:
Juru Sapuh
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...
Comments
Post a Comment