Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Kehidupan

Kehidupan

Telah Dipahami Sudahkah Dilakoni?

Ramakrishna Paramahansa, seorang mistik di Calcutta, guru dari Vivekananda pernah berkisah:
Ada  seorang  raja  yang  setiap  hari  mendengarkan kisah Bhagavad  Gita  yang  dibawakan  oleh  seorang Fasilitator (Pengajar Perantara). Setelah menjelaskan isinya Pengajar  itu biasanya bertanya,  “Sudahkah Baginda memahami yang saya katakan?”

Sang  Raja  tidak  pernah mengatakan Ya atau Tidak. Ia hanya berkata, “Sebaiknya engkau sendiri memahaminya lebih dulu.”
Jawaban ini selalu membuat sedih Pengajar  yang  malang, yang setiap  hari  menghabiskan  banyak waktu untuk mempersiapkan pengajaran bagi Raja. Ia sendiri yakin  bahwa  pengajarannya jelas dan terang.

Pengajar  itu adalah seorang pencari Kebenaran yang tulus. Suatu hari ketika ia  sedang  bermeditasi,  tiba-tiba  ia  melihat sifat  ilusi – kenyataan  yang nisbi – dari segala sesuatu, rumah, saudara, kekayaan, sahabat, kehormatan, nama baik dan semua  yang lain. Begitu jelas ia melihatnya, sehingga semua keinginan  akan  hal-hal  itu  lenyap   dari   hatinya.   Ia memutuskan  untuk  meninggalkan  rumah  dan  menjadi seorang Sanyasi.
Sebelum meninggalkan rumahnya, ia mengirimkan  pesan  kepada sang Raja, “Baginda Raja! Akhirnya saya memahami.” Dikutip dari buku (DOA SANG KATAK 2, Anthony de Mello SJ, Penerbit Kanisius, Cetakan 12, 1990)
Sang Raja betul, walau kita menjelaskan Bhagavad Gita dengan jelas, akan tetapi kita sebenarnya kita belum memahami esensinya. Belum memahami Inti Kehidupan. Oleh karena itulah kami selalu mengutip Penjelasan seorang Master, bukan dari pikiran kami sendiri yang belum sepenuhnya paham.
Tujuan Hidup Seperti yang Disampaikan di Bhagavad Gita itu Esensinya Apa?
Madhusūdana, Penakluk Raksasa Madhu. Memahami setiap peran Kṛṣṇa adalah penting. Sebab, Kṛṣṇa mewakili solusi, jawaban atas segala persoalan dan tantangan hidup yang dihadapi Arjuna. Dan, Arjuna mewakili diri kita – diri Anda dan diri saya.
Madhu berarti “Madu”. Bayangkan seorang raksasa bernama Madhu. Madhu, madu adalah sesuatu yang menyenangkan, nikmat, manis – sulit bagi manusia untuk menaklukkan sesuatu yang nikmat.
Mudah membebaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan. Tapi, membebaskan diri dari keadaan yang menyenangkan! Coba Anda pikirkan.
Madhu mewakili kenikmatan yang kita peroleh dari dunia benda, dari indra. Terbawa oleh suatu kenikmatan yang mereka tawarkan – kita sering kali lupa akan tujuan hidup kita. Menaklukkan Madhu berarti melampaui kenikmatan sesaat demi tujuan yang lebih tinggi.
…………….
Madhusudana adalah seruan bagi Arjuna untuk mengingat tujuan hidup yang jauh lebih tinggi dari kenikmatan-kenikmatan sesaat yang bersifat rendahan. Penjelasan Bhagavad Gita 2:1 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia lewat #BhagavadGitaIndonesia

Bila tujuan hidup sudah jelas yaitu untukmemperoleh kebebasan, moksha, bukan dari kenikmatan-kenikmatan yang bersifat rendahan, maka setiap Tahap Kehidupan yang dijalani oleh kita harus berdasarkan pada Tujuan Hidup tersebut.
Dalam Kitab Srimad Bhagavatam sering dikisahkan banyak Raja yang melakukan perjalanan menuju kebebasan, moksha lewat Chatur Ashram. Sewaktu muda melakukan Brahmachari, kemudian melakoni Grahasthya dan baru setelah itu melepaskan tahta untuk melakukan Vanaprashta dan kemudian akhirnya menjadi Sanyasi.
Brahmachari, Grahasthya, Vanaprastha, Sanyasi
Menurut buku Sanyas Dharma (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Seorang anak, remaja, atau mahasiswa yang sudah dewasa tetap disebut Brahmachari jika ia menggunakan waktunya untuk mengolah diri dan menjadi kreatif. Celibacy atau menghindari kegiatan seksual semasa itu, semata-mata supaya energi di dalam seorang Brahmachari tidak tersia-siakan untuk kegiatan seksual, karena sesungguhnya energi yang sama itu yang membuat kita menjadi kreatif. Jika energi tersebut mengalir ke bawah, terpakailah ia untuk kegiatan seksual. Dan ketika energi tersebut mengalir ke atas, hasilnya adalah kreativitas.”
Grahasthya berarti “Komitmen terhadap Keluarga”, jadi bukan sekedar membina keluarga atau rumah tangga, tetapi berkomitmen terhadap pasangannya dan putra-putrinya. Grahasthya bukan sekedar kawin, tetapi menghormati lembaga perkawinan.
Masa Vanaprastha. Selambat-lambatnya pada usia 60 tahun, para orang tua yang telah menyelesaikan tugas dan kewajiban terhadap anak-anak mereka, mesti meninggalkan rumah untuk bermukim di Vana, atau hutan untuk selanjutnya “sepenuhnya” mendalami laku spiritual. Dalam masa Vanaprastha, laku spiritual menjadi full time job. Tidak lagi mengurusi dunia dan kebendaan, tetapi mengurusi diri, mengurusi jiwa. Dan melayani manusia, sesama makhluk secara purnawaktu.
Para Vanaprasthi atau pelaku Vanaprastha Ashram boleh juga bergabung dengan salah satu ashram dalam arti padepokan yang di masa lalu berada di tengah hutan.
Vanaprastha Ashram mesti dimaknai kembali… Vanaprastha dalam konteks modern mesti diterjemahkan sebagai pelepasan diri dari ketergantungan pada materi. Materi masih dibutuhkan untuk bertahan hidup. Namun, ya sebatas itu saja, untuk bertahan hidup, dan sisanya untuk berbagi kehidupan. Tidak lagi mengejar kemewahan. Kenyamanan boleh saja, tetapi tidak lagi mengejar kenikmatan hidup berlebihan. Untuk itu seseorang boleh masuk hutan, pindah ke kampung kelahirannya dan melayani warga sekampung yang barangkali membutuhkan pelayanan, atau bergabung dengan suatu lembaga spiritual secara purnawaktu dan mengabdikan dirinya, apa saja yang memungkinkan. Intinya, ia tidak lagi mengurusi benda dan kebendaan, dan hidup dalam pengertian simple living, bukan impoverish living atau menjadi miskin dan bergantung pada belas kasihan orang lain.
Masa Sanyas. Ini merupakan masa terakhir, masa akhir hidup manusia. Dalam masa ini, seorang Sanyasi – ia yang telah memasuki masa sanyas – melepaskan segala macam ‘keterikatan’ duniawi. Ia tidak lagi membedakan antara anak kandung, anak saudara, anak orang lain, bahkan manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya.
Bagi yang ingin mendalami keempat chatur ashram dalam masa kini silakan baca buku (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Mohon dikoreksi bersama jika ada tulisan/makna yang kurang tepat. Om, tat astu rahayu makesami...

Sumber:
Juru Sapuh

Comments