Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Shiva Keberuntungan yang Diharapkan


Kisah Dewa-Dewi Purana seringkali membuat umat Hindu bingung. Hal ini menjadi sebuah renungan untuk dicermati apakah purana relevan untuk menyampaikan dasar-dasar theologi ataukah justru membingungkan. Dalam beberapa film yang pernah tayang di televisi terjadi drama
permusuhan antara dewa dan raksasa atau antara dewa yang satu dengan dewa yang lainya. Ada dewa yang cenderung jahat, ada yang baik, ada yang superior dan sebagainya seolah dewa itu memiliki sifat yang serupa dengan sifat manusia, bahkan terjadi pula peperangan antara sesama dewa.
Untuk memahami ajaran dalam Purana maka diperlukan pemahaman tentang purana yang lebih baik. Purana (dalam bahasa Sanskerta: purana, berarti “cerita zaman dulu”) adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno. Oleh karena itu Purana berisi kisah-kisah yang intinya merupakan cara pendekatan para suci untuk menyampaikan ajaran Weda. Sebagai alat untuk memahami Weda namun juga dapat membingungkan pembacanya ketika tidak dibarengi dengan sumber-sumber lainya.
Seseorang ada kalanya terjebak dengan purana ketiktidak memahami Theologi secara benar, sehingga terbingungkan saat ia belajar tentang agama melalui pendekatan purana. Perdebatan antara pemuja (pembaca) purana yang berbeda seringkali terjadi karena tertipu oleh pemahaman pikiran si pembaca sendiri yang tidak memahami secara menyeluruh tentang konsep Tuhan yang benar. Penggambaran Dewa-Dewa yang berbeda justru memberikan ruang perdebatan diantara para bhakta yang berangkat dari Purana. Dewa yang superior akan mengalahkan Dewa yang lainnya, sehingga ada Dewa yang kedudukanya lebih tinggi dan ada yang lebih rendah.
Para tokoh Hindu Indonesia sebenarnya telah memahami ajaran theologi Hindu secara utuh dan benar seperti yang tertuang dalam naskah Weda "Ekam sad wiprah bahuda wadanti", Tuhan itu satu namun para bijak menyebut dengan berbagai nama. Dalam naskah puja Tri sandhya kita akan dapati salah satu mantram bercorak Siwa yang bersumber dari Siwa stawa ini yang menarik untuk kita pahami sebagai salah satu bait yang mengagungkan kebesaran Tuhan. Dimana Tuhan dipuja dalam banyak nama sehingga ketika kita meresapi bait ini secara benar tak akan ada Dewata manapun yang direndahkan seperti dalam kisah-kisah Purana. Dalam bait ketiga mantram Puja Tri sandhya disebutkan bahwa Tuhan memiliki banyak nama:
Om tvam sivah
tvam mahadevah
isvarah paramesvarah
brahma visnusca rudrasca
purusah parikirtitah
(Om Sang Hyang Widhi, Engkau disebut Siwa yang menganugrahkan kerahayuan, Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara (asal mula). Parameswara (sebagai maha raja diraja), Brahma (pencipta alam semesta dan segala isinya), Visnu (pemelihara alam semesta beserta isinya), Rudra (yang melebur) dan sebagai Purusa (kesadaran agung) brahma visnusca rudrasca)
Petikan bait mantram di atas membawa kita pada pemahaman Tuhan itu satu namun memiliki banyak nama sesuai dengan sifat-sifat yang dipahami oleh bhaktanya. Dengan demikian tak satupun naskah diatas merendakan atau meremehkan salah satu Dewata, karena semua Dewa adalah Dia Tuhan yang Esa. Naskah ini mematahkan kisah-kisah purana tentang permusuhan para Dewa, sehingga umat tidak perlu bingung saat menonton atau membaca purana. Tentu saja yang dapat diambil dari purana adalah nilai kebenaran baik dan buruk yang dicontohkan dalam kisah tersebut, bukan membenci tokoh Dewa yang ada mungkin mengambil peran buruk dalam kisah-kisah tersebut.
Om adalah Siva yang menganugrahkan kerahayuan, yang mempesona, keberuntungan, kemujuran, dipuja karena manusia memang memerlukan kemujuran dan keberuntungan dalam hidupnya. Om adalah Mahadewa dewata tertinggi karena hanya tuhan yang patut diagungkan guna memperoleh karunia dalam hidup. Om adalah Iswara karena seluruh jagat raya berasal dari Om. Om adalah Parameswara karena hanya Tuhanlah yang merupakan raja alam semesta. Om adalah Brahma karena dari Tuhanlah lahir semua yang ada. Om adalah Visnu karena dialah pemelihara seluruh ciptaan. Om adalah rudra dalam wujud menakutkan saat semuanya kembali dilebur. Tuhan adalah purusha pun juga prakerti dua asas kesadaran dan kebendaan. Semua gelar itu tertuju untuk yang Esa yaitu tuhan dalah wujud Om yang absolut.
Kata Siwa berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang dan membahagiakan (Monier dalam Gunawan, 2012 : 56). Siva panggilan Tuhan ini menjadi sangat menarik para bhaktanya karena memiliki pengertian yang sangat luas; kesucian, keberuntungan, kemujuran, mempesona, pemurah, dan sebagainya. Hal ini memang berkaitan erat dengan harapan manusia yang menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis dan menguntungkan terjadi dalam hidupnya. Orang tidak ingin tidak sukses baik secara material maupun spiritual, dalam kehidupan pribadi maupun sosial, dan berbagai dimensi kehidupan yang ia jalani. Sebagai makhluk pribadi manusia menginginkan kenyamanan, dan hanya Tuhanlah sebenarnya yang mampu memberi rasa nyaman itu.
Kisah keberuntungan dari pemuja Shiva yang paling populer adalah kisah pemburu atau Lubdaka yang terbebas dari hukuman neraka karena secara tidak sengaja memuja Shiva dimalam Shiva Ratri saat berada dihutan dalam perburuan. Kisah Lubdaka ini bahkan kemudian menjadi inspirasi bagi umat Hindu daiam merayakan Shiva ratri. Lubdaha adalah sosok yang mengalami keberuntungan yang luar biasa, karena kondisi terpaksa takut akan binatang buas, ia naik ketas pohon bilwa. Untuk menghindari rasa kantuk ia memetik daun bilwa kemudian dijatuhkan ditengah telaga dimana terdapat Shiva Lingga nora ginawe didalamnya. Akibat perbuatan baik itulah ia yang seorang pemburu yang pekerjaannya membunuh justru menikmati sorga. Hal ini merupakan contoh dari kejaiban dan kemurahan Shiva sesuai dengan arti kata shiva itu sendiri.
Tentang keberuntungan memuja Tuhan sebenarnya telah dinyatakan dalam Bhagawad Gita IX.22: ananyas cintayanto mam ye janah paryupasate tesham nityabhiyuktanam yoga-ksemam vahamy aham
(Tetapi mereka yang hanya me-muja Ku sendiri Merenungkan Aku selalu, kepada mereka Ku bawakan segala apa yang mereka tidak punya Kulindungi segala apa yang mereka miliki)
Jadi keberuntungan yang diharapkan sebenarnya adalah anugrah dari ketekunan dalam melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan sepenuh jiwa raga, melalui perenungan mendalam dan dilandasi keyakinan yang teguh kepada Tuhan. Oleh karena itu penting artinya bagi umat Hindu untuk senantiasa menjaga agar pikiranya tetap teguh memuja Tuhan dalam kondisi apapun yang dialaminya. Semoga Shiva memberikan keberuntungan kepada kita.

Sunber:
Juru Sapuh

Comments