Lungsuran, Surudan, Paridan
Hukum Tri Kona; utpeti-sthiti-pralina adalah sistem daur ulang kehidupan. Apa yang tiada menjadi ada, lalu terpelihara untuk akhirnya kembali sima. Begitupun dengan aktivitas yadnya, diutpeti dulu menjadi banten, disthiti menjadi haturan bhakti, sampai akhirnya menjadi pasuecan/paican Ida Bhatara. Saripati hasil pertemuan bhakti umat kalawan sueca Widhi/Ida Bhatara-Bhatari itulah
kemudian lumrah disebut lungsuran atau surudan, yang dalam bahasa Sanskrit dinaikkan derajat maknanya menjadi prasadham (menikmati sajian yang telah disucikan).
Setelah ditelisik, ternyata istilah lungsuran/surudan menunjukkan strata atau kelas suatu hidangan/makanan yang bermula dari haturan persembahan (bebanten), lengkap dengan makanan (nasi/ketupat, ikan/daging, buah, dan jajanan). Usai dipersembahkan, isi bebanten itu berubah menjadi lungsuran/surudan, yang siap dinikmati sebagai wujud anugrah Hyang Widhi atau Ida Bhatara-Bhatari. Soal mau tidaknya seorang umat menerima dan menikmatinya sangat tergantung pada suatu hal, yang biasanya dikaitkan dengan kepada siapa haturan bebanten itu dipersembahkan, di Pura dengan status apa dan siapa yang menghaturkannya.
Jika bebanten dihaturkan kehadapan Hyang Widhi di ajeng palinggih Padmasana, atau setidaknya di Pura dengan status Kahyangan Jagat, hingga Kahyangan Tiga, sepertinya umat dari kalangan manapun akan bisa menerima dan menikmatinya. Namun tak dapat dimungkiri, adakalanya dikait-kaitkan lagi dengan siapa yang menghaturkannya. Bila haturan bebantennya berasal dari kelompok yang dianggap tidak sewangsa/sesoroh, apalagi tidak menyama, seringkali ditolak, dan tak akan mau dinikmati lungsuran/surudannya.
Apalagi kalau haturan bebantennya berasal dari persembahan kehadapan Ida Bhatara-Bhatari kawitan/leluhur; lalu dihubungkan lagi dengan derajat (tinggi-rendah) posisi dalam strata wangsa/soroh, meski lungsuran/surudannya terbilang mengundang selera, dipastikan akan ditolak dengan berbagai alasan. Tak dinyana untuk urusan lungsuran/surudan sebagai bukti anugrah Hyang Widhi/Ida Bhatara-Bhatari yang sudah meraga suci/sunya, umat (damuh/panjak) justru merasa diri “lebih suci” hinga harus memilah dan memilih lungsuran/surudan mana yang boleh/mau diterima dan dinikmati.
Inilah realita kehidupan sosial keagamaan umat Hindu yang memang tak lepas dari pengaruh bius feodalisme. Meski konsep Hindu dengan lantang didengungkan dalam jargon sarwam idham khalu Brahman (semua makhluk adalah ciptaan Tuhan), sehingga terealisasi menjadi wasudewa kuthum bhakam (semua makhluk adalah bersaudara), tetapi kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa ada semacam klasifikasi/ klusterisasi dalam masyarakat Hindu (Bali). Rujukan konsepnya sebenarnya berasal dari kitab Bhagawadgita, IV. 13 perihal Catur Warna yang menggolongkan manusia berdasarkan guna (sifat) dan karma (kewajiban), sehingga berposisi horisontal/sederajat. Namun dalam perkembangannya, suka tidak suka, terima tidak terima, bermetamorfosa menjadi Catur Wangsa (menurut keturunan: wangsa/trah/soroh), yang pada kenyataannya kemudian, masyarakat Hindu (Bali) dibedabedakan struktur klas sosialnya secara vertikal (tinggi rendah/ atas-bawah).
Bahkan dari keempat kelompok wangsa itu, diklasisfikasi lebih eksklusif lagi menjadi dua golongan besar, yang satu dinamakan Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesia) dan satunya lagi lazim disebut Jaba (di luar wangsa: Sudra). Kalau sudah begini penjelasannya hal-hal yang berhubungan dengan lungsuran/ surudan bisa bertambah njlimet, ribet dan ruwet. Padahal pokok persoalannya sangat sederhana, menyangkut urusan menikmati, tepatnya memakan is in haturan bebanten yang sudah dipersembahkan dengan hati yang tulus ikhlas dan bemilai suci sebagai waranugraha Hyang Widhi/Ida Bhatara-Bhatari serta bermakna sebagai prasadham (hidangan suci).
Lain lungsuran/surudan, lain pula paridan, apalagi carikan. Kalau paridan berkaitan dengan persembahan bebanten yang setelah diparid (seperti natab) hanya boleh dinikmati oleh yang memarid (boleh juga untuk saudara muda/adiknya), seperti dalam contoh marid otonan. Sedangkan apa yang disebut carikan, konotasinya lebih kepada sesuatu, terutama yang berhubungan dengan sajian/hidangan/makanan yang masuk katagori “sisa" (barang bekas: laad-laadan), sehingga amat jarang mau diterima apalagi dinikmati orang lain.
Lepas dari persoalan istilah, sejatinya apa yang disebut lungsuran/surudan atau prasadham adalah utama karena berasal dari suatu persembahan suci, sebagaimana kitab suci Bhagawadgita, IV.31 menyatakan: Yajna sistamrtta bhujo, yanti Brahma sanatanam, na’yam loko ‘sty ayajnasya, kuto ‘nyah kurusattama (Mereka yang makan makanan suci setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersempahkan suatu pengorbanan atau yadnya, apalagi untuk dunia lainnya, wahai Kurusattama (Arjuna)”.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk berpikir, apakah hendak menerima atau berhasrat menolak nikmat berkah anugrah lungsuran/surudan, sebab sebelumnya telah dipersembahkan sebagai sajian suci bagi Hyang Widhi beserta manifestasinya, termasuk Ida Bhatara-Bhatari, kecuali mungkin yang dilekatkan label kawitan/leluhur yang memang tak pernah lepas dari embel-embel wangsa/soroh. Untuk yang disebut terakhir ini, bagi masyarakat Bali (Hindu) tradisional-konservatif memang masih diikuti/dilakoni dengan fanatik.
Namun bagi generasi mileneal yang begitu akrab bergaul dengan dunia kontemporer, fanatisme terhadap lungsuran/ surudan sudah semakin encer/ mencair, dianggap tidak masalah menikmati berkah yang berasal dari sajian persembahan, karena sudah menjelma menjadi suguhan berenergi, baik untuk asupan gizi jasmani maupun rohani, yang tentunya bersifat suci-sattwika, seperti ditegaskan di dalam kitab Bhagawadgita, XVII. 11: Aphalakan ksibhir yajno, widhidristo ya ijyate, yastawyam ewe ‘ti manah, samadhaya sa sattwikah (yadnya yang dipersembahkan sesuai dengan aturan kitab suci oleh mereka yang tidak mengharapkan ganjaran dan sangat percaya bahwa itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan, merupakan yadnya sattvika).
Dengan demikian, lungsuran/surudan yang dinikmatipun merupakan berkah anugrah yang bersifat sattwika, sebagai pondasi bagi usaha membangun karakteristik daiwi sampat (sifat kedewataan) yang sangat diperlukan dalam meruntuhkan kuasa asuri sampat (watak keraksasaan) yang kini tampak kian eksis di tengah kehidupan multi krisis seperti sekarang ini.
Sumber:
Juru Sapuh
kemudian lumrah disebut lungsuran atau surudan, yang dalam bahasa Sanskrit dinaikkan derajat maknanya menjadi prasadham (menikmati sajian yang telah disucikan).
Setelah ditelisik, ternyata istilah lungsuran/surudan menunjukkan strata atau kelas suatu hidangan/makanan yang bermula dari haturan persembahan (bebanten), lengkap dengan makanan (nasi/ketupat, ikan/daging, buah, dan jajanan). Usai dipersembahkan, isi bebanten itu berubah menjadi lungsuran/surudan, yang siap dinikmati sebagai wujud anugrah Hyang Widhi atau Ida Bhatara-Bhatari. Soal mau tidaknya seorang umat menerima dan menikmatinya sangat tergantung pada suatu hal, yang biasanya dikaitkan dengan kepada siapa haturan bebanten itu dipersembahkan, di Pura dengan status apa dan siapa yang menghaturkannya.
Jika bebanten dihaturkan kehadapan Hyang Widhi di ajeng palinggih Padmasana, atau setidaknya di Pura dengan status Kahyangan Jagat, hingga Kahyangan Tiga, sepertinya umat dari kalangan manapun akan bisa menerima dan menikmatinya. Namun tak dapat dimungkiri, adakalanya dikait-kaitkan lagi dengan siapa yang menghaturkannya. Bila haturan bebantennya berasal dari kelompok yang dianggap tidak sewangsa/sesoroh, apalagi tidak menyama, seringkali ditolak, dan tak akan mau dinikmati lungsuran/surudannya.
Apalagi kalau haturan bebantennya berasal dari persembahan kehadapan Ida Bhatara-Bhatari kawitan/leluhur; lalu dihubungkan lagi dengan derajat (tinggi-rendah) posisi dalam strata wangsa/soroh, meski lungsuran/surudannya terbilang mengundang selera, dipastikan akan ditolak dengan berbagai alasan. Tak dinyana untuk urusan lungsuran/surudan sebagai bukti anugrah Hyang Widhi/Ida Bhatara-Bhatari yang sudah meraga suci/sunya, umat (damuh/panjak) justru merasa diri “lebih suci” hinga harus memilah dan memilih lungsuran/surudan mana yang boleh/mau diterima dan dinikmati.
Inilah realita kehidupan sosial keagamaan umat Hindu yang memang tak lepas dari pengaruh bius feodalisme. Meski konsep Hindu dengan lantang didengungkan dalam jargon sarwam idham khalu Brahman (semua makhluk adalah ciptaan Tuhan), sehingga terealisasi menjadi wasudewa kuthum bhakam (semua makhluk adalah bersaudara), tetapi kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa ada semacam klasifikasi/ klusterisasi dalam masyarakat Hindu (Bali). Rujukan konsepnya sebenarnya berasal dari kitab Bhagawadgita, IV. 13 perihal Catur Warna yang menggolongkan manusia berdasarkan guna (sifat) dan karma (kewajiban), sehingga berposisi horisontal/sederajat. Namun dalam perkembangannya, suka tidak suka, terima tidak terima, bermetamorfosa menjadi Catur Wangsa (menurut keturunan: wangsa/trah/soroh), yang pada kenyataannya kemudian, masyarakat Hindu (Bali) dibedabedakan struktur klas sosialnya secara vertikal (tinggi rendah/ atas-bawah).
Bahkan dari keempat kelompok wangsa itu, diklasisfikasi lebih eksklusif lagi menjadi dua golongan besar, yang satu dinamakan Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesia) dan satunya lagi lazim disebut Jaba (di luar wangsa: Sudra). Kalau sudah begini penjelasannya hal-hal yang berhubungan dengan lungsuran/ surudan bisa bertambah njlimet, ribet dan ruwet. Padahal pokok persoalannya sangat sederhana, menyangkut urusan menikmati, tepatnya memakan is in haturan bebanten yang sudah dipersembahkan dengan hati yang tulus ikhlas dan bemilai suci sebagai waranugraha Hyang Widhi/Ida Bhatara-Bhatari serta bermakna sebagai prasadham (hidangan suci).
Lain lungsuran/surudan, lain pula paridan, apalagi carikan. Kalau paridan berkaitan dengan persembahan bebanten yang setelah diparid (seperti natab) hanya boleh dinikmati oleh yang memarid (boleh juga untuk saudara muda/adiknya), seperti dalam contoh marid otonan. Sedangkan apa yang disebut carikan, konotasinya lebih kepada sesuatu, terutama yang berhubungan dengan sajian/hidangan/makanan yang masuk katagori “sisa" (barang bekas: laad-laadan), sehingga amat jarang mau diterima apalagi dinikmati orang lain.
Lepas dari persoalan istilah, sejatinya apa yang disebut lungsuran/surudan atau prasadham adalah utama karena berasal dari suatu persembahan suci, sebagaimana kitab suci Bhagawadgita, IV.31 menyatakan: Yajna sistamrtta bhujo, yanti Brahma sanatanam, na’yam loko ‘sty ayajnasya, kuto ‘nyah kurusattama (Mereka yang makan makanan suci setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersempahkan suatu pengorbanan atau yadnya, apalagi untuk dunia lainnya, wahai Kurusattama (Arjuna)”.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk berpikir, apakah hendak menerima atau berhasrat menolak nikmat berkah anugrah lungsuran/surudan, sebab sebelumnya telah dipersembahkan sebagai sajian suci bagi Hyang Widhi beserta manifestasinya, termasuk Ida Bhatara-Bhatari, kecuali mungkin yang dilekatkan label kawitan/leluhur yang memang tak pernah lepas dari embel-embel wangsa/soroh. Untuk yang disebut terakhir ini, bagi masyarakat Bali (Hindu) tradisional-konservatif memang masih diikuti/dilakoni dengan fanatik.
Namun bagi generasi mileneal yang begitu akrab bergaul dengan dunia kontemporer, fanatisme terhadap lungsuran/ surudan sudah semakin encer/ mencair, dianggap tidak masalah menikmati berkah yang berasal dari sajian persembahan, karena sudah menjelma menjadi suguhan berenergi, baik untuk asupan gizi jasmani maupun rohani, yang tentunya bersifat suci-sattwika, seperti ditegaskan di dalam kitab Bhagawadgita, XVII. 11: Aphalakan ksibhir yajno, widhidristo ya ijyate, yastawyam ewe ‘ti manah, samadhaya sa sattwikah (yadnya yang dipersembahkan sesuai dengan aturan kitab suci oleh mereka yang tidak mengharapkan ganjaran dan sangat percaya bahwa itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan, merupakan yadnya sattvika).
Dengan demikian, lungsuran/surudan yang dinikmatipun merupakan berkah anugrah yang bersifat sattwika, sebagai pondasi bagi usaha membangun karakteristik daiwi sampat (sifat kedewataan) yang sangat diperlukan dalam meruntuhkan kuasa asuri sampat (watak keraksasaan) yang kini tampak kian eksis di tengah kehidupan multi krisis seperti sekarang ini.
Sumber:
Juru Sapuh
Comments
Post a Comment