Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Pikiran dan Ego

Penyelaras Pikiran untuk Melampaui Ego

Kisah Guru, Murid dan Mantra
Di balik segala sesuatu ada gerakan, ada getaran. Gerakan dan getaran ini rupanya sinonim. Seseorang yang peka dapat merasakan aliran darah dalam dirinya. la juga dapat merasakan ritme jantungnya, denyutan otaknya. Getaran adalah gerakan, gerakan adalah getaran.

Dan oleh karena itu, kata kata menjadi sangat penting. Setiap kata mengeluarkan getaran tertentu. Getaran tersebut dapat mempengaruhi getaran dalam diri Anda. Selanjutnya dapat menyelaraskan  “gerakan-gerakan” yang tidak selaras, tidak serasi dalam diri Anda. Setiap kata dapat menyelaraskan  “gerakan-gerakan” yang tidak selaras,aliran darah yang terlalu. cepat atau terlalu lamban, detak jantung yang tidak teratur, denyutan otak yang kurang serasi, dan lain sebagainya.
Getaran getaran yang dikeluarkan oleh suara, oleh kata kata tertentu, tidak hanya mempengaruhi fisik Anda, tetapi juga pikiran dan rasa Anda. Bahkan lingkungan sekitar Anda pun terpengaruh olehnya. Obat obatan atau operasi, tidak dapat melakukan hal itu. Itu sebabnya para mistik jaman dahulu menggunakan mantra.  Getaran getaran yang dikeluarkan oleh suara, oleh kata kata tertentu. Jangan terkecoh oleh sebutan. Mantra berarti mantra atau alat untuk menyelaraskan “man” atau mind manusia. Sangat menarik untuk disimak pula bahwa suku kata “man” ini akan melahirkan kata ‘manusia’ (bahasa Inggris). Manusia adalah makhluk yang memiliki mind. Yang dimaksudkan mungkin, perkembangan mind dalam diri manusia bisa optimal. Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Dikisahkan oleh seorang Master tentang seorang murid yang bersemangat untuk memperoleh Pengetahuan Sejati Tertinggi dari Guru Pemandunya. Sang Guru memberinya mantra dan minta Sang Murid membacanya berulang-ulang tanpa keinginan yang egois. Sang Guru mengatakan setelah melakukan selama satu tahun baru datang lagi ke dirinya untuk menerima Pengetahuan Sejati Tertinggi.
Setelah satu tahun Sang Murid menghadap Sang Guru dengan bersemangat. Adalah seorang pelayan yang menyapu ashram yang lalai dan debu hasil sapu mengotori baju dan tubuh Sang Murid setelah dia bersuci. Sang Murid menjadi marah, wajahnya merah dan matanya melotot dan pelayan itu merasa ketakutan. Sang Guru memperhatikan kejadian tersebut dan berkata bahwa Sang Murid belum layak menerima Pengetahuan Sejati Tertinggi, karena marah kepada pelayan yang secara tidak sengaja mengotori tubuhnya. Sang Murid belum memiliki daya tahan dan diminta melakukan sadhana membaca mantra selama satu tahun lagi.
Pada akhir tahun kedua, Sang Murid kembali memasuki ashram dan pelayan yang menyapu ashram diberi instruksi oleh Sang Guru untuk kembali mengotori baju dan tubuh sang murid. Sang Murid akan marah tetapi menahan diri untuk tidak menunjukkan kemarahannya. Sang Guru memperhatikan kejadian tersebut dan berkata bahwa Sang Murid belum layak menerima Pengetahuan Sejati. Tahun lalu Sang Murid menunjukkan kualitas seekor ular dan saat ini kualitas seekor anjing. Sang Murid diminta melakukan sadhana untuk membersihkan diri dari sifat-sifat hewani selama satu tahun lagi.
Pada akhir tahun ketiga, Sang Murid kembali masuk ashram setelah bersuci dan sesuai instruksi Sang Guru, pelayan ashram menyiram Sang Murid dengan air kotor. Sang Murid justru berterima kasih kepada pelayan yang telah melakukan tindakan yang membuat dirinya menjadi sabar dan bijak. Sang Guru datang dan Sang Murid bersujud di hadapan Sang Guru dan Sang Guru berkata bahwa Sang Murid sudah layak menerima Pengetahuan Sejati Tertinggi.
Sang Murid Masih Dikendalikan oleh Panca Indera atau Sudah Mengendalikan Mereka?
Dasharatha adalah Ayahmu! Ia memiliki dasha atau “sepuluh” ratha, atau kereta perang di bawah perintahnya. Yang dimaksud di sini adalah kereta-kereta dari indera serta organ-organ indera Anda sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Inilah potensi Anda. Anda bisa memerintah mereka. Anda bisa mengendalikan mereka. Dengan membiarkan diri Anda terkendalikan oleh mereka, maka sesungguhnya Anda tidak menggunakan potensi Anda sama sekali. Terjemahan bebas dari (Krishna, Anand. (2010). The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Sang Murid telah melampaui Rasa Ego,

Menjadi Manusia Universal

Sejak masih bayi, kita mencatat apa saja yang berhubungan dengan diri kita. Ki Ageng Suryometaram mengatakan tugas juru catat itu seperti tanaman yang hanya bisa mencatat, tidak bisa bergerak bebas. Di luar diri otak mencatat dengan bantuan panca indera sedangkan di dalam diri otak mencatat dengan rasa (organ-organ panca indera yang berkaitan dengan pikiran).
Catatan yang jumlahnya berjuta-juta tersebut seperti hidupnya hewan. Hewan bisa bergerak mencari makan sendiri. Makanan catatan tersebut berupa perhatian, bila diperhatikan catatan berkembang subur, bila tidak diberi perhatian catatan akan mati.
Menurut Ki Ageng, setelah catatan itu cukup banyak maka “Kramadangsa” (nama kita sendiri, misalnya Triwidodo) lahir. Kita menganggap diri kita dilengkapi dengan catatan (1)harta milikku, (2)kehormatanku, (3)kekuasaanku, (4)keluargaku, (5)bangsaku, (6)golonganku, (7)jenisku, (8)pengetahuanku, (9)kebatinanku, (10)keahlianku, (11)rasa hidupku. Kita hidup dalam dimensi ketiga, bisa bergerak bebas mencari makan sendiri dan menggunakan pikiran dan rasa. Catatan-catatan inilah asal mula ego.
Catatan-catatan/informasi itu bersifat seperti hewan, bila diganggu marah. Sedangkan Kramadangsa/diri kita sebagai manusia sebelum bertindak atau marah bisa berpikir dahulu. Itulah bedanya hewan yang “fight or flight”, bertarung atau ngacir, sedangkan manusia berpikir dulu sebelum bertindak. Apabila diri kita terlalu terobsesi tentang kekuasaan/jabatan, maka untuk memperoleh peningkatan “catatan jabatan” kita bisa menggunakan segala cara untuk memperoleh jabatan, mengabaikan “catatan kehormatan”, “rasa hidup” dan “kepentingan bangsa”. Artinya pikiran kita kurang jernih.
Apabila pada waktu mencari jabatan aku berpikir, jabatan itu apa? Apakah jabatan itu abadi? Apakah aku akan mencari jabatan dengan mengabaikan hati nurani dan mengorbankan persatuan kebangsaan? Kemudian aku sadar bahwa aku bukanlah kumpulan catatan/informasi tentang jabatanku, kebatinan/hati nuraniku, bangsaku, maka kesadaran naik aku adalah saksi dari catatan/informasi. Dengan melampaui aku sebagai kumpulan catatan/ informasi maka menurut Ki Ageng kita sudah mulai menempuh sebagai Manusia Universal.
Pesan Utama Bapak Anand Krishna
“Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan” –
ini adalah kaidah utama dari semua agama dan kitab suci yang merupakan intisari dari psikologi spiritual transpersonal (melampaui ego pribadi).

“Memperdulikan sesama!”
Kalimat bijak ini adalah sebuah panggilan terhadap kesadaran kita dari kesadaran personal menuju kesadaran transpersonal (melampaui ego personal, ego pribadi)
Sang Murid Menyadari Identifikasi Dirinya dan layak menerima Pengetahuan dari sang Guru
Kesalahan Identifikasi Diri Menyebabkan Keterikatan dan Ego
Pertemuan antara Prakrti Alam Kebendaan dan benih Jiwa Agung atau Purusa itulah yang “menyebabkan” terjadinya alam semesta.
TANTANGANNYA IALAH ketika benih ini bertunas, berkembang, dan menjadi “sesuatu” — maka, apakah sesuatu itu mengidentifikasikan dirinya dengan Alam Kebendaan, Rahim yang melahirkannya, yakni Materi, atau dengan benih Jiwa Agung atau Spirit, Roh? Peran alam kebendaan dan benih Jiwa — dua-duanya sama pentingnya. Tidak ada keraguan atau dua pendapat dalam hal itu. Persoalannya bukanlah mana yang lebih penting. Dua-duanya penting.
Persoalannya adalah identiļ¬kasi apa yang dapat membahagiakan kita, dengan alam atau dengan Jiwa? Dan jawabannya jelas adalah identifikasi dengan Jiwa. Karena Jiwa tidak hanya bersifat abadi, tetapi juga tidak pernah berubah. Sehingga dapat menghasilkan kebahagiaan yang langgeng. Sementara, Alam Benda berubah terus. Jika kita fokus pada perubahan-perubahan yang terjadi, maka emosi kita, pikiran kita — semuanya ikut mengalami perubahan-perubahan yang kadang mernbuat kita bahagia, kadang larut dalam lautan kesedihan dan kepedihan. Penjelasan Bhagavad Gita 14:3 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma) #SpiritualIndonesia lewat #BhagavadGitaIndonesia

Sumber:
Juru Sapuh

Comments