Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Dewa dan Bhatara (betara)

Dewa dan Bhatara (betara)


Om Swastiastu, Om Ano Badrah Kratawo yantu wiswatah
Om Awighnamastu Namo Siddham
semoga Ida Hyang Paramakawi memberikan jalan terang bagi kita semua
ada banyak istilah dibali yang membingungkan keyakinan orang bali itu sendiri, salah satunya istilah Dewa dan Bhatara atau yang lebih dikenal dengan istilah betara.

  • sebenarnya apakah dewa dan bhatara itu sama? ataukah beda?
  • semua orang hindu mengetahui arti dari dewa tetapi agak samar dengan istilah bhatara. tetapi orang bali lebih mengenal bhatara/betara dibandingkan dewa, kenapa?
  • mungkin kita semua pernah mendengar istilah betara rambut sedana, betara dalem, betara khayangan tiga dll. apakah betara dalem sama dengan dewa siwa? ataukah betara rambut sedana atau sri sedana sama dengan dewa kuwera/kubera? dan banyak penamaan dewa serta betara lainnya.
kita mulai dari istilah umum Dewa dan Bhatara

Dewa dan Dewata

kata Dewa atau Dewata dalam weda diartikan cahaya, berkilau, sinar gemerlap, dan semuanya itu ditujukan kepad manifastasi-NYA. dewa juga berarti mahluk sorga yang sangat mulia.
dalam Kitab Nirukta disebutkan bahwa:
devo danad va dipanad va dyotanad va dyusthano bhavati itiva (Nirukta VII.5)
yang artinya:
Dewa adalah yang memberikan sesuatu kepada manusia. Tuhan sering disebut dewa karena beliau memberikan segala isi alam ini. matahari, bulan, dan isi langit adalah dewa, oleh karena mereka memberikan cahaya kepada semua ciptaan-Nya. seorang terpelajar (acarya) adalah juga dewa karena ia memberikan ilmu pengetahuan kepada muridnya (vidvamso hi devah).
dalam kitab Taittiriya Upanisad, menyebutkan ada 4 dewa yang hadir disekitar kita:
matrdevo bhava pitrdevobhava, acaryadevo bhava atithidevo bhava (Taittiriya Up.I.11)
yang artinya:
seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa dan para tamu pun adalah dewa.
menurut mantram upanisad diatas, maka ke 4 dewa itu adalah para dewa yang mempunyai badan kasar.

Jumlah Dewa Agama hindu

a nasatya tribhirekadasai ha devebhir yatham madhupeyam asvina, 
prayustaristam ni ripam si mrksatam sedhatam dveso bhavatam sacabhuva (Rgveda I.34.11)
artinya:
semoga engkau tiga kai sebelas (33) tidak pernah jatuh dari kesucian, sumber kebenaran yang memimpin kami menuju jalan untuk memperoleh kebajikan, semoga Tuhan merahmati persembahan kami, memperpanjang hidup kami, menghapus kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat jahat kami dan semoga semuanya tidak membelenggu kami.
srustivano hi dasuse deva agne vicetatasah, 
tan rohidasva girvanas trayastrimsatama a vaha (Rgveda I.52.2)
artinya:
ya Tuhan, engkaulah guru agung, penuh bijaksana, menganugrahkan karunia kepada mereka yang mempersembahkan karya-karyanya. ya tuhan, semoga para pencari pengetahuan rohani dapat mengetahui rahasia dari 33 dewa, (yang merupakan tenaga kosmos).
ye devaso divy ekadasa stha prthivyam adhy ekadasa stha, 
apsuksito mahinaikadasa stha te devaso yajnamimam jusadhavam (Rgveda I.139.11)
artinya:
wahai para dewa, sebelas di sorga, sebelas di langit dan sebelas di bumi, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini

 Nama-Nama Dewa dalam Agama Hindu

menurut Rgveda VIII.57.2, dan Brhadaranyaka Upanisad 111.9.1, dijelaskan bahwa seluruh dewa jumlahnya 33, menguasai tribhuana (bhur, bwah dan swah). seluruh dewa itu terdiri dari:
  • 8 Vasu (Astavasu)
  • 11 Rudra (Ekadasarudra)
  • 12 Aditya (dvadasaditya)
  • Indra, dan
  • Prajapati
yang termasuk dewa-dewa Astavasu adalah:
  1. Anala atau Agni (dewa api)
  2. Dhava atau Prthivi (dewi bumi)
  3. Anila atau Vayu (dewa angin)
  4. Prabhasa atau Dyaus (dewa langit)
  5. Pratyusa atau Surya (dewa matahari)
  6. Aha atau Savitr (dewa atariksa)
  7. Candra atau Soma (dewi bulan)
  8. Druva atau Druha (dewa konstelasi planet)
yang termasuk dewa-dewa Ekadasarudra (Visnu Purana 15, Amsa Purana 1) adalah:
  1. Aja Ekapat
  2. Ahirbudhnya
  3. Virupaksa
  4. Susesvara
  5. Jayanta
  6. Bahurupa
  7. Aparijita
  8. Stivitra
  9. Tryambaka
  10. Vaivasvata
  11. Hara
ekadasarudra diatas dihubungkan dengan prana dan atma dalam tubuh manusia dan dalam ajaran tantra 11 rudra tersebut dihubungkan dengan (disimboliskan) dengan 11 huruf suci, yaitu Da, Dha, Na, Ta, Tha, Da, Dha, Na, Pa, Pha, Ba. Rudra sering diidentikan dengan krodha dari siwa sebagai penguasa 11 penjuru (kiblat) di alam raya.
yang termasuk dewa-dewa Dvadasaditya:
adalah enam pasang dewa yaitu;
  1. Mitra-Varuna,
  2. Aryaman-Daksa,
  3. Bhaga-Amsa,
  4. Tvastr-Savitr,
  5. Pusan-Sukra
  6. Vivasvat-Visnu
(Rgveda 11.27.1).
menurut arti katanya, Aditya artinya hukum tertinggi. dalam hal ini Tuhan (brahman) dilambangkan pula sebagai hukum tertinggi. Tuhan sebagai penguasa atas hukum tertinggi dan sebagai pengatur alam semesta, menurunkan manifestasinya berupa enam pasang dewa yang merupakan wujud dewa transendent dan immanent (Rgveda X.63.2, Rgveda I.72.9, Rgveda VII.10.3, Atharvaveda XIII.1.38), diantaranya:
  1. Transendent:
    • Mitra (sahabat)
    • Aryaman (mengalahkan musuh)
    • Bhaga (pemurah)
    • Tvastr (pembentuk)
    • Pusan (energi)
    • Vivasvat (gemerlapan)
  2. Immanent:
    • Varuna (langit)
    • Daksa (ahli)
    • Amsa (yang bebas)
    • Savitr (pelebur)
    • Sukra (kekuatan)
    • Visnu (yang meresapi)
Didalam Rgveda X.36 disebutkan dewa-dewa yang datang dari penjuru yang kemudian dalam perkembangan berikutnya  (pada jaman purana) dikenal dengan Dewa Astadikpalaka (penguasa/pelindung 8 penjuru) dan di Indonesia khsusnya di Bali dikenal dengan sebutan "Dewata Nawa Sanga" (dengan Siva sebagai penguasa tengah), yaitu:
Arah PenjuruAstadikpalakaNawa SangaAstawara
Timur LautIsanaSambhuSri
TimurIndra (hujan)IswaraIndra
TenggaraAgni (api)Maheswaraguru
SelatanYama (hakim agung)BrahmaYama
Barat DayaSurya (matahari)RudraRudra
BaratVaruna (samudra)MahadewaBrahma
Barat LautVayu (angin)SangkaraKala
UtaraKuwera (kekayaan)WisnuUma
Dewa Astadikpalaka dibali lebih sering disebut dengan Dewa Loka Pala.
Pengenalan kedudukan dewa astadikpalaka beserta "laksana" (atributnya) berhubungan dengan upacara yadnya sesuai dengan ajaran Tantrayana dan Saiwa Siddanta yang sangat besar pengaruhnya di Indonesia dewasa ini.
Diantara 33 Dewa yang disebutkan dalam Rgveda,
Dewa Surya digambarkan sebagai Dewa tertinggi
Dewa dari seluruh Dewa. Surya merupakan sumber dan pendukung kehidupanyang memberikan sinar yang terang dan kegembiraan, melenyapkan kegelapan malam dari kebodohan, menurunkan pengetahuan kepada setiap mahluk dan memberikan cahaya kepada planet-planet di alam raya. ini bukti mantra yang mendukung bahwa Dewa Surya sebagai Dewa Tretinggi:
Udvayam tamasaspari jyotis pasyanta uttaram,
devam devatra suryamaganma jyotiruttamam (Rgveda 1.50.10)
artinya:
lihatlah menjulang tinggi di angkasa, cahaya yang terang benderang mengatasi kegelapan telah datang, ia adalah Dewa Surya, dewa dari seluruh dewata, cahayanya yang terang itu betapa indahnya.
SURYA bukanlah Bola MATAHARI, melainkan dewa tertinggi, dewa seluruh dewata. Menurut Bapak Made Titib, sesungguhnya semua dewa yang tersebut dalam weda adalah nama atau bentuk lain dari Surya, Dewa tertinggi. didalam Weda, dewa pada dasarnya adalah surya yang memancarkan cahanyaNYA sendiri, dan Dewi adalah aspek feminim dari dewata. Dewi pada dasarnya mengandung makna fajar dipagi hari (savitr).
Disamping Dewa Surya denga berbagai aspekNYA, dewa lainnya yang dominan dipuja dalam Veda adalah Agni (dewa api), Indra (dewa hujan, raja para dewa penguasa surga), Vayu (dewa angin) , juga dewi-dewi yang kerap dipuja atau disebutkan dalam mantra-mantra Weda diantaranya Saraswati, Savitri, Aditi, Suryaputri dan lain-lainnya. Dewa-Dewi tersebut pada umumnya digambarkan secara anthrophomorphic (berwujud seperti manusia) dengan aneka keunggulan dan kelebihannya (manusia super) lengkap dengan senjata dan kendaraannya. Arsitek Khayangan baik surga maupun neraka yang juga sebagai Dewa Seniman (the Gods og artists) adalah Visvakarma yang dibali dikenal dengan sebutan Bhagawan Wiswakarma yang sangat populer di dalam kitab-kitab itihasa dan Purana, beliau yang dipercaya dibali menurunkan kitab Asta Kosala-Kosali serta kitab-kitab yang berhubungan dengan seni arsitektur serta kesenian lainnya.
belakangan ini Dewa-dewa Veda seperti Indra, Vayu, Aditi dll tampaknya tidak dipuja lagi. mengapa terjadi hal tersebut?
ini sebagai akibat dari tidak perubahan pada jaman purana, dimana saat penyusunannya dewa tersebut tidak dipuja lagi,  fungsi dan perannya digantikan oleh tiga dewa utama yang dikenal dengan istilah "Tri Murthi".
  • Dewa Agni berubah menjadi Dewa Brahma,
  • Dewa Indra dan Varuna diidentikan dengan Dewa Wisnu, yang merupakan nama lain dari Surya.
  • Dewa Surya sendiri diidentikan dengan Siwa
ketiga dewa tersebut dengan "parivara-devata" (keluarga dewa, sakti berserta pengiringnya) mendapatkan pemujaan yang khusuk.
adapun dewa tersebut:
  • Dewa Brahma dengan saktinya Saraswati,
  • Dewa Wisnu dengan saktinya Sri dan Laksmi,
  • Dewa Siwa dengan saktinya Parwati, yang kemudian menjadi Durga dan kali, menjadi cikal bakal ajaran tantra.
demikian antara lain Dewa dan Dewi yang digambarkan selalu berwajah muda (nirjara).

apa perbedaan dari Dewa dengan Dewata?

dalam Katha Upanisad disebutkan bahwa:
Na tatra suryo bhati, na candra tarakam, nema vidyuto bhanti, kuto'yam agnih, tam eva bhantam anubhati sarvam tasty bhasa sarvam idam vibhati (Katha Up.II.2.15)
artinya:
matahari tidak bersinar disana, demikian pula bulan dan bintang, jadi dimanakah datangnya api ini? semuanya bersinar sesudah sinar-Nya. seluruh dunia disinari oleh sinar-Nya.
lebih jauh kita bisa temukan penjelasannya dalam kitab Nirukta tentang dewa dalam syair berikut ini:
maha bhagyad devataya ekam evatma bahudha  stuyate, ekasyatmano 'tye devah pratyangani bhavanti, karmajanmana, atmaivaisam rathebhavatyatma sva atmayudhamatmesava atma sarva devasya-devasya (Nirukta VII.4)
yang artinya:
oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari dewata (dalam hal ini Tuhan), yang merupakan jiwa alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian. lainnya para dewa hanyalah bagian dan atau manifestasi-Nya. Para dewa tampil dengan aneka wujud oleh karena berbagai aktifitas-Nya. kereta (ratha) adalah dewa, jiwa alam semesta, kuda kereta adalah cahanya-Nya, panah-panahnya adalah dewa merupakan cahaya-Nya adalah jiwa-jiwa yang sama. jiwa itu adalah dewa.
Betara atau Bhatara
Bhatara (Devanagari: भटर ; Bhaṭāra) adalah utusan Brahman (Tuhan) sebagai pelindung umat manusia dalam tradisi Hindu.
Bhatara tidak sepenuhnya berarti Dewa karena ada definisi yang berbeda antara Bhatara dengan Dewa. Namun dalam perkembangannya,
istilah Bhatara diidentikkan dengan Dewa. Bhatara berjenis kelamin wanita disebut Bhatari.
Bhatara berasal dari kata “bhatr” yang berarti pelindung. Bhatara berarti “pelindung", "pengayom", "yang dipertuankan".
Jadi bhatara adalah aktivitas sang hyang widhi sebagai pelindung ciptaanya, karena itu dalam pandangan agama hindu semua hal dialam semesta ini dilindungi oleh sang hyang widhi dengan gelar bhatara. ada begitu banyak nama-nama bhatara sesuai dengan tempat, fungsi dan kedudukannya. sebagaimana dikutip dalam ajaran siwa tatwa dalam agama hindu, sang hyang sapuh jagat apabila dia menjaga pertigaan, sang hyang catus pata/catur loka pala berkedudukan di perempatan jalan, sang hyang bairawi berkedudukan di kuburan, sang hyang tri amerta berkedudukan di meja makan. beberapa contoh nama bhatara di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak nama bhatara yang menandakan sifat sang hyang widhi yang wyapi wyapaka atau ada dimana-mana. jadi' bhatara bukanlah makhluk-makhluk halus atau utusan tuhan melainkan bagian dari tuhan itu sendiri
Di Bali para Dewa dan Dewi juga sering disebut dengan bhatara dan bhatari. Istilah Dewa yang berarti sinar, kurang akrab di hati masyarakat Bali. Berlainan halnya dengan bhatara. Bhatara dan bhatari adalah sosok yang saguna, sekala, tampak, berupa Dewa atau Dewi menjelma ke Dunia berwujud manusia. Bhatara merupakan sosok lambing maskulin, kejantanan, pria, laki-laki, lambing keperkasaan. Bhatari adalah sosok simbol feminism, kebetinaan, perempuan, wanita, symbol keibuan. Tugas penjelmaannya ini adalah untuk melindungi umat manusia dari kehancuran.
Dalam tradisi Hindu-Jawa umumnya, dan pada tradisi pewayangan khususnya, istilah Bhatara dipakai untuk merujuk kepada Dewa. Dalam tradisi Agama Hindu Dharma di Bali, istilah Bhatara diucapkan “Bêtarə (betare)”, dan disamakan atau bahkan diidentikkan dengan Dewa, karena sama-sama berfungsi sebagai pelindung, contohnya: Bhatara Wisnu, Bhatara Brahma, Batara Kala, dan sebagainya

Perbedaan Bhatara dengan Dewa

Dalam filsafat Hindu Advaita Vedanta, Dewa merupakan sinar suci atau manifestasi dari Brahman, atau Tuhan yang dipuja berdasarkan fungsi tertentu. Dalam hal tersebut, para Dewa berbeda dengan Bhatara, karena Dewa merupakan sinar suci Brahman sedangkan Bhatara merupakan aktivitas dari hyang widhi sebagai pelindung. dalam penerapannya di masyarakat hindu nama bhatara lebih dikenal dari istilah dewa, hal ini disebabkan karena manusia pada umumnya menginginkan perlindungan.
beberapa contoh perubahan istilah dari dewa menjadi bhatara:
  1. dewa brahma = bhatara brahma 
  2. dewa wisnu = bhatara wisnu 
  3. dewa siwa = bhatara siwa 
  4. dewa iswara = bhatara iswara 
  5. dewa mahadewa = bhatara mahadewa dst
Sesuai dengan artinya, fungsi Dewa adalah untuk menyinari, menerangi alam semesta agar selalu terang dan terlindungi. Dalam Agama Hindu dikenal banyak Dewa dengan berbagai fungsinya, antara lain:
  • Dewa Indera adalah yang menguasai ilmu perang raja surga;
  • Dewa Brahma adalah pencipta alam semesta beserta isinya;
  • Dewa Wisnu sebagai pemelihara dunia beserta isinya;
  • Dewa Siwa sebagai pemeralina yang mengembalikan dunia kembali ke asalnya;
  • Dewa Baruna sebagai penguasa laut;
  • Dewi Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan;
  • Dewa Ganeca sebagai kecerdasan dan penyelamat umat manusia;
  • Dewi Sri sebagai sumber kemakmuran serta kesuburan;
  • Dewa Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan. dll
Dalam Agama Hindu dikenal ada banyak Bhatara, antara lain:
  • Bhatara Bayu yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan udara atau angin.
  • Bhatara Indra yang mempunyai kekuatan untuk mengadakan hujan.
  • Bhatara Agni yang mempunyai kekuatan untuk menjadikan api yang panas.
  • Bhatara Basuki yang mempunyai kekuatan untuk menciptakan kesuburan.
  • Bhatara Anantaboga yang mempunyai kekuatan untuk menstabilkan bumi
  • dan lain sebagainya..

Mitologi 9 Dewa di Bali

Bali, dikenal dengan julukan pulau seribu pura. Dan bila masing-masing pura itu ada satu Dewa yang distanakan, berarti ada seribu Dewa di Bali. Itulah alasannya, kenapa kemudian Bali juga diberi julukan Pulau Dewata. Pulaunya para Dewa. Kalau memang demikian, seharusnya Pulau Bali adalah pulau yang aman tenteram, kerta raharja dan gemah ripah loh jinawi. Di Bali, pura juga disebut kahyangan atau parhyangan. Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, fungsi purayakni sebagai tempat memuja Hyang Widhi Wasa, dalam setiap Prabawa (manifestasi-Nya) dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). Di Bali, puradikeompok-kelompokkan dengan tujuan meningkatkan pengertian dan kesadaran umat terhadap pura, sebagai tempat suci dan menghindari adanya salah tafsir, bahwa dengan adanya banyak pura dan juga banyak pelinggih di suatu pura, agama Hindu dianggap polytheistic.
Adapun dasar pengelompokkanpura di Bali, yakni : tattwa Agama Hindu yang berpokok pangkal pada konsepsi ketuhanan :”Ekam sat wipra bahudha vadanti” (hanya satu Tuhan Yang Maha Esa orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama), “Brahman Atman Aikyam” (Brahman dan Atman pada hakekatnya adalah tunggal). Karena itu, bilamana anda sudah memahami ajaran Kanda Pat, maka sembahyang di pura ataupun di rumah tidak akan jadi masalah, hasilnya akan sama saja. Artinya bagi anda yang sudah menguasai ajaran ini, dalam melakukan sadhana-sembah-bakti kehadiran ke pura bukanlah persyaratan mutlak.
Untuk mempermudah pengertian kita, dan berdasarkan arah mata angin, maka ada 9 Dewa yang berkuasa di jagat ini. Yang masing-masing berstana di 8 penjuru mata angin dengan Siwa di tengah sebagai pusatnya. Mereka kemudian disebut Dewata Nawa Sangga. Dewata Nawa Sangga merupakan sembilan Dewa utama dalam agama Hindu. Mereka memiliki peran yang sangat penting di Dunia ini seperti : Menjadi guru Dewa yang telah menurunkan berbagai ilmu pengetahuan kepada manusia, serta akan menuntun kita mencapai moksa. Dewata Nawa Sangga merupakan penguasa di Sembilan penjuru mata angin. Dan menjadi pelindung serta memberikan vibrasi kesucian di setiap hari.
Dewata Nawa Sangga terdiri dari tiga kata yaitu :Dewa yang berarti sinar suci Tuhan, Nawa yang berarti Sembilan dan Sangga yang berarti kumpulan. Jadi Dewata Nawa Sangga adalah kumpulan Sembilan Dewa utama dalam agama Hindu.
Penguasa 8 penjuru mata angin
Adapun posisi Dewata Nawa Sangga di delapan penjuru mata angin, berdasarkan kekuasaannya, kendaraannya, warna dan senjatanya adalah sebagai berikut :
  1. Dewa Iswara merupakan peguasa arah timur berkendaraan gajah, warnanya putih bersenjata Bajra.
  2. Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan. Berkendara angsa, warnanya merah, bersenjata gadha.
  3. Dewa Mahadewa merupakan penguasa rah barat. Berkendaraan Naga, warnanya kuning, bersenjatakan panah Nagapasa.
  4. Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara. Berkendaraan Garuda, warnanya hitam, bersenjatakan Cakra.
  5. Dewa Sambu merupakan peguasa arah timur laut. Berkendaraan Detya, warnanya abu-abu, bersenjatakan Trisula.
  6. Dewa Mahesora merupakan penguasa arah tenggara. Berkendaraan Macan, warnanya merah muda, bersenjatakan Dupa.
  7. Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya. Berkendaraan Lembu, warnanya orange, bersenjatakan Moksala.
  8. Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut. Berkendaraan Singa, warnanya hijau, bersenjatakan Angkus.
  9. Dewa Siwa merupakan penguasa di pusat jagat, berkendaraan Lembu Andini, warnanya manca warna, bersenjatakan Padma Trisula.
Untuk mewujudkan keberadaan beliau secara sekala, dan demi menjaga keamanan serta kesucian Bali. Maka para leluhur terutama para Maharsi, para Mpu, Dewata Nawa Sangga kemudian distanakan di Sembilan pura, yang dibangun berdasarkan 8 arah mata angin di Bali.
Berdasarkan hasil “Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu”, yang berlangsung bulan Maret 1981, dihubungkan dengan konsepsi Padma Bhuwana, maka terdapat Sembilan Kahyangan Jagat (Pura) di Bali. Yang kemudian menjadi stana Dewata Nawa Sangga yaitu :
  1. Pura Lempuyang (karangasem) di timur sebagai sthana Dewa Iswara.
  2. Pura Andakasa (karangasem) di selatan sebagai sthana Dewa Brahma.
  3. Pura Batukaru (tabanan) di barat sebagai sthana Dewa Mahadewa.
  4. Pura Ulun Danu Batur (bangli) di utara sebagai sthana Dewa Wisnu.
  5. Pura Besakih (karangasem) di timur laut sebagai sthana Dewa Sambu.
  6. Pura Goa Lawah (Klungkung) di tenggara sebagai sthana Dewa Mahesora.
  7. Pura Uluwatu (Badung) di barat daya sebagai sthana Dewa Rudra.
  8. Pura Pucak Mangu (Badung) di barat lut sebagai sthana Dewa Sangkara.
  9. Pura Pusering Jagat (Gianyar) di tengah sebagai sthana Dewa Siwa.

Istadewata

Menurut Ngurah Nala, Istadewatadi dalam Kamus Sansekerta-Indonesia (Astra, 1985), kata ista bermakna mencari, yang diingini, dicintai. Sedangkan kata dewata diartikan sebagai kekuatan, kesadaran. Menurut Apte (1978), istadewata berarti Dewa yang sangat dicintai dan dipuja. Dewa yang sangat didambakan dan sebagai pelindung, yang selalu memberikan pertolongan kepada pemuja-Nya. Jadi, istadewata merupakan istilah untuk Dewa (termasuk Dewi, para Dewa dan para Dewi) yang sangat dipuja, dan dicintai oleh pemujaNya. Selain itu, Dewa ini juga berfungsi sebagai pelindung terhadap umatNya. Dewa ini merupakan Dewa pujaan yang paling diminati, sangat diidam-idamkan sesuai fungsi atau profesinya atau profesi pemujaNya.
Sedangkan menurut Puja dkk (1982) dalam Siwa Sasana, memberikan makna yang agak berbeda tentang istadewata. Kata dewata diartikan sebagai Dewanya para Dewa. Bukan berarti banyak Dewa Dewata kadang pula disebut dengan istilah istadewa atau istadewata. Yang dimaksudkan dengan Ista Dewata ini adalah Tuhan Yang Maha Pencipta dan Esa, yang tiada lain adalah Dewa Siwa. Dewata sebagai suatu istilah yang keberadaannya selalu tunggal, esa, tidak jamak. Ista Dewata merupakan sumber atau asal dari semua ciptaan, baik alam semesta dengan segala isinya, maupun para Dewa. Ista Dewata adalah titik pusat cakra, yang dikenal dengan nama windu atau bindu. Setiap cakra akan mengelilingi windu sebagai titik pusat putaran.
Umat Hindu di Bali yang mayoritas menganut ajaran Siwa Sidhanta, menurut mereka yang dimaksud istadewata adalah Dewa Nawasanga (Nawasangga). Kesembilan Dewa ini adalah para Dewa yang melinggih, bersthana, berada di delapan arah penjuru mata angin ditambah satu Dewa berada di tengah-tengah. Kedelapan Dewa sesuai arah mata angin adalah Dewa Iswara malinggih di timur (purwa), Maheswara di tenggara (agneya), Brahma di selatan (daksina), Rudra di baraat daya (neriti), Mahadewa di barat (pascima), Sangkara di barat laut (wayabya), Wisnu di utara (uttara), Sambhu di timur laut (ersania), ditambah Dewa Siwa yang malinggih di tengah-tengah (madya). Seperti yang sudah disebutkan di muka.
Kesembilan Dewa inilah yang dipercayai dan diyakini oleh umat Hindu di Bali, yang dianggap mampu memberikan kesejahteraan, kedamaian, perlindungan dan pertolongan, serta menjaga keselamatan umat dari mara bahaya, yang selalu datang dari sembilan arah penjuru mata angin. Jadi, wajarlah jika para Dewa ini disebut sebagai istadewata oleh mereka, Dewa yang amat diinginkan serta didambakan keberadaanNya oleh umat Hindu di Bali, yang diyakini akan mampu menentramkan batin mereka.

Sang Hyang

Menurut Kamus Kawi-Indonesia (Wojosito, Th,-), kata sang adalah partikel penghormatan, kata tunjuk orang. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1998), kata sang adalah kata penyerta yang menyatakan hormat, dipergunakan di depan nama Dewa, atau di depan nama benda yang dimuliakan. Kata hyang berarti Dewa, bhatara, atau yang dipuja, yang dihormati. Oleh sebab itu kata Sang Hyang sering pula dipergunakan sebagai pengganti kata Dewa atau Bhatara. Contoh, Dewa Siwa disebut Sang Hyang Siwa. Dewa Iswara dihormati sebagai Sang Hyang Iswara. Dewa Brahma dipuja sebagai Sang Hyang Brahma. Dewa Mahadewa disebut Sang Hyang Mahadewa. Dewa Wisnu dengan panggilan Bhatara Wisnu, dan seterusnya.
Selain itu, dalam bahasa Kawi kata hyang selain identik dengan Dewa, bisa juga berarti suci. Jadi, tak perlu repot atau menjadi bingung. Sebutan manapun yang dipakai atau dipilih semuanya benar. Hal ini berkaitan erat dengan rasa bakti, kemantapan serta penghayatan akan hakekat Brahman, Hyang Widhi atau Tuhan itu sendiri. Tidak tergantung kepada nama atau sebutannya.

Perang sepanjang masa

Mungkin disini ada sedikit pertanyaan.
Mengapa para Dewa digambarkan sebagai seorang panglima perang? 
Apakah mereka akan berperang? 
Dengan siapa para Dewa berperang? 
Perhatikanlah kutipan berikut :
  • Dewa Iswara rupanya putih, senjatanya bajra, mengendarai gajah. 
  • Dewa Brahma rupanya merah, senjatanya gada, mengendarai Angsa. 
  • Dewa Mahadewa rupanya kuning, senjatanya Nagapasah, mengendarai Naga. 
  • Dewa Wisnu rupanya hitam, senjatanya Cakra, mengendarai Garuda. 
  • Dewa Siwa rupanya mancawarna, senjatanya Padma, mengendarai Lembu. 
Dan masih banyak Dewa-Dewa lainnya. Semuanya digambarkan membawa senjata dengan pakaian perang, serta mengendarai binatang.
Dalam mitologi Hindu, ada banyak cerita tentang peperangan antara Dewa-Dewa dengan para raksasa. Kelihatannya, seakan-akan para Dewa dengan para raksasa itu, terus-menerus berperang. Bahkan konon, hari raya Galungan dan Kuningan yang merupakan hari raya besar Hindu di Bali, merupakan hasil peperangan antara Dewa Indra dengan raksasa Maya Denawa. Karena itu pulalah hari raya itu, disebut sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma.
Menurut Kena Upanisad, yang diulas oleh Rohit Mehta. Hal ini tidak aneh, karena
mereka mewakili dua pihak yang berlawanan dari pikiran. Dan peperangan yang terus menerus – perang sepanjang masa – antara kedua itu, merupakan kehidupan pikiran itu sendiri. Maka dari itu, hendaknya kita tidak lupa bahwa, Dewa-Dewa itu merepresentasikan pikiran – yang oleh buku-buku keagamaan digambarkan sebagai pikiran lebih tinggi, atau pikiran positih. Yang bertentangan dengan pikiran lebih rendah atau pikiran negative, yang direpresentasikan para raksasa. Meskipun Dewa-Dewa itu digambarkan melambangkan pikiran yang lebih tinggi atau pikiran positif – mereka tetap merupakan bagian dari kemasan pikiran dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Artinya tetap ada kemungkinan untuk menjadi sombong dan tersesat.
Dan contoh cerita berikut bisa dijadikan gambaran. diambil dari cerita pewayangan yang berjudul Wahyu Makutarama. Dikutip dari buku “Wayang dan filsafat Nusantara” tulisan Dalang Ir. Sri Mulyono (Alm.).
Alkisah, dalam suatu sidang kabinet Astina, Lesmana mendapat perintah dari ayahnya untuk mencari Wahyu Makutarama ke puncak gunung Sewalagiri. Lesmana dikawal pasukan lengkap dalam siaga satu, dibawah pimpinan Panglima perang Basukarna. Namun para Kurawa – pikiran rendah atau negative – tidak mampu menyingkirkan empat Bayusuta bersaudara, yang menjaga Suwelagiri. Mereka itu adalah Anoman (melambangkan nafsu putih), Liman Situbanda (melambangkan nafsu hitam), Garuda Maharimba (melambangkan nafsu kuning) dan Naga Kewara (melambangkan nafsu merah).
Pendek kata Lesmana gagal. Mengapa ia gagal?
Karena barang siapa ingin mencapai ngelmu kesampurnan, haruslah dapat menghancurkan dirinya terlebih dahulu. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya pribadi (egoism), sombong, angkuh, takabur dan masih menyala-nyala nafsu angkaranya, tidak mungkin dapat mencapai tujuan. Termasuk juga dalam memahami ajaran Kanda Pat Dewa ini. Di lain pihak, Arjuna pun mendapat tugas yang sama yaitu mencari Wahyu Makutarama di puncak Gunung Sewalagiri.
ilustrasi lainnya;
Dikisahkan, Arjuna sedang dalam keadaan sedih dan gelap hatinya. Karena belum menemukan jalan untuk memperoleh wahyu. Kegelapan hati dan ketidaktahuan Arjuna ini disimbolkan dengan adegan Arjuna di tengah hutan lebat belantara. Ia duduk bersila di atas batu gilang, bagaikan permata lepas dari embannya. Tepekur dengan khusuknya, di bawah rindangnya pohon beringin. Ia tenggelam dalam renungan menunggu datangnya terang dan cahaya.
Tiba-tiba terbangun dan sadar, bahwa ia tidak sendirian. Ia bersama dengan kawan yang bijak;
Siapakah mereka itu?
Mereka adalah Tualen dan Merdah. Dalam kegelapan, Tualen berfungsi sebagai Badranaya, yaitu sebagai tuntunan dan pemberi petunjuk. “O, Tuanku”, Tualen menyapa dengan sopannya : “Dalam mencari wahyu, orang tidak dapat mengandalkan kuatnya otot, kukuhnya badan dan tajamnya nalar belaka. Tetapi bekal yang utama dalam olah ngelmu adalah kesentosaan batin, kemauan dan tekad. Karena itu ikutilah empat petunjukku yaitu, Heneng, Hening, Hawas dan Heling".
Heneng artinya mampu mengheningkan dan melawan getaran kehendak yang jahat, karena itu hendaknya tuanku, mampu menghindar dari keinginan-keinginan yang menggoda. Hening; artinya, jernihkan pikiranmu. Jangan sampa dapat dikotori dan bercampur dengan “jlantahnya nafsu angkara”. Hawas; artinya, waspadalah terhadap hambatan, rintangan dan segala sesuatu yang menyebabkan kegagalan. Heling; artinya, ingatlah bahwa manusia itu makhluk diciptakan oleh Sang Pencipta. Manusia memang wajib berusaha sekuat tenaga, namun serahkan hasilnya kepada Sang Pencipta. Karena itu setiap tindakan yang tuanku lakukan hendaknya disertai doa kepada Sang Pencipta, agar tuanku diberi kemudahan, petunjuk dan anugrah-Nya.
Petuah tualen tersebut bagi Arjuna benar-benar merupakan pelita dalam kegelapan. Maka dalam perjalanan selanjutnya diceritakan, di tengah hutan ang gelap itu Arjuna kemudian dihadang oleh tiga raksasa, yaitu;
  • Bhuta Cakil (melambangkan nafsu kuning), 
  • Bhuta Rambut Geni (melambangkan nafsu merah), dan 
  • Bhuta Pragalbo (melambangkan nafsu hitam). 
Satu persatu raksasa itu dengan mudah dikalahkan oleh Arjuna. Tingglah raksasa Pragalbo yang kemudian dengan garang menerkam Arjuna. Tanpa beranjak dari tempatnya, Arjuna mengayunkan tangan kanannya, menempeleng kepala raksasa Pragalbo, yang kemudian tersungkur tak berkutik lagi, mati seketika. Kejadian ini membuat Arjuna menjadi sombong, takabur. Ia sesumbar dan menganggap dirinya sebagai manusia paling sakti dan tak terkalahkan. Manusia setengah Dewa sakti manderaguna.
Namun malang bagi Arjuna, kesombongannya harus dibayar mahal. Karena Betara Guru tidak terima dengan kesombongan Arjuna, lalu “masuk” ke tubuh raksasa Pragalbo. Pragalbo bangkit, langsung menggigit Arjuna hingga tewas. Kejadian ini membuat Tualen marah, maka dihajarlah raksasa Pragalbo habis-habisan, sehingga Bhatara Guru menampakkan diri. “Kakang Tualen” Bhatara Guru mulai memberikan penjelasan. “Ketahuilah bahwa ternyata Arjuna kini masih belum dapat heneng dan hening hatinya. Ia masih diliputi angkara, sifat tergesa-gesa adigang, adigung, adiguna. Kalau sifat ini berkembang tentu akan mendatangkan malapetaka. Jadi jelas, saat itu perlu dipersiapkan. Dan percayalah, bahwa Arjuna akan memperoleh wahyu, asalkan ia sabar, tenang, rela ikhlas dan pasrah”, kata Bhatara Guru.
Singkat cerita, Arjuna kemudian berhasil mendapatkan Wahyu Makutarama. Untuk merayakan keberhasilannya itu keluarga Pandawa kemudian menggelar upacara Dewa yadnya, “Ngenteg Linggih Padudusan Agung”, sebagai rasa terima kasih atas anugrah yang diberikan Sang Pencipta.
Tiba-tiba Tualen bertanya kepada Arjuna, “tuanku berapa banyak Dewa yang harus dimintai pertolongan oleh pendeta untuk melindungi yadnya, agar bisa aman dan selamat?"
Arjuna berkata, “Hanya satu Dewa yang harus dimintai pertolongan”.
Tualen bertanya, “Siapakah Dewa yang satu itu, yang memberikan jaminan perlindungan sepenuhnya apabila dimintai pertolongan?”
Arjuna menjawab, “Pikiran saja-karena pikiran sesungguhnya tak terbatas-anantam-vai-manah”.
SemuaDewa itu hanyalah merupakan produk-produk pikiran, dan karenanya dengan pertolongan pikiranlah yadnya itu dapat sepenuhnya dilindungi. Ingat, sebagaimana engkau berpikir, begitulah engkau menjadi. Begitu kata kitab suci.
Dan di dalam kitab-kitab Upanisad pun disebutkan “barang siapa yang dapat membebaskan pikirannya dari pengaruh-pengaruh sattwa, rajas dan tamas. Maka orang itu akan memiliki pikiran terbuka. Pikiran yang terbuka adalah pikiran yang menyadari, yang telah dijelaskan oleh pengetahuan. Ini adalah pikiran sensitif, yang siap menerima bahkan isyarat yang paling samar-samar sekalipun tentang Brahman-ini sesungguhnya adalah pikiran yang dapat memberikan respons kepada suara keheningan”.
Pikiran yang bebas dari seluruh atributnya pasti akan berhadapan dengan kekosongan-karena semua proyeksinya telah lenyap. Seluruh kreasi pikiran hilang-pikiran menghadapi kekosongan, artinya pikiran tanpa aktivitas pikiran atau pikiran tanpa berpikir. Pikiran plong, kosong. Dan di dalam kekosongan itulah Brahman bersemayam.

Sumber:
Juru Sapuh

Comments