Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Sejarah Saiva Siddhanta

Sejarah Saiva Siddhanta


Filsafat Saiva merupakan satu cabang dari agama, di mana gambaran perbedaannya adalah pemujaan bentuk phalus dari Saiva. Saiva sebagai satu agama telah ada sejak jaman prasejarah, terbukti dari hasil penggalian arkeologi yang diketemukan di Harappa dan Mahenjodaro dan memiliki sejarah yang berlanjut paling kurang 5.000 tahun lamanya. Simbol phalus dari Saiva, seperti diketemukan pada reruntuhan peradaban lembah sungai Indus, yang bahkan hingga saat ini merupakan obyek
pemujaan di antara para pengikut aliran Saiva, yang merupakan keyakinan hidup di seluruh bagian India. Dan para arkeologis di Harappa menemukan Saiva Lingam, benda-benda dari tanah lihat yang dibakar, dengan puncaknya yang bulat, yang menurut perkiraan Dr. R. E. M. Wheeler, merupakan sebuah phalus, dan sebuah cincin tebal yang lebar, yang dinyatakan sebagai sebuah Yoni (prinsip wanita), yang membawa pada suatu kesimpulan, bahwa pada jaman itu telah terdapat suatu bentuk agama yang bercirikan pemujaan Saiva dan Sakti dalam pertemuannya yang berbentuk simbol Lingam dan Yoni.
Penemuan barang-barang tersebut menunjang pendapat yang dinyatakan oleh Mr. R.D. Banerji tentang sebuah bejana atau tanki air yang diperlengkapi dengan saluran sempit yang tertutup, yang diketemukan di Harappa dan juga di Mahenjodaro, yang dipergunakan sebagai Carasamatakusda, yaitu suatu tempat menyimpan air suci yang dipergunakan untuk mencuci (memandikan) patung-patung yang disakralkan; karena sampai sekarang pun tanki semacam itu merupakan suatu gambaran umum dari kuil-kuil Saiva.
Apabila kita menoleh sebentar pada sejarah awal dari India, kita akan mendapatkan bahwa banyak raja dan anggota kerajaan yang memuja Saiva dan mendirikan kuil-kuil untuk menghormati Saiva yang bahkan hingga sekarang masih tetap berdiri tegak. Kuil Pasupati di Nepal telah ada ketika raja Asoka mengunjungi lembah tersebut pada tahun 50 SM dan putrinya bernama Carumati, yang menemaninya tetapi tetap tinggal di sana ketika ayahnya kembali, mendirikan sebuah biara wanita di bagian Utara dari Pasupatinatha tersebut. Asoka sendiri adalah seorang pemuja Saiva pada awal kehidupannya dan Jalauka, salah seorang putra Asoka yang merupakan seorang raja Kasmir yang kuat dan aktif, bermusuhan dengan Buddhisme dan merupakan pemuja Saiva. Ia beserta permaisurinya Isanadevi, banyak mendirikan kuil-kuil Saiva, yang salah satunya dinamakan Asokesvara.
Andhra menjadi merdeka segera setelah kematian Asoka pada tahun 252 SM, di bawah pemerintahan seorang raja yang bernama Simuka dan selama pemerintahan dari 50 orang raja yang secara berhasil memerintah selama 400 tahun, pemujaan Saiva menjadi sangat terkenal. Kuil-kuil yang dibangun selama dua abad dari pemerintahan awal dinasti Chalukya dari Vatapi (550-750), walaupun sekarang ini berupa reruntuhan, menjadi peringatan yang berharga dari raja-raja pada masa tersebut. Raja Kassa I, 760 Masehi pengganti dan paman dari Dantidurgha (seorang kepala keluarga besaratau klan Rasprakupa kuno yang menjatuhkan raja Kirtivarman II, putra dan pengganti dari Wikramaditya II), merupakan seorang pemuja Saiva yang besar, seperti yang terbukti dari kebanyakan bentuk-bentuk arsitektur indah dan ajaib kuil manolistik Kailasa dari Ellora.
Pasini adalah seorang pengikut Saiva, di mana 14 buah sutranya yang pertama dari karya tata bahasanya merupakan gambaran jelas tentang suara-suara atau bunyi yang kurang jelas, yang berasal dari gendang tangan Saiva yang dikenal sebagai Dhakva (Dhamaru) dan membentuk 14 pasang sutra tersebut. Kalidasa juga adalah seorang Saiva dan mengikuti pendapat dari Nandikesvara tentang hubungan anatara Saiva dan Sakti dan beliau mengakui bahwa terdapat penyatuan yang tak terpisahkan antara keduanya seperti juga antara bahasa artinya. Sambil menolak keterpisahan antara Saiva dan Sakti, Nandikesvara juga menyebutkan dua kesamaan dari bulan dan sinarnya, dan dari bahasa dan artinya (candracandrikayoryadvad yatha vagarthayor iva).
Apa pun yang telah terjadi berkenaan dengan pertentangan antara Brahmanik terhadap Saivaisme pada periode awal Veda, dengan mengatakan kepada para pengikutnya sebagai para pemuja phalus dan sebagainya, maka pertentangan ini lenyap dengan berlalunya waktu dan Brahmanisme serta Saivaisme mendapat kemufakatan, karena terbukti dari kesimpulan ratusan nama Saiva dalam Sukla dan Kausa Yajur Veda dan banyak sekali pernyataan tentang Saiva di dalam Atharva Veda dan perubahan tentang konsep Tuhan yang menakutkan di bawah nama Rudra menjadi pelindung ternak di bawah nama Pasupati.
Pada akhir periode Veda, pada buku ke 10 dari Taittiriya Aranyaka, kita mendapatkan lima mantra yang merupakan dasar dari sistem filsafat Lakulisa Pasupata dan dua sistem filsafat yang mendasarkan pada Veda, yaitu Nyaya dan Vaisesika, menyatakan filsafat Saiva dualistik, menurut Haribadra Suri dan Rajasekhara, seperti yang dinyatakan dalam ringkasan dari 6 (enam) sistem filsafat India, yang disebut dengan nama yang sama yaitu Sad Darsana Samuccaya. Walaupun kebanyakan dari karya-karya tentang 8 (delapan) sistem filsafat Saiva sekarang berlaku, yang secara pribadi mengikuti otoritas dari Saivagama, namun masing-masing dari padanya mengambil dari naskah-naskah Veda, paling tidak menunjukkan bahwa pada prinsipnya bersesuaian dengan naskah Veda itu sendiri.
Kepustakaan yang berlaku sekarang ini menunjukkan bahwa terdapat 8 (delapan) aliran filsafat Saiva, yaitu:
  1. PaSupata Dualisme;
  2. Saiva Siddhanta Dualisme;
  3. Dvaitadvaita Saivaisme dari Lakulisa Pasupati;
  4. Visistadvaita Saivaisme;
  5. Visessdvaita Saivaisme atau Vira Saiva;
  6. Nandikesvara Saivaisme;
  7. Rasesvara Saivaisme;
  8. Saiva Monistik dari Kasmir.
Namun menurut Abhinavagupta dalam Tantra Lokanya terdapat tiga golongan sistem filsafat Saiva, yaitu:
  1. Dualisme,
  2. Advaitddvaita,
  3. Advaita (monistik),
yang masing-masing berdasarkan pada 10 (sepuluh), 18 (delapan belas), dan 64 (enam puluh empat) Saivagama. Jadi secara logika, filsafat Saiva berkembang dari Dualistik menuju Monistik, melalui Advaitadvaita.
Ketiga kelompok Saivagama ini dikenal dengan tiga nama Saiva yang berbeda, yaitu:
  • Dvaita dengan Saiva,
  • Dvaitadvaita dengan Rudra,
  • Advaita dengan Bhairava,
yang berasal dari mulut yang berbeda dari lima muka (Pancavaktra) Saiva. Saiva Dvaita dikatakan berasal dari Isana, Tatpurusa dan Sadyojata; Dvaitadvaita dari Varna dan Aghora, dan Advaita Saiva dari pertemuan Saiva dan Sakti.

Juru Sapuh

Comments