Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Swadharma dan Paradharma

Swadharma dan Paradharma


reyan wã-dharma wigunah paradharmat swanusthitat,
Swa-dharme nidhanam sreyah paradharma bhayãwahah
Lebih baik melakukan dharmanya sendiri walaupun tidak sempurna dan pada melaksanakan dharma orang lain walaupun dikerjakan dengan sempurna. Lebih baik mati dalam menyelesaikan dharmanya sendiri dari pada mengikuti dharma orang lain yang berbahaya. (Maswinara, 1997: 181-182).

Istilah swadharma dan para-dharma sudah sangat sering didengar, dibicarakan, dipraktekkan, dan dijadikan bahan kajian oleh para sedharma di tanah air Indonesia. Ternyata istilah ini begitu pas dan relevan bagi umat Hindu yang merupakan ajaran suci tersurat dalam pustaka suci Bhagawadgita sebagaimana telah disitir di depan. Kata swadharma dan paradharma berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata swa, para dan dharma. Kata swa artinya sendiri, diri sendiri, aku, orang-orang dan golongan sendiri, teman. Kata para artinya lebih jauh, kemudian, masa lalu, amat, tertinggi, mulia, lain. Kata dharma artinya lembaga, adat, kebiasaan, aturan, kewajiban, moral yang baik, pekerjaan yang baik, kebenaran, hukum, keadilan. Kata swadharma artinya kebenaran sendiri, kewajiban sendiri. Sedangkan paradharma artinya aturan atau kewajiban orang lain atau kasta lain.
Menyimak dan beberapa pengertian swadharma dan pradharma sesuai Sabdakosa Sansekerta tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa maksud dan istilah dalam ajaran swadharma dan paradharma adalah kewajiban diri sendiri, kebenaran diri sendiri ataupun hal lainnya yang terkait dengan konteks diri sendiri, terutama dalam hal kewajiban ataupun hal terkait dengan kebenaran atau aturan. Begitu juga istilah dalam ajaran paradharma sudah jelas yang berkaitan dengan yang lain, orang lain, masyarakat pada umumnya, di sekitar kita, dan sebagainya. Jadi paradharma adalah kewajiban orang lain, atau kewajiban terhadap orang lain, kewajiban terhadap publik atau pelayanan publik (public service), kewajiban untuk kebersamaan sebagai tanggung jawab bersama, dan juga kebenaran untuk bersama-sama. Dalam hal ini sangat relevan dengan konteks asas musyawarah menuju mufakat yang mengutamakan kebersamaan dan persetujuan bersama ke arah kebaikan, kebenaran, kebajikan, kemuliaan, dan menuju kerahayuan bersama.
Makna-makna mulia dan ajaran swadharma dan paradharma sebagaimana ada diajarkan dalam kutipan sloka pustaka suci Bhagawadgita di atas, menyiratkan makna suci, bahwa umat Hindu dimanapun mereka berada, ya di Bali, di Sasak, di Sunda, di Batak, di Toraja, di Bugis, di Madura, di Dayak, di Minahasa, di Tapanuli, di Papua, di Ternate, di Minang, di Karo, di Melayu, di Tibet, di Suriname, di Bharatavarsa, di Fidji, di Afrika, di Eropa, dan sebagainya tentu telah sadar sesadarsadarnya bahwa mereka ada dalam tatanan komunitas Hindu yang sangat universal dalam era global ini telah memaknai pula dan ajaran swadharma dan paradharma yang bersifat universal pula. Tentu telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada masing-masing daerah dengan tidak mengabaikan kekuatan, kemampuan, pelaksanaan, dan penerapan ajaran agama Hindu oleh umat setempat berdasarkan kondisi local genius atau drsta atau sima masing-masing. Dengan memaknai nilai ajaran swadharma dan paradharma memberikan peluang dan membuka cakrawala pandang terutama melalui proses berpikir, berwacana, dan berlaksana yang arif dan bijaksana oleh segenap sedharma di berbagai lapisan dunia ini. Tidak ada kesan munculnya diskriminasi, saling menjelekkan, bahwa ini bagus, ini benar, itu jelek, itu salah. Dalam penerapan ajaran agama Hindu, bahwa image seperti itu jangan sampai muncul sama sekali. Hindu sangat berpantang untuk saling ejek, saling jatuhkan, dan saling mengkulturkan diri sendiri tanpa menghormati yang iainnya. Ingan nilai ajaran swadharma dan paradharma bahwa sang diri perlu dihormati, maka dengan jalan menghormati yang lain, secara otomatis akan terjadi sinergi atau terjadi suasana kebersamaan antara yang satu dengan yang lainnya.
Nilai ajaran swadharma dan paradharma mengandung nilai ajaran yang sangat universal dan mcnggelobal di era kesejagatan ini yang serba canggih dan akurat. Dalam kutipan sloka suci di atas telah ditegaskan bahwa melakukan sesuatu yang terbaik, termulia, terhormat, terbijaksana dimulai dan diri sendiri yang pada akhirnya untuk dipersembahkan selain untuk diri sendiri tetapi juga untuk pihak lain, orang lain, warga lain, sesama lain, suku lain, adat lain, negara lain, bangsa lain dan sebagainya. Sama halnya bangsa Indonesia ini melakukan sesuatu yang berguna bagi bangsanya sendiri, tentu bagi amatan bangsa lain di dunia ini akan membenikan dampak yang baik pula bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya jika bangsa Indonesia selalu membuat citra yang kurang baik bagi bangsanya, maka sangat pasti akan disoroti oleh kalangan luas, bahwa kondisi Indonesia yang kurang kondusif dan tidak layak untuk dikunjungi. Hal ini sepertinya akan membuat petaka sendiri jika teijadi hal seperti itu. Begitu pula dalam pandangan tentang kehidupan beragama Hindu yang terjadi di Bali, bahwa tidak semata hanya mengunggulkan kondisi Bali saja, masih banyak umat Hindu yang membutuhkan pelayanan yang lebih intensif dan kondusif secara rutin dan terbaik seperti yang teijadi di Bali. Umat Hindu manapun di Indonesia pasti membutuhkan sistem, pola, upaya, usaha, aset, pelayanan, dan sejenisnya dengan perlakuan yang sama seperti saudaranya yang ada di Bali. Masih ada ümat Hindu yang tencecer di lembah Baliyem Papua, di Merauke, di Minahasa, di Kotamabagu, di Domuga, di Batak, di Karo, di Minang, di Sasak, dan sebagainya yang sangat mendambakan perhatian besar dan serius, agar mereka dapat menunaikan swadharma dan paradharmanya dengan baik dan penuh simpati.
Saudara-saudara kita di luar Bali sebagai sedharma yang masih mencintai ajaran suci Hindu berupa Veda dan dengan drstha atau silnanya masingmasing, masih sangat mencambakan pola pencerahan rohani dan pelayanan bidang keagamaan Hindu secara adil dan menata tanpa diabaikan hak-hak mereka yang tidak sama dengan saudaranya yang ada di Bali. Itu artinya umat Hindu yang ada di luar Bali s.ang ingin untuk dapat menja1ankn swadharmanya dan paradharmanya dengan baik inteksif, kreatif, terhormat, terlayani, dan mendapat perlakuan yang setimpal dengan yang lainnya. Bagaimana akhirnya mereka dapat melakukan kewajiban diri sendiri dengan baik atau paling tidak dengan memadai, tetapi dalam perhatian masih sangat kurang, dan nyaris sangat kecil. Mungkinkah mereka akan berkembang dan berkembang menjadi umat Hindu yang militan, atau sebaliknya menjadi umat Hindu yang bersiap-siap untuk meninggalkan tempat sucinya, meninggalkan pustaka sucinya, meninggalkan orang sucinya, dan meninggalkan yang lainnya, yang siap-siap untuk dijadikan benda peninggalan purbakala oleh bangsa ini, yang akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah dinamika kehidupan beragama Hindu secara utuh.
Sekali lagi, bahwa nilai ajaran agama Hindu berupa ajaran swadharma dan paradharma sangat penting dimaknai oleh kita sekalian dalam upaya untuk mengembangkan tata kehidupan beragama Hindu dengan baik dan kondusif di tanah air. Sesederhana apapun hasil kerja sendiri pasti disumbangkan kepada umat Hindu kita yang lain di manapun mereka berada. Sebaliknya, bagaimanapun baiknya tatanan umat lain yang telah berkembang di Indonesia teutu patut dicontoh dan diteladani. Mengapa mereka bisa berkembang sesuai dengan swadharmanya? Mengapa juga kita di umat Hindu juga mestinya dapat berkembang mengikuti perkembangan secara alami dan akademis dengan umat lain di Indonesia. Artinya bahwa umat Hindu yang memiliki nilai ajaran swadharma dari paradharma, diharapkan
akan semakin eksis di masa depan, tentu dengan memaknai dan mengamalkan ajaran swadharma dan paradharma itu sendiri. Satu catatan penting bagi umat Hindu Indonesia dewasa ini adalah perlunya selektif dalam menimba model yang dilakukan oleh umat lamnnya di Indonesia.
Dalam Hindu telah memiliki cara (marga), ukuran (pramana), tujuan (artha), karakter (guna), pola kehidupan (ashrama), persembahan (yajna), keyakinan (sraddha), keluhuran dan kemuliaan (paramita), intelek (buddhi), keharmonisan (sundaram) dan sebagainya, sebagai pola anutan untuk mengembangkan percaya diri dan untuk dapat dikembangkan lagi guna dapat tampil percaya diri dihadapan publik di manapun mereka berada. Umat Hindu tidak perlu merasa kecil, rendah dalam penampilan, minoritas, pemalu, rendah diri, tidak berharga, tidak berperan, tetapi sebaliknya dengan nilai ajaran szvadharina dan varadharma dihanapkan umat hindu menjadi semakin tampil percaya diri, semakin mantap dalam rnenj alankan ajaran agama Hindu sendiri, serta semakin benperan aktif dalam mengisi pembangunan nasional di Indonesia. Tidak saja itu bahwa umat Hindu tergolong besan di dunia, tidak sedikit umat Hindu di berbagai negana di luar negeri. Umat Hindu mesti membuka cakrawala pandang secara luas dan lebar. Timba pengalaman urnat I hindu di lain negana, timba kemajuan umat Hindu di lain daerah di Indonesia. Tidak sedikit urnat Hindu di luar daerah yang telah berhasil menjalankan swadharma dan paradharmanya dengan baik dan benar, sehingga umat Hindu mendapatkan porsi yang mulia di hati umat lainnya yang tergolong heterogen. Itu artinya bahwa umat Hindu di Bali jangan berpikiran sempit dan picik hanya ingin melihat Bali saja tanpa mau melihat saudaranya di luar Bali. Daerah Parigi sangat banyak umat Hindu, di daerah Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara juga sangat banyak umat Hindu, dan di daerah Dayak lagi begitu meriah kehadiran umat Hindu, di Metro – Lampung juga tergolong mantap keberadaan umat Hindu, umat Hindu di Medan, dsbnya. Mari maknai nilai ajaran suci tentang swadharma dan paradharma demi dinamika umat Hindu Indonesia. Perlu adanya kerjasama, koordinasi dan perhatian serius dari semua komponen Hindu Indonesia, agar Hindu menjadi dinamis dan kondusif ke depan.

Sumber:
Juru Sapuh

Comments