Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Kelembutan Mampu Menguasai Jagad

<

Kelembutan Mampu Menguasai Jagad


Om Swastyastu, "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” adalah ungkapan bahasa Jawa yang paling saya sukai. Maknanya kurang lebih: Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan. Kata-kata bijak ini bisa kita baca dimana-mana, bahkan ditempel dimana saja, mungkin juga yang menulis atau menempel tidak terlalu paham artinya. “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” adalah bagian dari salah satu bait “Pupuh Kinanthi” dalam “Serat Witaradya” buah karya RN. Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan Raden Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara Witaradya. Pemahaman Makna Tembang: Selengkapnya “Pupuh Kinanthi” tersebut adalah sebagai berikut: “Jagra angkara winangun;Sudira marjayeng westhi;Puwara kasub kawasa;Sastraning jro Wedha muni;Sura dira
jayaningrat;Lebur dening pangastuti”. Pada baris ke-4 ada yang menulis: “Wasita jro wedha muni” Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
  1. Jagra: Bangun (dalam pengertian “melek”); Angkara: Angkara; Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);
  2. Sudira: Amat berani; Marjayeng: Jaya ing, menang dalam...; Westhi: Marabahaya;
  3. Puwara: Akhirnya; Kasub: terkenal, kondang; Kawasa: Kuasa;
  4. Sastra: Tulisan, surat-surat, buku-buku; Jro: Jero, di dalam; Weda: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu; Muni: berbicara;
  5. Sura: Berani; Dira: Berani, kokoh; Jaya: menang; Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di; Rat: Jagad
  6. Lebur: Hancur; Dening: Oleh; Pangastuti: pamuji, pangalem, pangabekti, panembah.
Arti bebasnya kurang lebih sebagai berikut: Baris ke -1 s.d 3: Menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara. Sedangkan baris ke-4 s.d 6: Menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan. Di bawah adalah kisah pendukung “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang dapat dibaca pada Serat Witaradya, tentang kesetiaan seorang istri yangt dapat mencegah niat buruk laki-laki dengan “pangastuti”.

Beberapa Kisah:

1. Kisah Nyai Pamekas

Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang. Dengan tutur kata lembut dan “ulat sumeh” Nyai Pamekas berupaya menyadarkan Raden Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali di”sirep” (dibuat tidur dengan ilmu sirep). Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti Raden Citrasoma, tentu saja me”nyirep” orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan Raden Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan Raden Citrasoma, yaitu Allah yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Raden Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan.

2. Kisah Yudhistira dan Candrabhirawa

Menjelang akhir perang Bharatayudha, Yudhistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti mandraguna dan memiliki aji-aji Candrabhirawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bhima dan Arjuna sudah kewalahan. Dipukul gada atau dipanah, tidak mati malah bertambah banyak. Akhirnya Candrabbirawa berhadapan dengan Yudhistira, raja yang dikenal berdarah putih, tidak pernah marah apalagi perang. Raksasa raksasa Candrabhirawa tidak dilawan.Bahkan didiamkan saja. Raksasa-raksasa Candrabhirawa pun kembali ke tuannya. Kajian Makna: Kelembutan Mampu Menguasai Jagad Orang lemah lembut sering dianggap lemah. Ini masalahnya. Sehingga lebih banyak orang yang berupaya menunjukkan kekuasaan dengan pamer kekuatan yang bermanifestasi sebagai tindak angkara. Ia lupa bahwa sikap memberikan“pangastuti” mampu melebur tingkah yang “sura dira jaya ning rat”  Masih dalam Serat Witaradya, pupuh Kinanti RN Ranggawarsita menjelaskan seperti apa manusia yang sudah mampu mengendalikan menata hawa nafsunya sebagai berikut: “Ring janma di kang winangun;Kumenyar wimbaning rawi;Prabangkara dumipeng rat;Menang kang sarwa dumadi; Ambek santa paramarta; Puwara anyakrawati”. Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
  1. Ring (Maring: Kepada); Janma: Manusia; Di (Adi: baik); Kang: Yang; Winangun: Ditata
  2. Kumenyar: Bercahaya; Wimba: Seperti; Rawi: matahari
  3. Prabangkara: Matahari; Dumipeng: Sampai ke; Rat: Jagad
  4. Menang: Mengalahkan; Kang: Yang; Sarwa: serba; Dumadi: Semua mahluk
  5. Ambek: Sifat; Santa: sabar; Paramarta: Adil bijaksana
  6. Puwara: Akhirnya; Anyakrawati: Memerintah
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: Pada orang utama yang sudah mampu menata hawa nafsunya (tidak bersifat angkara murka); Bercahaya seperti sinar matahari; Sinarnya menerangi jagad; menguasa seluruh isi jagad; wataknya sabar, adil dan bijaksana; Akhirnya bisa menguasai jagad (maksudnya pemerintahan). Pangastuti (panembah) disini dapat diartikan dengan penerapan laku-linggih dan solah muna-muni (perilaku dan ucapan) dalam penerapan Basa Basuki. Itulah “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti”, yang mampu mengalahkan sifat yang mengarah ke  “adigang, adigung, adiguna” Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke-21 ini. Manggalamastu. Om Santih Santih Santih Om


Sampaikanlah Doa dengan tulisan yang baik, benar dan lengkap.
Sampunang disingkat-singkat!

Berbagai Sumber | Google Images | Youtube | Support become Patreon
Tag: dewatanawasanga, Blogger, bali, satuskutus offering, love, quotes, happy, true, smile, success, word, history, beautiful, culture, tradition, love, smile, prayer, weda, hindu, spiritual,

Comments