Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Pura Bukit Kursi; Tempat Memohon Jabatan

Pura Bukit KursiTempat Memohon Jabatan



Keberadaan Pura Bukit Kursi yang berlokasi di Banjar Dinas Kembang Sari, Pala Sari, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, begitu akrab di mata politisi maupun pejabat. Bagaimana tidak, karena pura yang posisinya sebelah barat Pura Pulaki ini, dipercaya sebagai tempat memohon jabatan. Tak mengherankan bila kawasan suci yang palinggihnya  dikelilingi bebaturan menyerupai kursi ini, jelang Pemilu 2019 lalu, ratusan politisi dari berbagai penjuru Bali  mendatangi pura ini. Harapannya untuk memenangkan 'kursi' wakil rakyat. Pura Bukit Kursi berada di atas bukit, dengan ketinggian 800 meter dari atas permukaan air laut. Untuk mencapai tempat suci ini, pamedek masuk melalui arah Pura Pemuteran. Sesampai di Pura Pemuteran, barulah menyusuri ratusan anak tangga menuju arah barat daya. Rasa lelah dan panas ketika menaiki ratusan anak tangga akan
terbayarkan, begitu pamedek sampai di Pura Bukit Kursi. Pasalnya, keindahan hamparan lautan biru sebelah utara begitu jelas terlihat dari atas bukti. Begitu juga dengan hijaunya rerumputan di kawasan bukit kursi, ketika musim hujan. Tak berlebihan, mengapa tempat suci yang dikeramatkan krama Desa Pemuteran ini  disebut Pura Bukit Kursi. Pasalnya, pura ini terletak di atas bukit. Bahkan, palinggih utama di pura ini dikelilingi bebaturan sepanjang 25 meter, dengan tinggi sekitar lima meter yang bentuknya menyerupai kursi. Kelian Desa Pakraman Pemuteran, Jero Mangku Ketut Widirka menuturkan, Pura Bukit Kursi adalah pura penyangga Pura Pemuteran. Pura Bukit Kursi pertama kali ditemukan tahun 1984, oleh seorang dukun bernama Jero Nyoman Cara, yang tengah melakukan tapa yoga semadhi. Widirka menyebut, sebelum ditemukan, kawasan ini dikenal angker. Bahkan, para peternak harus minta izin untuk menyabit rumput. Sebab, jika tidak ‘permisi’ saat menyabit rumput, diyakini hewan piaraan akan sakit dan mati, jika diberikan rumput yang berasal dari perbukitan itu. Konon, kematian hewan piaraan yang makan rumput dari kawasan Bukit Kursi sebagai simbol pengganti atas rumput yang sudah diambil. “Dari dulu kawasan ini sudah dikenal angker. Warga tidak boleh sembarangan menyabit rumput. Dari penuturan para tetua, konon rumput itu adalah padi di alam gaib,” ujar Jero Mangku Ketut Widirka kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Pemuteran. Lebih lanjut diceritakan Jero Mangku Ketut Widirka, ketika  Jero Cara melakukan tapa semedi, di sekitar Pura Bukit Kursi, konon Jero Cara merasa dimasukkan ke dalam batu tersebut. Di sekitar Bukit  Kursi juga dipercayai banyak wong samar yang dikenal dengan Dewa Sumedang. Wong Samar ini diyakini sebagai pangabih (pendamping) Ida Sang Hyang Bhagawata Cakrageni atau Ida Bhatara Lingsir. Jika merujuk babad Purana Bangsul, sambungnya, Pura Bukit Kursi ini merupakan Jempana Manik Mas yang berfungsi untuk mengusung raja pada zaman dahulu. Pura Bukit Kursi yang disungsung krama Bali saat ini, disebut masih sangat erat kaitannya dengan Pura Puncak Manik yang berlokasi di Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Widirka menambahkan, dalam babad itu disebutkan sebelum Ida Ayu Manik Mas berstana di sana, Puncak Manik memang sudah ada. Ida Bhatara Lingsir saat itu datang dari Gunung Agung bersama pengikutnya, 8.888 wong samar dan senapatinya. Setelah datang di sana, Jempana Mas yang dipakai mengusung Ida Bhatara Lingsir diletakkan di Bukit Pemuteran yang kini menjadi Pura Bukit Kursi. Sementara senapatinya berstana di Pura Silangjana dan panjaknya yang berwujud wong samar sebanyak 8.888 kini menempati wilayah Alasangker di perbukitan Pemuteran. Terkuak juga bila Pura Bukit Kursi merupakan pasimpangan Ida Bhatara Gunung Agung ketika akan berkunjung ke Jawa. Begitu juga sebaliknya, ketika Ida Bhatara Gunung Semeru dan Rinjani saat datang ke Bali. Kisah haru juga dialami oleh sesepuh Puri Pemecutan setelah tahun 1984. Konon sesepuh puri mendapat pawisik untuk datang ke Pura Bukit Makorsi. Anehnya, saat itu belum dibangun sebuah palinggih. Kedatangan sesepuh puri itu diantar langsung oleh Jero Mangku. Bahkan, dalam perjalannya mencapai puncak bukit dan lokasi yang dituju, sesepuh Puri Pemecutan itu sempat kehilangan liontin emas yang disapu oleh angin. Begitu sampai di Bukit Kursi, sesepuh Puri Pemecutan terharu dan menangis. Konon Bukit Kursi itu disebut sama persis seperti pawisik (bisikan gaib) yang diterimanya untuk datang kesana. “Keluarganya sempat karauhan dan meminta membawa tongkat tebu cemeng. Nah, setelah disanggupi, beberapa saat kemudian liontinnya yang sempat hilang ditemukan kembali,” imbuhnya. Sejak fenomena itulah keberadaan Bukit Kursi semakin terkenal. Saban hari pamedek kian ramai tangkil. Desa Pemuteran pun kemudian tahun 2002, membangun pura dan palinggih disana. Namun, palinggih utama Bukit Kursi tetap dibiarkan alami sesuai dengan bentuk yang sudah ada. Selain itu, juga didirikan palinggih Surya, Patih Agung, dan Ratu Gede di sisi barat Bukit Kursi. Mangku Widirka juga tak membantah jika pura yang pujawalinya dilaksanakan saat Saniscara Umanis Saraswati dijadikan tempat memohon jabatan.“Sebagian orang memang percaya di sini tempat memohon jabatan, dan memang dikabulkan oleh Beliau, tetapi ada juga yang tidak,” ungkapnya. Para pamedek yang tangkil juga bukan hanya dari penjuru Bali. Tetapi dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka yang tangkil rata rata seorang politisi, pejabat pemerintah kabupaten, maupun provinsi serta anggota dewan. ”Agar tidak salah arti. Kursi memang melambangkan jabatan, sebagaian besar masyarakat percaya, karena setiap memohon selalu direstui. Tetapi ada juga yang tidak. Tidak mesti disana mencari jabatan. Pasalnya, kalau tidak cocok menjadi pejabat malah tidak sukses nantinya. Makanya ada pejabat korupsi, lalu tertangkap dan dipenjara,” tuturnya. Ia menyarakan, bagi pamedek yang hendak tangkil ke Pura Bukit Kursi untuk memperhatikan runtutannya dengan benar. Sebelum menuju Pura Bukit Kursi, pamedek lebih dulu harus tangkil ke Pura Pemuteran. Mengingat Pura Bukit Kursi adalah penyangganya Pura Pemuteran.  

Sampaikanlah Doa dengan tulisan yang baik, benar dan lengkap.
Sampunang disingkat-singkat!

Berbagai Sumber | Google Images | Youtube | Support become Patreon
Tag: dewatanawasanga, Blogger, bali, satuskutus offering, love, quotes, happy, true, smile, success, word, history, beautiful, culture, tradition, love, smile, prayer, weda, hindu, spiritual,

Comments