Sifat welas asih [Dayadhvam]
DASAR-DASAR SIFAT WELAS ASIH
Ada beberapa aspek dasar yang selayaknya diselami untuk menemukan dan memunculkan kedalaman sifat welas asih [dayadhvam] dalam bathin kita.1. Sadarilah bahwa perjalanan hidup kita dipenuhi dengan welas asih dan kebaikan orang lain dan mahluk lain. Dalam setiap tahap di dalam hidup kita, selalu terdapat energi welas asih dan kebaikan. Di awal hidup kita, kita sudah disalurkan energi kebaikan. Dimulai dari dalam kandungan hingga dilahirkan, tidak henti-hentinya orang tua kita mencurahkan kasih sayang untuk kita. Di awal kehidupan –waktu masih bayi-, kita tidak berdaya dan sepenuhnya bergantung kepada kebaikan orang lain [orang tua kita]. Tanpa kebaikan orang tua kita, kita akan mati. Kelak di akhir kehidupan, lagi-lagi kita harus sepenuhnya bergantung kepada kebaikan orang lain [untuk dibuatkan upakara kremasi / pemakaman]. Kita masih bisa hidup sampai saat anda membaca tulisan ini, juga karena kebaikan mahluk lain. Para binatang, mereka rela mengorbankan nyawanya hanya agar kita bisa makan enak [sate kambing, soto ayam, dll]. Para tumbuh-tumbuhan juga serupa, mereka rela menanggung rasa sakit hanya agar kita bisa makan dan bertahan hidup. Hidup kita, seluruh eksistensi kita sebagai mahluk, dipenuhi oleh welas asih dan kebaikan orang lain dan mahluk lain. Sehingga dalam hidup kita tidak punya pilihan lain, selain hidup penuh welas asih kepada semua mahluk dalam setiap kesempatan yang ada.
2. Bersahabatlah dengan kekurangan-kekurangan diri kita. Satu bentuk kegelapan bathin yang menghalangi kita memunculkan sifat welas asih adalah rasa ketidakpuasan. Akar dari ketidakpuasan adalah suka membandingkan dan membandingkannya selalu dengan yang lebih baik. Tapi ingatlah berkah manusia lahir berbeda-beda. Ada yang lahir cantik ada yang tidak, ada yang lahir di lingkungan yang rejekinya berlimpah ada yang lahir di lingkungan yang serba tidak punya. Ciri-ciri manusia yang siap tumbuh sifat welas asih-nya adalah : bersahabat dengan kekurangan-kekurangan diri kita. Yaitu ketika kita bisa bersahabat dengan seluruh kekurangan-kekurangan diri kita. Misalnya : kalau [maaf] secara fisik kita kita jelek, terimalah fisik jelek itu dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Jangan ada rasa minder / malu [penolakan diri], menghindar dan begitu memaksakan diri punya fisik atau penampilan menarik. Kalau kita hanya mampu punya sepeda motor butut, terimalah sepeda motor butut itu dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Jangan begitu memaksakan diri punya mobil. Rata-rata kebanyakan manusia gagal memunculkan sifat welas asih, karena di dalam relung bathinnya dia masih "berkelahi" dengan kekurangan-kekurangan dirinya. Sulit memunculkan sifat welas asih, kalau kita masih gagal menerima diri kita sendiri seperti adanya. Tidak ada manusia yang sempurna, semua orang pasti punya sisi-sisi kekurangan. Menerima kelebihan diri adalah hal yang mudah dilakukan semua orang. Tapi bisa menerima kekurangan diri, hanya mereka yang bathinnya mulai terang yang bisa bersahabat dengan kekurangan dirinya. Sehingga kalau mau sifat welas asih tumbuh dalam bathin kita, buang segala ketidakpuasan, gantikan dengan rasa syukur yang mendalam. Bersyukurlah dengan segala apa yang kita punya di HARI INI. Dalam bathin yang penuh rasa syukur, apapun yang dilihat menjadi indah dan kehidupan kita menjadi perjalanan penuh keberuntungan dan kebahagiaan.
3. Bersihkan bathin kita dari sad ripu [enam kegelapan bathin]. Dalam semua agama ada tokoh-tokoh yang kebaikannya begitu terang. Misalnya : Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Nelson Mandela, dll. Bedanya orang-orang seperti ini [yang penuh welas asih] dibandingkan dengan kita, adalah seluruh lapisan lumpur kegelapan bathin yang menutupi hati mereka sudah mereka bersihkan. Kekurangan manusia biasa seperti kita, yang sifat welas asih-nya kurang, karena hati kita masih dipenuhi dengan berbagai macam lumpur kegelapan bathin yang berlapis-lapis. Ada lumpur iri hati, kemarahan, kebencian, kesombongan, keinginan yang tidak terkendali, dll. Kalau kita mau serius menumbuhkan sifat welas asih, lumpur-lumpur kekotoran bathin ini selapis demi selapis musti segera kita bersihkan. Hanya dengan cara demikian sifat welas asih bisa hidup dan bertumbuh di dalam bathin kita.
MEMUPUK DAN MENYUBURKAN SIFAT WELAS ASIH
1. Lihatlah semuanya sebagai Tuhan. Ajaran Hindu mengajarkan kita bahwa semua fenomena adalah Brahman adanya. Misalnya mahavakya : "Sarvam khalvidam Brahman" [Chandogya Upanishad III.14.1] atau "Brahman khalva idam vava sarvam" [Maitri Upanishad IV.6], yang berarti : semua yang kita lihat di dunia ini adalah Brahman. Ini sebuah ajaran yang sebenarnya harus dipahami dengan suatu pengalaman langsung [pratyaksa pramana] dalam yoga. Akan tetapi karena kebanyakan dari kita adalah orang biasa, bukan seorang yogi, kita bisa memahaminya dengan anumana pramana. Yaitu dengan mendidik diri untuk melihat semuanya Brahman, semuanya Tuhan. Dalam orang baik ada Tuhan, dalam orang jahat juga ada Tuhan, dengan wajah yang berbeda. Wajah Tuhan dalam orang baik yaitu salah satunya karena mereka membuat kita merasa sejuk, nyaman dan damai. Wajah Tuhan dalam orang jahat yaitu mereka sedang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana. Dan sekaligus memberi kita acuan yang bagus sekali tentang seberapa jauh pertumbuhan dan kualitas bathin kita sendiri. Kalau "di dalam" masih ada perasaan tidak enak, apalagi membuat kita marah-marah, artinya bathin kita masih belum bersih. Dalam kejadian yang baik ada Tuhan, dalam kejadian yang buruk-pun juga ada Tuhan, dengan wajah yang berbeda. Wajah Tuhan dalam kejadian yang baik yaitu salah satunya karena itu membuat kita bisa menikmati hidup. Wajah Tuhan dalam kejadian yang buruk yaitu karena kejadian yang buruk adalah kesempatan untuk kita membayar hutang karma. Dan sekaligus mengajak kita untuk merenungkan kembali makna dan perjalanan kehidupan kita. Kalau bisa seperti ini, setiap moment, setiap gerakan nafas dalam hidup kita menjadi aktifitas mebakti [Bhakti Yoga]. Mebakti tidak lagi hanya di pura, tapi sayang sama istri / suami dan anak-anak itu mebakti, menolong orang yang lagi kesusahan itu mebakti, melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya itu mebakti, dll.2. Lihatlah hidup ini bagaikan bersekolah dan kita harus naik kelas setiap hari. Perjalanan hidup ini, dalam menuju pembebasan, bisa kita ibaratkan seperti pergi bersekolah. Di tempat kerja, di jalan, di rumah, dimana-mana adalah kita "bersekolah". Seperti halnya sekolah yang sebenarnya, kita pasti sering ulangan umum dan kemudian naik kelas. Yang baik dan terang adalah kita terus menerus bisa naik kelas : dalam setiap waktu demi waktu dalam hidup, bathin kita semakin lama semakin bersih dan semakin dekat dengan pembebasan. Misalnya : Kalau kita dihina orang, artinya kita sedang "ulangan umum". Kalau kita difitnah orang, artinya kita sedang "ulangan umum". Kalau kita jatuh sakit, artinya kita sedang "ulangan umum", dll. Kalau kita bersikap secara negatif dari hal-hal tersebut [ulangan umum], berarti kita tidak naik kelas. Kalau kita mampu menerima dengan senyuman damai, itulah baru kita naik kelas. Mudah sekali bersikap damai dan penuh welas asih, disaat kita dipuji-puji, dikagumi, tidak kekurangan uang, makan enak dan badan sehat. Tapi yang TETAP bisa bersikap damai dan penuh welas asih disaat dirinya dihina, dicaci-maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan dan sedang sakit, itu tidak lain pertanda bathin yang mulai bersinar terang benderang, semakin dekat dan semakin dekat dengan pembebasan.
Comments
Post a Comment