Canang Sari Sebagai Persembahan
menjadi alat pemujaan kalau sudah berada di tempat suci dengan segala perangkat yang lain, misalnya, ada dupa menyala dan yang lebih utama disucikan dengan puja sebelumnya. Persoalan kedua adalah canang sari itu untuk apa? Apakah sebagai pelengkap banten misalnya, berada di tengah-tengah pejati atau banten lainnya. Atau hanya ditaruh di depan kita pada saat muspa dan nantinya hanya diambil bunganya saja? Ini hal yang penting diperhatikan. Jika canang sari itu menjadi bagian dari kelengkapan banten, maka unsur-unsur yang ada di dalamnya harusnya komplit. Tidak sekedar serangkaian bunga warna-warni. Siapa pun yang membuat dan menjual canang sari itu haruslah memahami unsur-unsur yang ada di dalamnya, jika benar tujuannya untuk pelengkap banten. Sebaliknya yang membeli pun harus paham unsur-unsur yang ada di dalam canang sari itu. Yang disebut canang sari, sebagaimana hasil Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu adalah sesajen kecil yang berisi rangkaian bunga lengkap dengan berbagai unsur. Unsur itu adalah alas canang sari yang berbentuk segi empat yang disebut ceper. Di atas itu terdapat porosan, maknanya adalah setiap persembahan harus dilandasi hati yang tulus. Lalu ada seiris tebu, pisang, kue ala kadarnya. Lalu ada anyamansampiyan berbentu bundar sebagai dasar untuk menaruh bunga. Penataan bunga tak bisa sembarangan. Harus sesuai dengan pengider-ideran (arah mata angin) para dewa. Di timur bunga berwarna putih, simbol pemujaan kepada Dewa Iswara. Di selatan bunga berwarna merah simbol pemujaan kepada Dewa Brahma. Di barat bunga berwarna kuning simbol dari pemujaan kepada Dewa Mahadewa. Di utara bunga berwarna hitam, tapi karena jarang ada bunga warna hitam dipakai warna biru dan sejenisnya. Ini simbol pemujaan kepada Dewa Wisnu. Di tengah seharusnya bunga warna-warni dari ke empat warna tadi, tapi supaya tidak membingungkan dipakai irisan daun pandan atau biasa disebut bunga rampai. Semua unsur-unsur ini dirangkai dan dinamakan canang sari sebagai sarana pemujaan yang paling kanista (artinya inti tapi cukup), hasil kreasi dari Mpu Sangkulputih yang dipercaya masyarakat Hindu di Bali sebagai penemu berbagai jenis banten yang kini digunakan. Semua unsur-unsur itu mengandung simbol alam semesta disertai dengan pemujaan kepada Tuhan melalui Ista Dewata. Nah, kalau kita membeli canang sari di pasar, pernahkah kita memeriksa apakah unsur-unsur itu semua ada? Apa ada porosan? Mungkin ada karena ini dasar dari bunga. Tetapi apakah ada irisan tebu, pisang, kue (jaje) yang merupakan unsur dari buah dan makanan? Kalau itu tidak ada, maka itu bukan bernama canang sari dan seharusnya tidaklah lengkap jika dijadikan sarana untuk pelengkap banten yang dijadikan persembahan. Kitab Bhagawad Gita pun mewedarkan pula pada sloka IX. 26: Patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhaktya upahrtam, asnami prayatatmanah. Patram puspam phalam artinya ada unsur daun, bunga dan buah. Namun kalau canang sari yang dibeli itu tidak komplit unsur-unsurnya, tetapi hanya dipakai pada saat muspa saja dan bukan disatukan dengan banten lain seperti pejati, misalnya, tidak ada masalah. Itu hanya sarana saat muspa. Hasil seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu menyebutnya ini sebagai uras sari bukan canang sari. Karena tujuannya hanya untuk mengambil bunganya saja, sedang siapa yang dipuja tergantung doa yang dilantunkan saat muspa itu. Begitu pula yang sering dilakukan ketika menyambut tamu di bandara atau hotel, bahkan juga ada tari penyambutan tamu, yang digunakan itu tak boleh disebut canang sari, karena unsur-unsur canang sari tidak ada. Sarana itu disebut puspa warsa yang artinya hujan bunga. Jadi intinya adalah canang sari adalah sarana sakral yang dihaturkan sebagai persembahan, uras sari bisa dipakai untuk muspa tetapi bukan pelengkap banten, sedang puspa warsa untuk “dihamburkan” sebagai penghormatan pada tamu.
Comments
Post a Comment