Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari total pendapatan setahun dan dalam agama Kristen sebesar 10%. Sedangkan untuk agama Hindu, sesuai MOU antara Dirjen Agama Hindu dengan Parisadha Hindu Dahrma Indonesia (PHDI) tertanggal 8 September 2015, besaran dana punia sejumlah 2,5 % dari penghasilan bersih setahun dihitung sendiri (self assessment), artinya besarannya sama dengan umat Islam. Konsep melakukan Dharma Dana atau Punia sangat penting dalam ajaran Hindu. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pustaka suci yang mengajarkan kepada umat Hindu untuk berdharma dana atau berpunia. Dalam Sarasamuscaya sloka 262 sudah disebutkan agar umat mampu memanfaatkan penghasilan yang diperolehnya, yakni:



Dana Punia

"Ekenamcena dharmarthah kartavyo bhutimicchata, ekenamcena kamartha ekamamcam vivir ddhayet." Artinya, harta kekayaan hendaknya dibagi tiga, masing-masing 33% setiap bagian.
Satu bagian untuk mencapai dharma (beryadnya atau berdana punia), satu bagian untuk memenuhi kama (sandang, pangan, papan, hiburan dan kesehatan), dan satu bagian lagi untuk tabungan (investasi) atau modal usaha untuk dikembangkan lagi. Akan tetapi, ketetapan secara pasti berapa jumlah besarannya dari penghasilan belum dapat terimplementasikan dalam tataran praktek. Secara sederhana, tujuan utama berdana punia adalah untuk menumbuhkan sikap mental pribadi manusia sebagai salah satu wujud pelaksanaan ajaran Wairagya (ajaran ketidakterikatan seseorang terhadap benda atau materi, yaitu benda lahiriah yang bertujuan memuaskan nafsu indera seseorang). Istilah berdana lazimnya disebut ajaran dana punia untuk benda-benda bergerak, dan pelabha atau dana bukti untuk benda tak bergerak. Ajaran ini dikenal sebagai ajaran Paramita, yakni ajaran yang membimbing manusia menuju pada kesempurnaan lahir batin mengantar ke gerbang surga atau ke seberang bebas penderitaan. Untuk mencapai tujuan hidup keagamaan menurut Hindu yang dikenal dengan nama moksartharn jagad hita, maka sepatutnya berdana adalah wajib hukumnya Kewajiban dana punia secara mendasar sekali sebenarnya dilandasi pula oleh ajaran Tat Tvam Asi, yang berarti aku adalah kamu, kamu adalah aku, kita semua adalah sama. Pandanglah setiap orang seperti diri kita sendiri yang memerlukan pertolongan, bantuan atau perlindungan untuk mewujudkan kebahagiaaan hidup yang sejati, seperti diamanatkan dalam kitab suci Veda, yaitu "vasudhaiva-kutumbakam" (semua makhluk adalah bersaudara). Manusia merupakan mahluk sosial dalam arti manusia tidak dapat hidup sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain. Dengan menghayati dan memahami ajaran Tat Twam Asi sudah semestinya terjalin hubungan yang baik antar sesama, saling menolong dan memberikan bantuan, bila menjadi orang kaya maka sepatutnya membantu orang-orang yang miskin, bila menjadi orang yang kuat bantulah orang orang yang lemah, sehingga kehidupan yang harmonis dapat terwujud, yang merupakan implementasi dari ajaran Tat Twam Asi. Sloka Sarasamuccaya 169 menyatakan "na mata na pita kincit kasyacit pratipadyate, danapathyodano jantuh svakar-maphalamacnute" (Barang siapa yang memberikan dana punia maka ia sendirilah yang akan menikmati buah (pahala) dan kebajikannya itu". Demikian pula Manawa Dharmasastra 1.86 melukiskan betapa dana punia itu sangat utama peranannya di jaman ini. Dikatakan, "Tapah para kerta yuge. Tretayam jnyana mucyate. Dvapare yadnyavaivahur. Daana mekam kali yuge. Artinya, pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kebajikan pada masa Satyayuga, pengetahuan tentang sang Diri (Jnana) pada Tretayuga, pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajna) pada masa Dvaparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga). Selain itu, melakasanakan Dana Punia adalah merupakan salah satu kegiatan dharma yang sangat agung dan mulia, karena akan dapat menumbuhkan sifat-sifat kedewaan (Daivi Sampad), baik di pihak pemberi, maupun di pihak penerima dana punia. Namun harus diakui, bahwa di dalam jaman Kali Yuga seperti sekarang ini, dana punia seperti itu sangat sulit dilaksanakan secara mumi, jujur, tulus ikhlas dan suci. Seperti dimuat dalam kitab Parasara Dharmasastra, bahwa di dalam jaman Kali Yuga, Dana Punia sering dilihat pelaksanaannya sebagai pengganti dari sebuah pelayanan, sehingga terlihat bersifat pamrih. Akan tetapi, bukanlah berarti bahwa di jaman ini sama sekali tidak ada kegiatan berdana punia. Pemberian seseorang yang didasari dengan Punia, tidaklah semata-mata dalam wujud uang. Dapat saja dalam bentuk tenaga, keahlian, dalam wujud waktu, dorongan moral, juga menahan indria atau hawa nafsu. Berdasarkan jenis pemberian dana punia, dalam Sarasamuscaya dibedakan menjadi: (a) Dana punia desa, yaitu pemberian berupa tem-pat, desa atau lahan yang diguna-kan untuk kepentingan umum; (b) Dana punia Agama, yaitu dana punia yang berupa ajaran agama, ilmu pengetahuan dan yang lainnya yang menyebabkan orang lain menjadi lebih pintar dan memiliki budhi pekerti ngaku beragama Hindu. Namun yang luhur; dan (c) Dana punia drewya, yaitu dana punia yang berupa harta benda yang menjadi kebutuhan. Secara legalitas, kewajiban berdana punia sesuai dengan Keputusan Sabda Pandita PHDI dalam Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No. 01/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/2002 tentang Dana Punia, yaitu:
  1. Dana Punia merupakan salah satu ajaran agama Hindu yang mesti ditaati oleh seluruh umat Hindu sebagai suatu kewajiban sumbangan suci.
  2. Menugaskan kepada Pengurus Harian PHDI Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama tentang Dana Punia.
  3. Menugaskan kepada Pengurus Harian PHDI Pusat untuk menyelenggarakan kegiatan pengumpulan dana punia di lingkungan umat Hindu dan simpatisan dengan ketentuan sebagai berikut:
    • merencanakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan secara efektif dan efisien;
    • menyelenggarakan sistem manajemen pengelolaan yang sehat, transparan dan akuntabel; dan
    • melaksanakan pelaporan secara periodik kepada Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia dan mempublikasikan kepada umat Hindu Indonesia.
Berdasarkan landasan sastra dan legalitas secara keorganisasian tersebut, maka sebenarnya kegiatan dana punia wajib dilakukan oleh setiap orang yang mengaku beragama Hindu. Namun hingga kini, pelaksanaannya tidaklah berjalan efektif. Lebih disayangkan lagi, dalam daftar rilis yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, dari 20 lembaga penerima zakat yang diakui, tidak satupun lembaga Hindu yang tercantum sebagai badan/lembaga penerima sumbangan dana. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 yang berlaku sejak tanggal 11 November 2011, Badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan meliputi suatu badan Amil Zakat Nasional, 15 Lembaga Amil Zakat (LAZ), 3 Lembaga Amil Zakat, Infag, dan Shaaqah (LAZIS) dan 1 lembaga sumbangan Agama Kristen Indonesia. Dalam peraturan Dirjen Pajak itu, zakat atau sumbangan keagamaan yang disalurkan pada 20 lembaga/badan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga tidak terlalu memberatkan bagi wajib pajak bruto, sehingga tidak terlalu memberatkan bagi wajib pajak. Lembaga Badan Dharma Dana Nasional (BDDN), merupakan satu-satunya badan resmi PHDI, memiliki tugas untuk menghimpun, menyimpan dan mengelola dana secara profesional, yang kemudian menyalurkannya kembali kepada umat yang membutuhkan melalui program-program yang terarah sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan umat. Namun sangat disayangkan, lembaga ini selain tidak masuk dalam daftar badan/lembaga yang diakui oleh Ditjen Pajak, keberadaannya pun belum begitu tersosialisasi secara baik di kalangan umat. Dampaknya, eksistensinya belum maksimal bermanfaat bagi umat. Hal itu lebih diperparah lagi oleh sikap sebagian besar umat, yang beranggapan kegiatan beryadnya yang dilakukan secara rutin, seperti mebanten, merayakan hari raya (rainan Kliwon, Tilem, Purnama, Galungan, Kuningan dan berbagai ritual yang memerlukan dana), dianggap sudah melakukan aktivitas dana punia. Sehingga pemberian dana punia dalam bentuk uang yang disalurkan secara resmi ke badan/lembaga yang ada di bawah PHDI seperti BDDN dianggap tidak penting. Lalu bagaimana model dana punia yang ideal? Sebenarnya pengumpulan Dana Punia, selain secara resmi oleh BDDN, khususnya untuk para pegawai negeri sipil dan swasta yang beragama Hindu dengan cara pemotongan langsung dari pendapatan bruto, juga dengan memaksimalkan peran PHDI di masing-masing daerah. Syaratnya, BDDN sudah dimasukkan dalam list penerima sumbangan oleh Dirjen Pajak sehingga sah memotong pajak untuk para pegawai, sedangkan PHDI di masing-masing daerah sudah memiliki kredibilitas, sehingga dipercaya oleh umat di daerahnya. Dana yang dipungut oleh PHDI di daerah, kemudian dikumpulkan oleh BDDN untuk dikelola sesuai tugasnya dan pengelolaannya dilakukan secara profesional. Laporan keuangan setiap tahun harus diaudit oleh auditor eksternal dan hasilnya dipublikasikan, baik melalui media massa maupun wajib disampaikan saat Mahasabha. Untuk umat Hindu di Bali, BDDN dapat bekerjasama dengan Lembaga Perkredita Desa (LPD), khususnya untuk pemungutan serta untuk penyimpanan sementara sebelum ditransfer ke BDDN. Tapi semua itu bisa terwujud jika masyarakat Hindu semuanya sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk melakukan Dana Punia, dan kredibilitas PHDI dan BDDN sudah tinggi pula di kalangan umat Hindu. Jika hal itu belum terpenuhi, jangan harap pelaksanaan Dana Punia dapat berlangsung secara baik, sampai kapanpun.




Sampaikanlah Doa dengan tulisan yang baik, benar dan lengkap. Sampunang disingkat-singkat!

Berbagai Sumber | Google Images | Youtube | Support become Patreon
Tag: dewatanawasanga, Blogger, bali, satuskutus offering, love, quotes, happy, true, smile, success, word, history, beautiful, culture, tradition, love, smile, prayer, weda, hindu, spiritual,

Comments