Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Siwa Puja dan Yoga Sastra Mpu Kanwa

Siwa Puja dan Yoga Sastra Mpu Kanwa

Sasiwimba haneng gatha mesi banu/ ndan asing suci nirmala mesi wulan/ iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ ring angambeki yoga kiteng sakala// (Arjunawiwaha : XI. I)

Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa menduduki tempat utama dalam perbendaharaan sastra Jawa kuna. Kakawin ini adalah merupakan tonggak pertama yang mengawali sastra puitis Jawa Timur. Kakawin ini ditulis pada jaman Airlangga, sekitar 1000 tahun yang silam, sebagaimana dinyatakan oleh penulisnya sendiri pada epilog karya sastra ini. Kakawin Arjunawiwaha juga disebut sebagai sebuah candi sastra untuk memuja Siwa. Dalam kakawin ini memang terdapat hymne khusus kepada Hyang Siwa yang diuncarkan oleh sang Arjuna, tetapi boleh jadi keseluruhan kakawin ini memang dipersembahkan kepada Siwa. Sebelum mendalami lebih lanjut teatong Siwa Puja dan Yogasastra dalam kekawin Arjunawiwaha terlebih dahulu patut dipahami kaidah estetik sebuah karya sastra kakawin. Para peneliti Jawa kuna merumuskan pokok-pokok kaidah estetik tersebut sebagai berikut:
  1. Sang kawi memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya (Istadewata), yang dipujanya sebagai dewa keindahan. Bagi sang kawi dewa itu baik yang menjadi asal dan tujuan segala yang indah (lango). Sang kawi mohon pertolongan dewa pujannya dengan mempersatukan diri dengannya (dewasraya).
  2. Persatuan dengan dewa kindahan itu merupakan sarana dan tujuan. Sarana : persatuan itu membuat sang kawi "bertunas keindahan" (alung lango). Dengan demikian ia akan berhasil menciptakan karya keindahan (kalangwan), yakni kakawin. Tujuan : dengan persatuan dengan dewa keindahan dan dengan penciptaan karya keindahan itu sang kawi berharap akan mencapai kelepasan (moksa), kakawin menjadi candi, tempat semayam dewa keindahan, dan silunglung, bekal kematian sang kawi.
  3. Persatuan dengan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi sang kawi, yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan, sebagai Yang Mutlak dalam alam niskala (transenden), berkat semadi sang kawi berkenaan turun dan bersemayam di alam sakala-niskala (imanen-transenden), diatas padma (munggwing sarasija) didalam hati atau jiwa sang kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan dewa yang nampak dalam alam sakala (imanen), dalam segala sesuatu yang indah. Dengan menyadari kesatuannya dengan dewa di dalam anekaragam pernyatannya itu, sang kawi pun menyadari kesatuannya dengan dewa di alam niskala (transenden), yang menjadi tujuan akhir yoga
  4. Dalam rangka yoga itu kakawin merupakan yantra, tempat semayam dewa keindahan dan obyek sama di bagi para pemuja dewa keindahan, baik sang kawi sendiri maupun pembaca atau pendengarnya. Seperti halnya sang kawi menemukan jalan kelepasan dan keabadian dalam kakawin, demikian pula orang yang melakukan, membaca, atau mendengarkan kakawin itu akan mendapatkan keselamatan.
  5. Untuk menemukan dewa keindahan yang menjelma dalam alam sakala itu, sang kawi mengembara, menjelajah gunung (awukirari) dan pantai, hutan dan patirtan (atirtha), sambil berlaku tapa (abrata). Sang kawi rindu akan keindahan alam dan ingin menjel¬makannya dalam kakawin. Alam pun rindu untuk ditangkap keindahannya oleh sang kawi dan dijelmakan dalam kakawin.
  6. Keindahan yang ditemukan oleh sang kawi dalam alam juga terbayang dimana-mana, khususnya dalam pertempuran, kecantikan wanita dan percintaan. Pada bagian-bagian lukisan dalam kakawin hal-hal itu sering dipertuarkan dan dipadukan. Pertempuran kerap kali dilukiskan dengan gambaran dari alam dan percintaan. Wanita yang sangat cantik dikatakan : kecantikannya melebihi kindahan alam. Berhadapan dengan wanita dalam percintaan menimbulkan rasa , seperti yang dialami bila orang berhadapan dengan keindahan alam dan terlibat dalam pertempuran.
  7. Alam dan manusia menjadi satu dalam keindaha. Berhadapan dengan alam yang begitu menarik dan mempesona (alango) sang kawi, pencinta keindahan (mango), terpesona, terserap seluruhnya dan tenggelam dalam objek yang dipandangnya (léngéng, léngléng), hingga segala sesuatu yang lain lenyap dan terlupakan. Semua kegiatan budi berhenti. Persepsi objek sendiri menjadi sama-sama dan dalam pengalan kesatuan yang mengaburk pemisahan subjek dan objek itu kesadaran diripun lenyap pula. Itu pengalaman ekstatik, yang merangku pengalaman estetik dan mistik/religius.
  8. Pengalaman ekstatik sang kawi bukan melulu ketenggelaman dalam keindahan alam, yang sensual dan fenomenal belaka, melainkan ketenggelaman dalam Yang Mutlak dimana sang kawi mengatasi segala macam nafsu dan godaan. Dalam artian yoga sang kawi sudah menjalani taha-tahap dhyana dan dharana, lalu sampai pada samadhi. Diterapkan dalam hubungan kakawin dengan pembaca dan pendengarnya, dapat dikatakan bahwa kakawin menimbulkan para pembaca atau pendengarnya pengalaman sang kawi itu : tenggelam dalam alam fenomenal, tembus sampai kehakikatnya, bertemu dengan Sang Keindahan sendiri.
  9. Dalam beberapa kakawin, yang merupakan pujaan bagi raja pelindung dewa yang dipuja oleh sang kawi menjelma pula dalam diri sang raja Sang raja adalah penjelmaan dewa, yang menjaga dan memulihkan ketertiban dan kesejahtraan dunia. Dengan memuja kemasyuran dan kebajikan (jasa) sang raja, sang kawi pun berbuat jasa (yasa) dan dengan demikian kakawin yang ditulisnya merupakan monumen (yasa) yang mengabadikan nama sang raja dan namanya sendiri.
Uraian tentang pokok-pokok estetik tersebut diatas telah menjelaskan bahwa aktivitas bersastra bagi seorang kawi berpusat pada yoga. Yoga pada hakekatnya adalah proses menyatukan diri dengan Yang Mutlak, dan bagi seorang kawi dapat dihadirkan sebagai Dewa Keindahan. Namun dalam kaitannya dengan karya Mpu Kanwa ini, tampak adanya bahwa Mpu Kanwa tidak saja bertindak sebagai seorang kawi tetapi juga sebagai seorang wiku, sehingga karya sastranya benar-benar menuangkan nilai-nilai keindahan tetapi juga nilai-nilai spiritualitas. Kakawin Arjunawiwaha dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu tapa sang Arjuna, peranannya vang menentukan dalam mengalahkan Niwatakawaca, dan anugerah yang diterimanya di surga. Bagian tapa sang Arjuna merupakan fokus catatan ini. Arjuna, ksatria perkasa Pandawa mengadakan tapa di gunung Indrakila. Maka para dewa menguji ketabahannya dalam melakukan tapa dengan jalan menggodanya. Tujuh orang bidadari tercantik dari sorga, di antaranya Tilottama dan Suprabha diutus menggodanya. Tetapi Arjuna tidak tergoda oleh kecantikan para bidadari itu. Dengan rasa kecewa mereka pulang kesurga dan melapor kepada Indra tentang keteguhan tapa sang Arjuna. Kegagalan para bidadari menggoda ksatria pertapa Sang Arjuna sesungguhnya menggembirakan para dewa; karena dengan demikian ada harapan Niwatakawaca musuh kedewatan akan dapat dihancurkan oleh seorang "manusa sakti" yaitu Arjuna. Tapi Indra masih mengkhawatirkan apa yang sesungguhnya yang menjadi tujuan tapa sang arjuna : Apakah tujuan Sang Arjuna semata-mata ingin memperoleh kebahagiaan dan kekuasaan bagi dirinya sendiri, sehingga ia tidak memikirkan keselamatan orang lain. Indra ingin mendapatkan kepastian tentang hal itu, maka Beliau menyamar sebagai seorang pandita. Arjuna menyambut kedatangan sang pandita dengan penuh hormat. Dalam percakapan antara Indra dengan Arjuna terurai sangat jelas makna sejati dari kekuasaan dan kenikmatan yang semu dalam dunia ilusi. Arjuna menyatakan bahwa dharma seorang ksatria ialah mengutamakan yasa dan wirya. Maka barang siapa yang ingin mencapai kelepasan ia harus memiliki jiwa tyaga serta dapat menerobos dunia wujud dan bayang-bayang yang membelenggu dan menyesatkan. Menjawab pertanyaan sang pandita Arjuna menyatakan bahwa ia terikat bhakti dan asih dengan kakaknya sang Yudhistira, maka satu-satunya tujuannya melakukan tapa brata adalah memenuhi kewajiban sebagai seorang ksatria serta kakaknya Yudhistira merebut kembali kerajaan demi kerahayuan seluruh jagat. Indra sangat puas mendengar pertanyaan Arjuna tersebut, setelah menunjukkan dirinya yang sebenarnya, Indra menyatakan bahwa Bhatara Siwa pasti akan berkenan memberi anugerah kepada Arjuna. Dan Arjunapun meneruskan tapa bratanya. Sementara itu raja para raksasa mengutus raksasa Muka untuk membunuh Arjuna. Dengan mengambil wujud seekor babi ia mengobrak-abrik hutan di seputar tempat Arjuna bertapa. Arjuna terkejut karenanya lalu mengangkat senjata panah dan memanahnya. Bersamaan dengan itu Bhatara Siwa yang telah mengetahui keteguhan tapa sang Arjuna dengan mengambil wujud seorang pemburu juga memanah babi itu. Dan kedua anak panah yang masing-masing dilepaskan oleh Arjuna dan si pemburu ternyata telah menjadi satu. Maka perselisihanpun terjadi dalam memperebutkan panah itu. Karena masing-masing teguh dalam pendiriannya bahwa anak panah itu merupakan miliknya, perkelahianpun tak dapat dihindari. Setelah masing-masing menunjukkan kekuatannya akhirnya Arjuna mendekati kekalahannya. Pada saat seperti itu Bhatara Siwa menampakkan diri-Nya. Arjunapun memujanya. Sampai di sini Mpu Kanwa mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menulis puisi pujaan kehadapan Siwa. Mpu Kanwa menulis :
Om sembahning anatha tinghalana de triloka sarana/ wahyadhyatmika sembah inghulun i jdng ta tan hana waneh/ sang Iwir agni sakeng tahen kadi minak sakeng dadi kita/ sang saksat metu yan hana wwang amuter tutur pinahayu Artinya (OM sembah hamba yang hina semoga disaksikan oleh pengusa ketiga dunia/ lahir bathin sembah hamba ke hadapan kakimu tiada lain/ Engkau yang bagaikan api di dalam kayu, bagaikan minyak di dalam santan/ yang nyata-nyata keluar kalau ada orang yang memutar kesadaran suci kejalan yang benar Wapi -wyapaka sarining pramatattwa durlabha kita / icchantang hana tan hana ganal alit lawan hala hayu/ utpati sthiti linaning dadi kita ta karanamika/ sang sangkan paraning sarat sakala niskalatmaka kita Artinya Engkau mengendalikan seluruh alam semesta, Engkau adalah intisasi Kebenaran yang tertinggi, Engkau sungguh sangat bersifat rahasia/ kasih-Mu menyusup dalam ada dan tiada, besar dan kecil, serta benar dan salah baik dan buruk/ Engkau adalah penyebab segala yang ada yang mengalami lahir hidup dan mati/ Engkau adalah asal dan kembalinya seluruh jagat, Engkau sesungguhnya nayata namun juga tidak nyata.
 
Sasi wimba hanenggatha mesi banu/ ndan asing suci nirmala mesi wulan/ iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ ringangambeki yoga kiteng sakala Artinya Bayangan bulan terlihat dalam tempayan berisi air/ setiap yang (berisi air yang) suci hening berisi bulan/ demikianlah Engkau, Tuhan, berada dalam setiap mahluk/ pada orang yang melakukan yoga Engkau menampakkan diri
Dalam bait-bait pujaan Arjuna tersebut diatas tertuang konsep ketuhanan yang dianut oleh Mpu Kanwa. Siwa adalah penguasa jagat raya, beliau adalah juga asal dan tujuan kembalinya seluruh jagat beserta segala isinya. Tetapi beliua adalah juga dewa penganugerah bagi mereka yang melakukan tapa brata. Kita ketahui bahwa Arjuna mendapat anugerah senjata Pasupati (Cadusakti). Mpu Kanwa telah menghadirkan Arjuna sebagai seorang yogi, yang telah berhasil dalam tapanya. Arjuna adalah orang yang memiliki kelanggengan pikiran dalam memuja Siwa, sesuatu yang menjadi sebab ia mendapat anugerah Hyang Siwa (nghing yan langgeng ikang siwa smreti dateng sraddha bhatareswara). Jadi dengan menulis kakawin Arjunawiwaha, Mpu Kanwa telah melaksanakan yoga sastra dengan memuja Hyang Siwa. Karya sastranya sebagai candi bahasa atau yantra dijadikan sthana Hyang Siwa pula. Dan dalam karya sastra yang indah itu Mpu Kanwa menghadirkan seorang tokoh utama sang Arjuna, seorang ksatria pertapa atau seorang yogi yang mendapat anugerah Siwa. Arjuna memang seorang yogi yang paham betul makna pasu, pati dan pasa. Pasu tiada lain adalah manusia sendiri, pati adalah Hyang Siwa, sedangkan pasa adalah dunia maya yang mengikat manusia. Seorang yogi dapat membebaskan dirinya dari godaan dan ikatan pasa itu sendiri, hanya dengan demikian ia dapat bersatu dengan Hyang Siwa. Mpu Kanwa dengan indah menuangkan konsep ini ke dalam karyanya kakawin Arjunawiwaha, sebuah karya sastra yang setelah melewati usia 1000 tahun masih tetap digemari oleh masyarakat sastra Bali.



Sampaikanlah Doa dengan tulisan yang baik, benar dan lengkap. Sampunang disingkat-singkat!

Berbagai Sumber | Google Images | Youtube | Support become Patreon
Tag: dewatanawasanga, Blogger, bali, satuskutus offering, love, quotes, happy, true, smile, success, word, history, beautiful, culture, tradition, love, smile, prayer, weda, hindu, spiritual,

Comments