Pada hakekatnya tujuan utama Ilmu pengetahuan khususnya kerohanian adalah mengantarkan masyarakatnya untuk dapat hidup sejahtera, tentram dan damai sepanjang waktu. Para leluhur pada Jaman dahulu telah merumuskan nilai-nilai pengetahuan ketuhanan yang sederhana namun kaya filosophf pada etika sosial, proses sadhana dan ritual upakara ( bhakti dan karma marga ). Begitupula pada golongan masyarakat tertentu juga sudah dirumuskan prinsip pengetahuan utama yakni rahasia kehidupan dan kesadaran ketuhanan yang tertinggt ( jnana dan raja marga ).

Rumusan-rumusan pengetahuan ketuhananini memiliki dasar yang kuat pada masing-masing penggalinya yang disebut sampradaya atau sekte, sepertl Pasupataya, Ganapataya, Siwa Sampradaya, Sekte Indra, Sekte Bairawa, Kamahayanan, Kasogathan dan yang lainnya. Pada abad pertengahan semua sampradaya dan faham yang ada disatukan oleh Mpu Kuturan menjadi faham tri murti yakni sebuah ajaran yang hanya memiliki dasar ketuhanan pada Dewa Brahma, Desa Wisnu dan Dewa Siwa. Inilah yang menjadi cikal bakat penyatuan masyarakat bali yang sebetumnya terpecah-pecah kedalam sampradaya atau sekte. Penyatuan masyarakat Bali ini dibuatkan sistem kemasyarakatn lagi dengan nama Desa pakraman dengan memiliki tiga kahyangan yakni kahyangan puseh, kahyangan desa dan kahyangan dalem dengan pelaksanaan penyelenggaraan.

Yajnya dan kegiatan lainnya menyesuaikan pada wilayah setempat.



Pura Silayukti

Pura Silayukti



Pura Silayukti Karangasem menjadi salah satu bagian penting dari pada pura Dang Kahyangan di Bali, letaknya di sisi bagian Timur desa Padangbai, Kecamatan Manggis. Lokasi Pura Silayukti pada dataran tinggi bukit kecil di kawasan ini, berada sekitar 50 meter di atas permukaan laut, berdekatan dengan pantai Blue Lagoon dan juga Padang Bai yang merupakan objek wisata di wilayah Bali Timur, kabupaten karangasem. Keberadaan Pura Silayukti erat hubungannya dengan keberadaan Mpu Kuturan yang mampu menata kehidupan Bali terutama dalam kepercayaan beragama, karena awalnya pulau Bali ini terdapat banyak sekte dengan berbagai kepercayaan sehingga rawan terjadinya konflik, untuk itulah beliau ditugaskan untuk menatanya sehingga dikenal dengan adanya desa pakraman yang memiliki pura kahyangan Tiga. Pura Silayukti merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura ini terletak di sebuah bukit bagian timur Desa Padangbai. Pura ini dipercaya sebagai parahyangan Ida Batara Mpu Kuturan, seorang tokoh yang sangat berjasa dalam menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali sekitar abad ke-11 Masehi. Pujawali di pura ini, kata pengayah yang juga prajuru Desa Pakraman Padangbai I Kadek Rena, yakni jatuh tiap Buda Kliwon Pahang (enam bulan sekali). Pura lain yang terkait pura ini yakni Pura Telaga Mas, diduga semula pasraman Mpu Kuturan. Selain itu di sebuah goa di timur, di tebing pantai yang curam ada Pura Payogan. Diduga di tempat ini Mpu Kuturan melakukan yoga semadi pada masanya. Saat ini, pura ini terdiri atas bangunan sederhana berupa beberapa arca di dalam tebing karang yang menyerupai goa dangkal. Di selatan Pura Silayukti terletak Pura Tanjungsari. Pura ini dipercaya sebagai parahyangan Mpu Baradah, adik Mpu Kuturan. Mpu Baradah, kata Rena dan Jro Mangku Wayan Marsa -- pemangku di Pura Melanting dan Pura Mumbul, Padangbai ini -- sempat ke Bali. Tujuannya guna memohon kepada kakaknya, Mpu Kuturan, agar salah seorang putra Raja Airlangga di Jawa Timur bisa diangkat menjadi raja di Bali. Namun, Mpu Kuturan tak sependapat. Sebelum bertolak pulang ke Jawa, Mpu Baradah sempat beberapa waktu tinggal di Bali dan mendirikan parahyangan yang diberi nama Pura Tanjungsari. Pujawali di pura itu jatuh pada Buda Kliwon Matal. Saat pujawali, baik di Pura Silayukti maupun Tanjungsari, persembahyangan juga dilakukan pamedek ke Pura Telaga Mas atau pun ke Pura Payogan. Mpu Kuturan diperkirakan tiba di Bali pada tahun 1001 Masehi. Tujuannya ke Bali dalam rangka menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali. Masalahnya, saat itu kehidupan masyarakat Bali tengah mengalami keguncangan. Banyak terdapat sekte-sekte keagamaan di dalam masyarakat, dan antarsekte itu ternyata tidak rukun. Di antara sekte-sekte itu, ada enam yang besar dan cukup berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Bali. Raja Bali minta kepada Mpu Kuturan agar menata dan menyatukan masyarakat Bali. Mpu Kuturan yang diangkat sebagai senapati kerajaan pun melakukan pendekatan kepada masyarakat termasuk kepada para pemimpin sekte-sekte besar itu. Disepakatilah dilakukan paruman di Pejeng di Pura Samuan Tiga. Saat itu, senapati Mpu Kuturan juga sudah dipercaya sebagai Pekira-kira Ijro Makabehan (penasihat semua golongan, kelompok atau sekte). Berkat pendekatan, pemikiran dan usaha yang dilakukan Mpu Kuturan, sekte-sekte dalam masyarakat Bali itu berhasil lebur dan menyatu (manunggal). Dalam pesamuan (pertemuan) yang diikuti perwakilan sekte-sekte dan kelompok masyarakat Bali yang saat itu dipimpin Mpu Kuturan itu, kata Rena, dicetuskan konsep sosial religius Tri Murti Tatwa yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Untuk memuja sinar suci atau manifestasi Tuhan itu, di tiap desa pakraman didirikan Pura Kahyangan Tiga. Di Pura Puseh sebagai tempat pemujaan sinar suci Tuhan dengan manifestasi Wisnu, di Pura Bale Agung/Pura Desa tempat pemujaan Brahma dan di Pura Dalem sebagai tempat memuja sinar suci Tuhan dengan manifestasi Siwa dan saktinya. Selain itu, di tiap rumah tangga penduduk mesti didirikan sanggah kemulan (rong tiga), juga sebagai tempat pemujaan Tri Murti. Konsep itu, terkait juga dengan Tri Hita Karana di mana masyarakat Hindu mesti menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan (parahyangan), menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama warga (pawongan) dan menjaga hubungan yang seimbang dengan alam lingkungan (palemahan). Rena dan Jro Mangku Marsa menambahkan, setelah menginjak usia senja diperkirakan Mpu Kuturan meninggalkan jabatan politik (pensiun) menuju tahapan wanaprastha atau bhiksuka. Mpu Kuturan lantas menetap dan mendirikan parahyangan di timur Desa Padang. Dari sini, dalam yoga semadi dan perenungan-perenungan demi membangun dan lebih memantapkan penataan sosial religius masyarakat Bali terus diajarkan kepada masyarakat tentang dasar-dasar ajaran kebenaran (silayukti). Ajaran-ajaran beliau diduga disampaikan kepada sisya atau warga yang tangkil. Rena mengatakan dalam sebuah prasasti Padang Subadra berangka tahun 1324 Masehi, diketahui semula wilayah Desa Padang berupa anpadan. Di mana lahan di teluk kecil di tepi pantai dan dikelilingi perbukitan tandus berbatu, dicangkul untuk diolah menjadi ladang tempat bercocok tanam. Desa itu berkembang menjadi Desa Padang. Pada masa kedatangan penjajah Barat seperti Belanda, desa di tepi pantai dan teluk itu diberi nama Padang Bay (Teluk Padang). Pada perkembangan bahasa dan penulisan, Padang Bay berubah menjadi Padangbai, sehingga desa yang terus berkembang dengan pembangunan pelabuhan penyeberangan Padangbai-Lembar itu kini lebih dikenal dengan Desa Pakraman Padangbai. Rena dan Jro Mangku Marsa mengatakan, nama Pura Silayukti diduga berasal dari kata dasar ''sila'' diartikan dasar dan ''yukti'' diartikan benar atau kebenaran. Umat yang mamedek di Pura Silayukti itu diharapkan memegang teguh dan menjalankan ajaran kebenaran (agama) yakni Tri Murti Tatwa dan Tri Hita Karana. Sampai kini krama Desa Pakraman Padangbai dikenal sangat taat dalam menjalankan awig desa. Mereka rajin, trepti (tertib) tiap kali ada ayahan desa. Tiap ada aci atau pujawali di pura lingkungan desa setempat warga setempat yang merantau ke luar desa bahkan ke luar daerah selalu menyempatkan diri pulang kampung untuk bersembahyang.
Yasya sarve samarambhah kama samkalpavarjitah. Jnanagni dagdhakarmanam tam ahuh panditam budhah. (Bhagavadgita.IV.19). Maksudnya: Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya (Niskama Karma), kepercayaannya dinyalakan oleh api ilmu pengetahuan (Jnyana Agni). Kepada ia diberikan gelar pandita oleh orang-orang bijaksana.
Sejarah Pura Silayukti ada disebutkan dalam lontar yaitu :
  1. Babad Bendesa Mas. Di dalam lontar ini ada disebutkan: “Tusapa kalah ikang Mayadanawa, cinarita sira sang apuspatha Empu Kuturan, hawelas ring tan hananing ratu, rumaksa tang Bali rajya, saksana turun pwa saking Jawadwipa Mandala, sirajumeneng ratu ring Bali, asrama ring padang Silayukti, irika dewataraka nira Empu Kuturan”. Artinya: Tersebutlah kalahnya Mayadanawa, diceritakanlah beliau yang bergelar Empu Kuturan, beliau kasihan karena tidak adanya raja di Bali, dijaganyalah oleh beliau keraton Bali, maka segeralah beliau datang dari Pulau Jawa, beliau menjabat sebagai raja di Bali, beliau membangun wisma di Silayukti Padang.
  2. Dwijendra Tatwa Di dalam lontar ini disebutkan antara lain: “Tan warnanan ring hawan, dhatang ta sireng Gelgel, lumaris si ring Padang, apan sang prabu sireng padang; wus prapteng Padang sendhu ta sira £ri Waturenggong ling haji, “malah twa pwa kita penyarikan, hangliwari kita semaya, kaya dede selahing wwang atuha, si kita penyarikan dunungan ta sang wawu rawuh ring parhyangan pangastawan ira Empu Kuturan nguni.” Artinya: Tidak diceritakan di dalam perjalanan, datanglah beliau (Pedanda Sakti Wawu Rawuh) di Gelgel lalu menuju Padang, karena sang raja berada di Padang, setelah tiba di Padang Dalem Baturenggong menjadi mangkel, katanya: “Padahal sudah tua kamu penyarikan, kamu melewatijanji, bukan seperti orangtua kamu berbuat, hai kamu penyarikan istirahatkan beliau yang bam datang itu di palinggih bekas wisma Empu Kuturan dahulu.”
Di dalam rental Calonarang ada disebutkan bahwa Empu Kuturan yaitu kakak dari Empu Beradah bertapa di Silayukti Pulau Bali. Di dalam rontal Calonarang itulah disebutkan kedatangan Empu Beradah ke Bali sebagai utusan dari raja Airlangga untuk menobatkan salah seorang putranya menjadi raja di Bali. Permintaan Airlangga itu ditolak oleh Empu Kuturan. Di dalam prasasti Pura Kehen B, ada disebutkan, “mpi(ng) hyang Padang sangscaryya netra.” Pada beberapa prasasti Bali Kuna “type punah”, terdapat kata “Senapati Kuturan” seperti yang terdapat dalam Prasasti Pura Desa Gobleg 1037 Q yaitu, “…senapati Kuturan pu caken…” Prasasti Cempaga A 1103 Ç menyebutkan: “senapati Kuturan makakasir dalang capek…” Atas dasar data-data tersebut di atas, maka disimpulkan, bahwa Empu Kuturan datang ke Bali dari Jawa Timur diperkirakan sekitar tahun 1039 M yaitu pada masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan dalam lontar Calonarang. Berdasarkan Prasasti Calcuta (1042), bahwa Airlangga dinobatkan menjadi raja di Jawa Timur pada tahun 1019 M. la memerintah dari tahun 1019-tahun 1042 dan wafat tahun 1049. Pada tahun 1041 Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua orang putranya. Pembagian itu dilakukan oleh Empu Beradah yaitu adik dari Empu Kuturan, sebagaimana disebutkan di dalam Nagarakrtagama. Empu Beradah datang ke Bali pada tahun 1041 sebagaimana disebutkan di dalam prasasti Batumadeg. Untuk menemui Empu Kuturan di Silayukti, beliau datang ke Bali sebagai utusan raja Airlangga. Empu Beradah minta kepada Empu Kuturan agar salah sorang putra Airlangga dinobatkan menjadi raja di Bali. Permohonan itu ditolak Empu Kuturan. Demikian dalam lontar Calonarang disebutkan. Sedangkan dalam lontar Babad Bendesa Mas disebutkan, bahwa Empu Kuturan berwisma di Silayukti dan beliau tinggal di sana sampai wafat. Tahun berapa beliau wafat, tidak diketahui dengan pasti. Setelah Empu Kuturan wafat sekitar abad 11, di tempat wisma beliau, didirikan pura sebagai tempat pemujaannya. Pelinggih yang dibuat hanya bebaturan saja. Pelinggih sederhana itu sampai tahun 1931 saja. Sejak tahun 1931, Pura Silayukti diperbesar dan jumlah pelinggih ditambah. Bebaturan itu kemudian diganti dengan meru tumpang tiga. Siapakah Empu Kuturan dan siapakah nama sebenarnya? Dalam Prasasti Bali Kuna yang berbahasa Jawa Kuna ada disebutkan Senapati Kuturan. Dalam lontar Usana Dewa ada disebutkan, bahwa Empu Kuturan datang dari Majapahit, lalu mendirikan sejumlah pura di Bali antara lain: Pura Batu Madeg, Pura Ulun Swi, Pura Uluwatu, Pura Sakenan, dan lainnya lagi. Lontar Dewatatwa menyebutkan, Empu Kuturan mengajarkan cara-cara membuat pedagingan meru. Ada lagi lontar berjudul “Empu Kuturan”. Dalam lontar itu disebutkan, Empu Kuturan membangun meru di Besakih. Keterangan prasasti dan lontar tersebut di atas memberikan gambaran yang simpang siur mengenai “Kuturan”. Betapa tidak. Antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya walaupun relevan “Kuturan” namun jarak waktunya sangat jauh. Akhirnya muncul pertanyaan: apakah senapati Kuturan yang disebut dalam beberapa prasasti Bali Kuna sama dengan Empu Kuturan yaitu kakak Empu Beradah, seperti yang disebutkan dalam beberapa lontar. Untuk menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
  1. Empu Kuturan yang datang dari Jawa Timur ke Bali pada zaman Pemerintahan Airlangga mendapat penghormatan besar dari rakyat Bali dan mendapat kepercayaan besar dari raja Marakata dan raja Anakwungsu serta beliau diberi kedudukan penting dalam pemerintahan. Disamping itu, Empu Kuturan berperan besar di bidang keagamaan dan juga sebagai penasihat raja. Hal ini terbukti, dalam lontar Calonarang disebutkan, Empu Kuturan menolak kehendak raja Airlangga untuk menobatkan putranya menjadi raja di Bali.
  2. Untuk mengenang jasa-jasa Empu Kuturan, oleh raja-raja yang memerintah kemudian, nama “Kuturan” dijadikan nama suatu jabatan “senapati” yang artinya suatu jabatan tinggi pimpinan perang dalam struktur pemerintahan kerajaan Bali Kuna. Contohnya, dalam prasasti Campaga C (12460) ada disebutkan, “…senapati Kuturan makakasir dalang capek …’ Artinya: “…pimpinan perang yang disebut “kuturan” bernama Dalang Capek…..”
  3. Kedua alternatif di atas memberikan kesimpulan, bahwa “senapati Kuturan” sebagaimana dimuat dalam prsasati Bali Kuna adalah suatu nama jabatan tinggi dalam angkatan perang dan bukan Empu Kuturan kakak Empu Beradah yang berwisma di Silayukti.
  4. Mengenai nama Kuturan, apakah itu nama asli atau samaran, masih diperbincangkan. Di dalam prasasti Pura Kehen B ada disebutkan: “…mpihhyang padang dang acaryya netra…” artinya: “…pendeta pada tempat suci di Padang (bemama) Dang Acaryya Netra…” Apakah Dang Acaryya Netra ini dapat disamakan dengan Empu Kuturan di Silayukti, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Atas dasar dan fakta tersebut. dapat disimpulkan bahwa Pura Silayukti didirikan pada abad 1 1 untuk menghormati kebesaran jasa-jasa Empu Kuturan di Bali, baik selaku pejabat tinggi pemerintahan pada masa raja Marakata dan raja Anakwungsu, maupun selaku pimpinan agama Hindu di Bali pada zaman Bali Kuna. Dalam kesusastraan, tercatat bahwa Empu Kuturan mengajarkan konsepsi Kahyangan Tiga, Ngaben Swasta dan mendirikan Pura Sad Kahyangan Jagat Bali. Beliau juga mengajarkan membuat meru di Besakih. Mpu Kuturan tokoh spiritual Hindu di abad ke-11 Masehi adalah salah seorang tokoh yang berbuat dengan landasan niskama karma. Artinya, berbuat tanpa pamerih akan hasilnya. Hal ini dilakukan karena Mpu Kuturan sudah sangat yakin akan ajaran Hukum Karma. Setiap perbuatan baik sudah dapat dipastikan akan membuahkan hasil yang baik. Karena itu, Mpu Kuturan hanya berkonsentrasi pada berbuat baik dan benar untuk kepentingan umat manusia dalam artian yang seluas-luasnya. Berbuat baik dan benar itu dilakukan karena keyakinan Mpu Kuturan sudah demikian disinari oleh api ilmu pengetahuan yang telah beliau capai. Mpu Kuturan tidak kawin karena beliau menempuh hidup Sukla Brahmacari. Jadinya semua umat manusia itu dianggap sebagai saudaranya. Inilah sesungguhnya perilaku seorang yang tepat disebut Pandita. Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi. Mpu Rajakerta pada awalnya sebagai kesatria karena menjabat Senapati Kuturan. Setelah selesai menjabat Senapati Kuturan barulah beliau sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali dengan gelar sebagai Mpu. Selanjutnya lebih populer dengan sebutan atau abhiseka nama Mpu Kuturan dengan asrama di Pura Silayukti. Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan. Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti. Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah. Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga, cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di mana akan kelihatan laut yang membiru. Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat spiritual. Mpu Kuturan adalah salah seorang dari lima orang suci yang berjasa menata kehidupan keagamaan Hindu di Bali. Lima orang suci yang bersaudara itu disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha. Beliau itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Yang paling banyak berjasa menata kehidupan sosial religius Hindu di Bali adalah Mpu Kuturan. Hal ini dinyatakan dalam berbagai pustaka kuna yang ditulis dalam daun lontar. Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Kusuma Dewa juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali dengan landasan konsepsi Sad Winayaka. Dalam lontar yang berjudul ''Mpu Kuturan'' juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Penataan Pura Besakih lebih lanjut juga dilakukan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa beliau itu Mpu Kuturan distanakan di Meru Tumpang Sembilan di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan ini termasuk kompleks Pura Besakih. Menurut Lontar Babad Bendesa Mas dan Lontar Kusuma Dewa, antara Pura Kentel Gumi, Pura Dasar di Gelgel dan Pura Goa Lawah yang mempunyai hubungan historis juga sama-sama didirikan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa-jasa beliau itu di berapa Pura Kahyangan Jagat, Mpu Kuturan dimuliakan dalam Pelinggih Manjangan Saluwang. Demikian hampir di setiap pemujaan keluarga Hindu di Bali yang disebut Sanggah Gede atau Merajan Agung, Mpu Kuturan juga dimuliakan di Pelinggih Manjangan Saluwang. Jadinya Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menata kehidupan manusia dan alam Bali berdasarkan ajaran Hindu. Hal inilah menyebabkan Bali sampai mendapat julukan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Kalau kita perhatikan Mpu Kuturan bukan milik suatu wangsa atau warga tertentu. Yang patut kita renungkan lebih dalam tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sebagai pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti bukan untuk menyatukan adanya sekte-sekte Hindu yang bermusuhan. Para guru besar yang ahli ilmu purbakala di Bali yang pernah saya tanyakan menyatakan bahwa tidak ada catatan sejarah bahwa sekte-sekte Hindu di Bali pernah bermusuhan, apalagi berperang. Tujuan Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti adalah untuk menguatkan umat dalam melakukan upaya Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya giat menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Stithi artinya dengan sungguh-sungguh memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi. Pralina maksudnya meniadakan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Pralina bukan berarti merusak. Misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk, apalagi saat merayakan hari raya keagamaan. Misalnya menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dengan cara-cara yang baik, wajar dan benar. Itu juga tergolong kegiatan hidup yang termasuk pralima. Melakukan upaya Upati, Stithi dan Pralina tidaklah segampang teorinya. Melakukan hal itu perlu ada tuntutan Tuhan melalui pemujaan Dewa Tri Murti di Kahyangan Tiga.

Struktur Pura

Keseluruhan komplek Pura Silayukti terdiri dari empat buah pura yaitu :
  1. Pura Silayukti
  2. Pura Tanjung Sari
  3. Pura Telaga Mas
Pura Silayukti, Pura Tanjung Sari dan Pura Telaga Mas terletak satu deret dimana Pura Silayukti sendiri berada di tengah-tengah antara Pura Telaga Mas dan Pura Tanjung Sari. Pura Silayukti terdiri dari tiga halaman yaitu halaman luar (jaba pura), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan). Jaba pura membentang di selatan merupakan pelataran yang Juas dan datar serta bentuknya memanjang. Jaba Tengah dikelilingi tembok panyingker dan mempunyai dua buah pintu gerbang berbentuk candi bentar masing-masing menghadap ke barat dan ke selatan, Di sudut barat daya terdapat bale kulkul dan di bagian timurnya terletak bale gong. Luas halaman jaba tengah dan jeroan sepanjang 37 meter dan lebar 22 meter. Antara jaba tengah dan jeroan dibatasi oleh tembok dan disana terdapat tiga buah candi bentar menghadap ke selatan, Di dalam jeroan terdapat bangunan yaitu :
  1. Bale panjang
  2. Piasan
  3. Bale Pesamuhan
  4. Padma berisi naga di atasnya, pelinggih sapia petala
  5. Padma rong dua, palinggih Bhatara di Gunung Kembar(Bukit Bisbis).
  6. Gedong rong dua, palinggih kamimitan Empu Pascika
  7. Gedong, Pasimpangan Bhatara di Lempuyang Luhur
  8. Gedong, pasimpangan Bhatara di Pura Dasar Gelgel
  9. Gedong, pasimpangan Bhatara di Besakih
  10. Gedong, penyawangan ke Pura Lempuyang Madya
  11. Gedong – betel, palinggih Bhatara Manik Angkcran
  12. Padmasana
  13. Meru beratap tingkat tiga, palinggih Bhatara Empu Kuturan l4.Meru beratap tingkat dua, palinggih Ratu Pasek
  14. Gedong pasimpangan Bhatara di Andakasa
  15. Gedong Manjangan sluang, palinggih Bhatara Majapahit
  16. Gedong Palinggih Bhatara Mahadewa
Palinggih-palinggih itu sebagian besar dibuat dari batu padas dan bata. Hanya bale pengaruman, Meru palinggih Bhatara Empu Kuturan dan meru palinggih Ratu Pasek atapnya dibuat dari ijuk.

Pura Tanjung Sari

Pura Tanjung Sari terletak di ujung selatan kaki Gunung Luhur yang menjorok ke laut. Jaraknya dengan Pura Silayukti sekitar 100 meter. Apabila Pura Silayukti menghadap ke selatan, maka Pura Tanjung Sari menghadap ke barat. Menurut keterangan pemangku Pura Silayukti, I Made Oka, Pura Tanjung Sari merupakan tempat suci untuk memuja Empu Beradah, adik Empu Kuturan. Ketika Empu Beradah datang ke Silayukti menemui Empu Kuturan, Empu Beradah beristirahat di ujung selatan kaki Gunung Luhur itu. Di tempat peristirahatan itulah, didirikan Pura Tanjung Sari. Pura itu terdiri dari sebuah halaman dengan panjang 23,5 meter dan lebar 17,50 meter. Dikelilingi tembok dan pintu gerbangnya berbentuk candi bentar. Di halaman terdapat pelinggih yaitu:
  1. Pelinggih Sapta Patala
  2. Kang-Tsu, pemujaan orang Cina yang tinggal di sekitar Padangbai.
  3. Gedung beratap tingkat tiga, pelinggih Bhatara Empu Beradah.
  4. Gedong beratap tingkat dua, palinggih Jero Sedahan.
  5. Padmasana
  6. Gedong palinggih Bhatara di Besakih.
  7. Gedong Penyawangan ke Pura Lempuyang Madya
  8. Gedong, pelinggih Bhatara Majapahit
  9. Palinggih Pesamuhan
  10. Bale Piasan
  11. Bale Gong
Hanya palinggih Empu Beradah memakai atap ijuk, yang lainnya semua dibuat dari batu padas dan bata. Bale piasan dan bale gong atapnya dari genteng. Suatu keanehan, di pura itu ada palinggih Kong-Tsu berbentuk gedong. Sejarahnya, konon ketika Empu Beradah beristirahat di sana, ada orang Cina menghadap Empu. Orang Cina itulah yang dibuatkan palinggih sebagai pengiring Empu Beradah.

Pura Telaga Mas

Pura ini merupakan suatu altar dan di atas altar itu terdapat dua pelinggih yaitu sebuah gedong dan sebuah bebaturan. Letaknya di sebelah utara Pura Silayukti sekitar 20 meter jaraknya. Pura ini tidak dikelilingi tembok. Di sana tidak terdapat kolam air, walaupun namanya Pura Telaga Mas. Konon letak pura itu dahulu adalah bekas taman tempat permandian Empu Kuturan. Kedua bangunan palinggih yang ada di pura itu dibuat dari semen.

Piodalan dan Status Pura

Upacara Piodalan di Pura Silayukti diselenggarakan 6 bulan sekali pada hari Buda, Kliwon Pahang termasuk pula Pura Telaga Mas. Tetapi untuk PuraTanjung Sari piodalannya pada hari Buda, Kliwon, Matal. Penyelenggara piodalan adalah warga Pasek. Bagi Pura Silayukti, tidak ada istilah piodalan alit dan piodalan ageng. Dalam sesajen, tidak boleh memakai daging sapi, sehingga di pura ini tidak boleh dilangsungkan upacara cam yang menggunakan sapi. Pura Silayukti disiwi atau disungsung oleh umat Hindu di Bali dan dipandang sebagai pura penyungsungan jagat Bali. Pura Silayukti diemong oleh warga Pasek di Padangbai. Dahulu, sebelum dihapusnya swapraja di Bali pada tahun 1957, Pura Silayukti diemong oleh raja Karangasem. Dengan demikian, segala biaya ditanggung raja Karangasem. Setelah swapraja dihapuskan, pura itu diserahkan kepada warga Pasek di Padangbai. Namun Pura Silayukti bukan pura dadya warga Pasek di sana. Dadya Pasek di sana terletak di Desa Ulakan. Menurut cerita, bahwa Bhatara di Pura Silayukti mempunyai ingon-ingon binatang gaib berupa ikan gurita agung dan seekor naga. Adapun Status Pura Silayukti adalah Pura Dang Kahyangan penyungsungan jagat Bali sebagai pelinggih untuk Empu Kuturan.



Sampaikanlah Doa dengan tulisan yang baik, benar dan lengkap. Sampunang disingkat-singkat!

Berbagai Sumber | Google Images | Youtube | Support become Patreon
Tag: dewatanawasanga, Blogger, bali, satuskutus offering, love, quotes, happy, true, smile, success, word, history, beautiful, culture, tradition, love, smile, prayer, weda, hindu, spiritual,


Comments